Oleh Muhib Al-Majdi Sabtu, 2 Rabiul Akhir 1434 H / 24
November 2012 18:45
(Arrahmah.com) – Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada
suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam. Beliau lalu bersabda:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian
seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki
dari kalangan sahabat Anshar, jenggotnya masih meneteskan bekas air wudhu,
sedang tangan kirinya memegang kedua sandalnya.
Keesokan harinya, saat kami sedang
duduk-duduk bersama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau
kembali bersabda:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian
seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Tak berapa lama kemudian, laki-laki
Anshar yang sama kembali muncul di hadapan kami.
Keesokan harinya, saat kami sedang
duduk-duduk bersama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau
kembali bersabda:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian
seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Tak berapa lama kemudian, laki-laki
Anshar yang sama kembali muncul di hadapan kami.
dari kalangan sahabat Anshar,
jenggotnya masih meneteskan bekas air wudhu, sedang tangan kirinya memegang
kedua sandalnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam kemudian berdiri dan kami pun bubar. Pada saat itulah Abdullah bin Amru
bin Ash mengikuti laki-laki Anshar yang tiga kali muncul di hadapan kami
setelah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
“Saya sedang terlibat cek-cok dengan
ayah saya. Saya telah bersumpah tidak akan masuk ke rumahnya selama tiga hari.
Jika Anda berkenan, saya ingin menginap di rumah Anda selama tiga hari ini.”
Kata Abdullah bin Amru, mencari-cari alasan untuk bisa menginap di rumah
sahabat Anshar tersebut.
“Ya, silahkan.” Jawab sahabat Anshar
tersebut.
Anas bin Malik berkata: “Abdullah
bin Amru bin Ash telah menceritakan bahwa ia telah menginap di rumah sahabat
Anshar tersebut selama tiga malam. Selama itu, Abdullah bin Amru tidak pernah
melihatnya sedikit pun melakukan shalat malam. Jika ia terbangun di waktu
malam, ia hanya membolak-balikkan badannya di atas ranjangnya, berdzikir dan
bertakbir, kemudian tidur kembali. Ia baru bangun kembali jika waktunya
melaksanakan shalat Subuh.”
Abdullah bin Amru berkata, “Hanya
saja aku tidak pernah berbicara kecuali hal-hal yang baik. Tiga malam telah
berlalu dan aku hampir saja menganggap remeh amal perbuatannya. Maka aku pun
menceritakan kepadanya tujuanku.
“Wahai Abdullah (hamba Allah),
sebenarnya antara aku dan bapakku tidak ada kemarahan, juga tidak ada hal yang
mengharuskanku meninggalkannya. Namun aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda sebanyak tiga kali tentang dirimu:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian
seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Maka engkau muncul sebanyak tiga
kali. Oleh karena itu aku ingin tidur di rumahmu agar aku bisa melihat amal
perbuatanmu, sehingga aku bisa meneladaninya. Namun aku tidak melihatmu
melakukan banyak amal kebajikan. Jika begitu, amalan apa yang menyampaikanmu
kepada kedudukan yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam tersebut?”
Laki-laki Anshar itu menjawab, “Amal
kebaikanku hanyalah amal yang telah engkau lihat. Hanya itu amalku.”
Abdullah bin Amru berkata: “Ketika
aku hendak berjalan pulang, tiba-tiba laki-laki Anshar itu memanggilku kembali
dan berkata:
مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ
أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا
أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ
“Amalku hanyalah amal yang telah
engkau lihat. Namun di dalam jiwaku sama sekali tidak pernah terbetik rasa ghisy
(tidak tulus) terhadap seorang muslim pun, dan aku juga tidak pernah iri kepada
seorang pun atas sebuah nikmat yang Allah karuniakan kepadanya.”
Mendengar penuturan tersebut,
Abdullah bin Amru berkataku:
هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ
الَّتِي لَا نُطِيقُ
“Inilah sebenarnya amalan yang telah
mengantarkanmu kepada kedudukan tersebut. Dan justru inilah amalan yang kami
belum sanggup melakukannya.”
(HR. Ahmad no. 12697, Abdur Razzaq no. 20559, Al-Bazzar no.
1981, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 6605, Al-Baghawi no. 3535 dan An-Nasai
dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 863. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata:
Sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits di atas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan salah seorang sahabatnya yang dijamin
masuk surga. Ia memang tidak memiliki amalan istimewa, setidaknya dari
penampakan lahiriahnya. Ia tidak banyak melakukan shalat sunah, puasa sunah,
sedekah sunah dan amalan-amalan lainnya.
Namun ia memiliki dua amalan batin
yang kebanyakan umat Islam tidak mampu melakukannya:
1. Ia bersihkan hatinya dari semua
bentuk ghisy (kecurangan, ketidak tulusan) terhadap kaum muslimin.
