Oleh Bilal Selasa, 26 Rabiul Awwal 1434 H / 4 Desember
2012 11:37
(Arrahmah.com) - Ada khurafat yang selama ini diyakini oleh sebagian besar
masyarakat yaitu sistem suara mayoritas di dalam Demokrasi yang diklaim sebagai
kehendak rakyat secara umum.
Khurafat sendiri mempunyai makna
cerita- cerita rekaan yang mempesona, khayalan, dongeng, pemujaan, dan
keyakinan tertentu yang menyimpang dari Islam.
Khurafat “Sistem mayoritas” inilah
yang terus disuntikkan kepada masyarakat agar mereka meyakini jika Demokrasi
merupakan sistem terbaik yang mewakili kehendak masyarakat secara umum.
Dalam artikel singkat ini, Syaikh
Ali Belhaj seorang tokoh FIS AlJazair menyingkap klaim palsu tersebut dan sikap
Islam terhadap demokrasi.
Khurafat Demokrasi
Secara faktual telah diketahui,
rakyat sebuah bangsa tidak mungkin memerintah sendiri, tetapi memerintah
melalui para wakilnya yang terwujud dalam mayoritas anggota majelis perwakilan
yang telah mereka pilih.
Maka, berubahlah kehendak mayoritas
(rakyat pada umumnya) menjadi kehendak minoritas (kehendak wakil rakyat). Saat
itulah muncul kesewenang-wenangan/kediktatoran baru, karena kehendak rakyat
beralih ke tangan orang-orang yang mereka pilih saja. Sehingga rakyat tidak
mampu untuk membatalkan, menghapus, ataupun mengubah keputusan yang telah
ditetapkan oleh para wakilnya.
Menurut banyak pakar politik,
prinsip mayoritas adalah teori yang paling berbahaya terhadap berlangsungnya
kebebasan individu, karena setiap perbuatan yang muncul dari orang yang
terpilih dapat menjadi hukum sekaligus undang-undang hanya karena ia merupakan
kehendak rakyat. Dari sini kita bisa melihat bahwa mayoritas pendapat yang ada
telah berubah menjadi kesewenang-wenangan minoritas, dan fakta telah membuktikan
hal itu. Oleh karena itu, seharusnyalah umat Islam menjadi umat yang bersandar
pada dalil syar’i, bukan pada suara mayoritas.
Demokrasi Adalah Pemerintahan
Minoritas, Bukan Pemerintahan Mayoritas Seperti yang Digembar-gemborkan
Kita menolak demokrasi, berbeda
dengan orang kafir, berdasarkan qa’idah syar’iyah yang telah diadopsi oleh
jumhur muslimin untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani. Adapun
dalil-dalil syar’i yang mengesahkan qa’idah ini begitu masyhur untuk disebutkan
dan terlalu banyak untuk dibatasi. Salah satunya adalah firman Allah SWT :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS Al-Jatsiyah [45] : 18)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS Al-Jatsiyah [45] : 18)
Imam Ibnu Taymiyah telah menjelaskan
maksud ayat tersebut secara baik di dalam kitabnya Iqthidha` Ash-Shirat
Al-Mustaqim fi Mukhalafati Ash-hab Al-Jahim halaman 8 :
“Kemudian Allah menjadikan
Rasulullah SAW berada di atas syariat-Nya dari agama itu yang telah
ditetapkan-Nya bagi beliau dan Allah memerintahkan beliau agar mengikuti
syariat tersebut sekaligus melarang beliau untuk mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui. Pada saat itu Rasulullah tinggal bersama
orang-orang yang tidak mengetahui, yaitu setiap orang yang selalu menyalahi
syariat beliau beliau. Hawa nafsu mereka adalah apa-apa yang mereka sukai.
Penampakan dari perilaku musyrikin tersebut muncul karena mereka mengikuti
agama mereka yang batil dan ajaran-ajaran lainnya. Akhirnya mereka menyukai
perbuatannya tersebut. Mereka meniru Rasulullah hanya untuk mengikuti apa yang
mereka senangi. Oleh karena itu kaum musyrikin dalam sebagian prilakunya senang
menyamai kaum muslimin, walau harus mengeluarkan banyak harta demi tercapainya
apa yang mereka inginkan itu.”
