Serial kajian tentang
takfir muayyan #1: Antara orang kafir asli dan muslim yang melakukan syirik
Muhib
Al-Majdi
Rabu, 23
Mei 2012 10:31:47
(Arrahmah.com) – Salah satu perkara penting
yang harus dicamkan sebelum kita membahas permasalahan takfir (mengkafirkan)
adalah kesadaran bahwa kaedah-kaedah takfir yang digali oleh para ulama Islam
dari dalil-dalil syar'i, sesungguhnya dibuat untuk diterapkan kepada orang yang
secara sah telah masuk Islam, kemudian terjatuh dalam ucapan atau perbuatan
yang membatalkan keislamannya.
Adapun
orang-orang yang belum pernah secara sah masuk agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW, maka kepada mereka tidak diperlukan kaedah-kaedah takfir.
Apapun agama dan keyakinannya, selama secara sah belum pernah masuk agama
Islam, maka ia dihukumi non muslim dan kafir. Baik ia seorang penganut
atheisme, komunisme, animisme, dinamisme, politheisme, Hindu, Budha, Sinto,
Majusi, Konghucu, aliran kebatinan, Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan lain
sebagainya.
Hal ini
perlu dicamkan, mengingat sekelompok ulama menyamaratakan antara orang-orang
kafir asli dengan orang-orang yang secara sah telah masuk Islam namun terjatuh
dalam sebagian ucapan atau perbuatan pembatal keislaman. Menurut sekelompok
ulama tersebut, asalkan seorang yang secara sah telah masuk Islam tersebut
melakukan syirik akbar, maka ia divonis musyrik. Tanpa mau melihat rincian
kondisi orang yang secara sah telah masuk Islam tersebut, jenis pembatal
keislaman yang ia lakukan, kondisi waktu dan tempat ia hidup, dan faktor-faktor
lain yang melingkupinya.
Sekelompok
ulama tersebut berdalil dengan sejumlah ayat Al-Qur'an, hadits, dan ijma' para
ulama yang berbicara tentang orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah
memeluk agama Islam. Dalil-dalil tersebut menegaskan orang-orang kafir asli
tersebut divonis musyrik, meskipun dakwah rasul atau ilmu kebenaran belum
sampai kepada mereka. Mereka lantas membuat analogi; jika orang yang belum
sampai kepadanya dakwah saja langsung divonis musyrik saat melakukan syirik
akbar, apalagi orang Islam yang melakukan syirik akbar setelah zaman diutusnya
Rasulullah SAW dan diturunkannya Al-Qur'an?
Di antara
dalil yang mereka sebutkan adalah:
(1)
Firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ
زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ
لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا
فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ (137)
Dan
demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari
orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk
membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An'am [6]: 137)
(2) Firman Allah SWT:
وَإِنْ
أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ
اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
(6)
Dan jika
seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia
ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 6)
(3) Firman Allah SWT:
مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ
كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ (113)
Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu,
adalah penghuni neraka Jahanam. (QS. At-Taubah [9]: 113)
(4) Firman Allah SWT:
لَمْ
يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ
حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ (1)
Orang-orang
kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak
akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS.
Al-Bayyinah [98]: 1)
(5) Firman Allah SWT:
وَجَدْتُهَا
وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ
الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ
(24)
Aku
mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah
menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu setan
menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk.
(QS. An-Naml [27]: 24)
وَصَدَّهَا
مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ
(43)
Dan apa
yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan
keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang
kafir. (QS. An-Naml [27]: 43)
(6) Firman Allah SWT:
يَا
صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ
الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
Hai kedua
penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain
Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. (QS.
Yusuf [12]: 39-40)
(7). Ayat dan hadits yang
menyebutkan Ahlul Kitab melakukan syirik sekalipun hujah belum sampai kepada
mereka. Allah berfirman,
اتَّخَذُواْ
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ
اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ
إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ
إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Mereka
menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan
pembuat aturan hukum) selain Allah dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu
Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali
untuk beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi
selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka." (QS. At-Taubah
[9]: 31)
Dalam
hadits shahabat Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Adi bin Hatim
yang saat itu beragama Nasrani datang kepada Nabi SAW. Ia mendengar Nabi SAW
membaca ayat ini, maka ia membantah, "Kami tidak beribadah kepada para
pendeta dan ahli ibadah kami."
Nabi SAW
balik bertanya, "Bukankah para pendeta dan ahli ibadah kalian mengharamkan
hal yang Allah halalkan maka kalian ikut-ikutan mengharamkannya; dan mereka
menghalalkan hal yang Allah haramkan maka kalian ikut-ikutan
menghalalkannya?"