Ghiys berasal dari kata kerja dasar
( غَشَّ يَغُشُّ غِشًّا ). Imam Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayisil Lughah
dan imam Al-Jauhari dalam Ash-Shihah menyatakan makna dari ghasy-sya
adalah tidak tulus memberikan nasehat, kebalikan dari memberi nasehat. Imam
Al-Fayyumi dalam Al-Mishbah Al-Munir menjelaskan makna kata
tersebut adalah tidak memberinya nasehat dan menampakkan kepada orang lain
sesuatu yang buruk sebagai sesuatu yang bermanfaat. Pendapat serupa disebutkan
oleh imam Ibnu Mandhur dalam Lisanul ‘Arab. Sementara itu imam
Al-Murtadha Az-Zubaidi dalam Tajul ‘Arusy Syarh Jawahirul Qamus
mengartikan kata tersebut dengan makna ghil, kedengkian dalam hati.
Secara istilah, imam Abdur Rauf
Al-Munawi menjelaskan bahwa istilah ghisy berarti mencampurkan antara
sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk. Dalam dunia jual beli, imam Ibnu
Hajar al-Haitami dalam Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair
menjelaskan bahwa ghisy adalah pemilik barang mengetahui bahwa pada barangnya
ada cacat atau kekurangan kemudian ia menutup-nutupi dan tidak menjelaskannya
kepada calon pembeli. Padahal seandainya pembeli mengetahui cacat tersebut
niscaya ia tidak akan rela membelinya dengan harga yang terlanjur ia bayarkan.
Seperti dijelaskan secara bahasa dan
istilah oleh para ulama di atas, ghisy berarti tidak bersikap tulus, tidak
bersikap jujur, cenderung memiliki “ganjalan” atau “kedengkian” dalam hati
terhadap muslim lainnya. Jika ia memberi saran kepada saudaranya, maka saran
tersebut tidak sepenuhnya baik, bahkan cenderung berisi hal-hal yang mestinya
tidak dilakukan. Jika ia memberi kritikan, maka tidak ada ketulusan dalam
kritik tersebut, lebih bertujuan untuk membongkar kesalahan dan menjatuhkan
kehormatan orang yang ia kritik.
Di dalam hatinya ada “ganjalan”,
ketidak sukaan, dan kedengkian terhadap orang lain. Ia tidak benar-benar tulus
menginginkan orang lain baik dan bahagia. Ia tidak mencintai untuk orang lain
hal-hal yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Ia tidak membenci untuk orang
lain hal-hal yang ia benci untuk dirinya sendiri. Inilah hakekat ghisy.
2. Ia bersihkan hatinya dari semua
bentuk hasad (iri hati dan kedengkian) terhadap kaum muslimin.
Hasad adalah tidak suka melihat
orang lain mendapatkan kenikmatan sehingga ia menginginkan nikmat itu lenyap
dari orang lain tersebut dan beralih kepada dirinya sendiri. Demikian
disebutkan oleh imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid Dien
dan imam Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat. Imam Al-Munawi
mengatakan: “Hasad adalah menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang yang
mendapatkan kenikmatan.” Penjelasan yang serupa diuraikan oleh imam Al-Mawardi
dalam Adab Ad-Dunya wa Ad-Din.
Hasad berarti tidak senang hatinya
dan tidak kuat matanya melihat orang lain mendapatkan nikmat dari Allah. Ia
tidak senang jika orang lain senang. Ia menginginkan kesenangan dan kenikmatan
tersebut untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Ia tidak bisa bahagia
jika orang lain mendapatkan kenikmatan dan kebahagian dari Allah. Ia bahkan
berangan-angan kenikmatan tersebut hilang dari orang lain, dan beralih kepada
dirinya.
Orang yang hasad adalah orang yang
keimanan dan akhlaknya kurang baik. Keimanannya kepada takdir kurang benar,
karena ia keberatan, tidak senang dan memendam sikap protes terhadap Allah yang
telah mengaruniakan kenikmatan kepada orang lain. Padahal Allah Maha Adil dan
Maha Bijaksana. Akhlaknya kurang baik, karena jiwa persaudaraan dalam jiwanya
lemah. Padahal seorang muslim dengan muslim lainnya itu bersaudara. Jika
saudaranya senang, maka ia ikut senang. Dan jika saudaranya susah, maka ia ikut
susah.
Saudaraku seislam dan seiman…
Sahabat Anshar ini memiliki samahatul
qalb, kelapangan hati atau salamatul qalb, hati yang bersih dna
sehat. Hatinya bersih dari segala bentuk ketidak tulusan dan kedengkian kepada
sesama muslim. Tulus dan tidak mendengki kepada sesame muslim adalah amalan
hati. Namun dampaknya sangat besar dalam pergaulan seorang muslim dengan kaum
muslimin lainnya.
Banyak orang mampu melakukan shalat
sunah, puasa sunah, sedekah sunah, atau bahkan haji “sunnah” berulang kali.
Namun amat sedikit orang yang mampu mensucikan jiwanya dari penyakit
ganas yang merontokkan keimanan dan akhlak; ghisy dan hasad.
Semoga kita bisa meneladani sahabat Anshar dalam hadits di attas yang dijamin
surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Ya Rabb kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah terlebih dahulu beriman, dan janganlah Engkau menjadikan
dalam hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman. Wahai Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10)
No comments:
Post a Comment