Ibnu Katsir menjelaskan dalam
kitabnya Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim juz 4 halaman 310 :
“Allah melarang kaum mukminin untuk
menyerupai mereka sedikit pun baik dalam perkara ushul maupun furu’.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari juz 10 halaman 298 :
“Aku telah mengumpulkan hadits yang
berbicara tentang perbedaan kaum muslimin dengan Ahlul Kitab. Ternyata aku
menemukan 30 hukum tentang hal itu. Lalu aku tulis dalam kitabku dengan nama
Al-Qaulu Ats-Tsabt fi Ash-Shaumi Yaum As-Sabt.
Sayid Qutub menjelaskan dalam kitab Fi
Zhilal Qur`an juz I halaman 127 pada masalah berbedanya kaum muslimin dalam
masalah kiblat :
“Sesungguhnya kekhasan dan perbedaan
dalam penampakan jati diri merupakan hal yang penting bagi kaum muslimin.
Kekhasan dan perbedaan dalam penampakan jati diri dan akidah serta kekhasan dan
perbedaan dalam kiblat dan ibadah haruslah berbeda dan memiliki ciri khas
tertentu. Terkadang pengaruh (perbedaan) muncul demikian jelas mengenai
kekhasan dalam jati diri dan akidah, terkadang pula tidak begitu jelas dalam
masalah kiblat dan syiar-syiar ibadah.
Di sini perlu diperhatikan nilai
dari bentuk-bentuk formalitas ibadah. Orang yang pandangannya terfokus pada
bentuk-bentuk formal ini semata, yang dilepaskan dari hal-hal yang
melingkupinya dan juga terlepas dari dari tabiat kemanusiaanya dan
pengaruh-pengaruhnya, maka akan tampak baginya bahwa melestarikan bentuk-bentuk
formal tersebut adalah suatu fanatisme sempit atau suatu penyembahan kepada
formalitas. Tetapi kalau kita mau berpikir lebih luas dan dalam, maka akal
sehat kita akan menyingkapkan hakikat yang lain secara gamblang…
Berdasarkan asas yang fitri inilah
Islam menegakan syiar-syiar ibadahnya secara keseluruhan. Syiar-syiar ibadah
itu tak cukup ditunaikan hanya dengan niat atau kekhusyuan batin (tawajjuh
ruhiyah) semata, akan tetapi kekhusuyuan batin ini harus memiliki
bentuk-bentuk zahir.
Demikianlah, dalam setiap ibadah ada
gerakan dan dalam setiap gerakan ada ibadah. Ini untuk menyatukan aspek yang
lahir dan batin, untuk menyelaraskan antara kekuatan lahir dan kekuatan batin,
yang sesuai dengan fitrah manusia secara keseluruhan, dengan metode yang
selaras dengan jati dirinya yang khusus.
Pembedaan tempat yang diarah seorang
muslim dalam sholat dan ibadah dan pengkhususannya, bukanlah (semata) agar dia
berbeda dan nampak secara khusus dengan jati diri, manhaj dan arahnya.
Pembedaan ini, adalah untuk memenuhi panggilan perasaannya yang cenderung ingin
berbeda dan bersifat unik, yang pada gilirannya akan memunculkan keistimewaan
dan keunikan.
Dari sini pula ada larangan untuk
menyerupai (tasyabbuh) orang-orang non-muslim dalam sifat-sifat khas
mereka, yang merupakan ekspresi lahir dari perasaan-perasaan batiniah mereka,
seperti juga larangan mengikuti metode mereka dalam perasaan dan perilaku. Ini
bukanlah kefanatikan dan bukan pula berpegang dengan formalitas semata,
melainkan pandangan yang mendalam mengenai bentuk-bentuk formal yang bersifat
lahiriah.”
Dikutip dari buku: Ad Damghah Al
Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah, karya Syeikh Ali Belhaj dan
diambil dari Suara Islam Onli
No comments:
Post a Comment