Adi bin
Hatim menjawab, "Ya, begitu." Beliau SAW bersabda, "Itulah
bentuk ibadah kepada para pendeta dan ahli ibadah." (HR. Ath-Thabari,
Tirmidzi, Al-Baghawi dan lainnya)
(8) Ijma'
ulama. Syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
berkata: "Bahkan ahlul fatrah yang belum sampai kepada mereka risalah
(dakwah rasul) dan Al-Qur'an serta meninggal di atas kejahiliyahan tidaklah
disebut kaum muslimin menurut ijma' dan tidak dimintakan ampunan Allah untuk
mereka. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang apakah mereka diazab di
akhirat?"(Aqidatul Muwahhidin war Raddu ‘ala adh-Dhullal wal
Mubtadi'in, hlm. 171 karya Abdullah bin Sa'di al-Ghamidi al-Abdali)
***
Jika kita
cermati ayat-ayat, hadits, dan ijma' yang disebutkan di atas, kita mendapati
semuanya berkenaan dengan orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah
memeluk Islam. Dalam menghukumi mereka secara lahiriah sebagai orang-orang
kafir, kita tidak perlu membahas penghalang-penghalang pengkafiran seperti
kebodohan (al-jahl), ketiadaan maksud (al-khahta'), kekeliruan
memahami dalil (at-ta'wil), atau ijtihad. Kekafiran mereka telah
disepakati dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Adapun ayat-ayat
Al-Qur'an dan hadits-hadits shahih telah menegaskan keimanan dan keislaman
setiap hamba yang mengimani secara global rukun iman yang enam dan rukun Islam
yang lima. Yaitu seorang hamba yang mengucapkan dua kalimat syahadat, meyakini
Allah sebagai satu-satunya Tuhan Yang berhak disembah, meyakini tidak ada tuhan
selain-Nya yang berhak disembah, meyakini Muhammad SAW adalah penutup para nabi
dan rasul, mengimani Al-Qur'an dan kitab-kitab suci terdahulu, mengimani pada
nabi dan rasul, mengimani hari akhir, mengimani takdir, melaksanakan ibadah
hati secara global (takut kepada Allah, cinta kepada Allah, berharap kepada
Allah, sabar, syukur, ridha kepada takdirnya, dan lain-lain), melakukan ibadah
lisan secara global (membaca Al-Qur'an, berdzikir, berdoa, mengucapkan
perkataan yang baik dan lain-lain), dan mengamalkan ibadah anggota badan secara
global (melaksanakan shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, berbakti kepada orang
tua, berbuat baik kepada tetangga, dan lain-lain).
Dalil-dalil
dari Al-Qur'an tentang hal itu antara lain adalah:
(1)
Firman Allah SWT:
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ
مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ
رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
(Yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Baqarah [2]: 3-5)
(2) Firman Allah SWT:
لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ
وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
"Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…" (QS. Al-Baqarah [2]:
177)
(3) Firman Allah SWT:
آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ
بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ
مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ (285)
Rasul
telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah [2]: 285)
(4) Firman Allah SWT:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (136)
Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa' [4]: 136)
(5) Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ
آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
(152)
Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang
pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa' [4]: 152)
(6) Firman Allah SWT:
هُدًى
وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (3)
Untuk
menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan
adanya negeri akhirat. (QS. An-Naml [27]: 152)
Dalil-dalil
dari hadits shahih antara lain adalah:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " «بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ
رَمَضَانَ» "
(7) Dari
Ibnu Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Islam dibangun di atas
lima dasar; bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan." (HR. Bukhari
no. 8, Muslim no. 21, Tirmidzi no. 2609, dan An-Nasai no. 5001)
حَدَّثَنِي
أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ
شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ
أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى
رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ
أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ،
وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ
اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ
يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ،،
(8) Dari
Umar RA berkata, "Pada suatu hari kami tengah duduk-duduk bersama
Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang pakaiannya sangat
putih, rambutnya sangat hitam, sama sekali tidak nampak tanda bekas perjalanan
jauh pada dirinya, dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya.
Laki-laki itu duduk di hadapan Nabi SAW, merapatkan kedua lututnya kepada kedua
lutut beliau, dan meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua paha beliau.
Laki-laki
itu berkata, "Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Islam!"
Maka Rasulullah SAW bersabda, "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan melaksanakan haji ke
Baitullah jika engkau memiliki kemampuan." Laki-laki itu berkata,
"Engkau benar." Umar berkata, "Maka kami heran kepadanya. Sebab
dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan jawabannya."
Laki-laki
itu berkata lagi, "Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang
Iman!" Maka Rasulullah SAW bersabda, "Iman adalah engkau beriman
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari
akhir, dan takdir yang baik maupun buruk." Laki-laki itu berkata,
"Engkau benar." (HR. Muslim no. 8, Abu Daud no. 4695, dan An-Nasai
no. 4990)
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ
أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ، فَيَسْأَلَهُ، وَنَحْنُ نَسْمَعُ، فَجَاءَ رَجُلٌ
مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ
لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَكَ، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَمَنْ
خَلَقَ السَّمَاءَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ قَالَ:
«اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ؟
قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ، وَخَلَقَ الْأَرْضَ،
وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ:
وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا،
وَلَيْلَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ
بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي
أَمْوَالِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ
بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ
شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ،
آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ
عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا، قَالَ: «صَدَقَ»،
قَالَ: ثُمَّ وَلَّى، قَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا أَزِيدُ
عَلَيْهِنَّ، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ»
(9) Dari
Anas bin Malik RA berkata, "Kami dilarang menanyakan sesuatu perkara pun
kepada Rasulullah SAW, sehingga kami senang apabila ada seorang Arab badui yang
cerdas datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW dan kami bisa mendengarkannya.
Pada suatu hari seorang Arab badui datang kepada Rasulullah SAW dan berkata,
"Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami dan memberitahukan
kepada kami bahwa Allah telah mengutusmu." Rasulullah SAW menjawab,
"Benar begitu."
Laki-laki
badui itu bertanya, "Siapakah yang menciptakan langit?" Beliau
menjawab, "Allah." Laki-laki badui itu bertanya, "Siapakah yang
menciptakan bumi?" Beliau menjawab, "Allah." Laki-laki badui itu
bertanya, "Siapakah yang menancapkan gunung-gunung dengan segala
isinya?" Beliau menjawab, "Allah."
Laki-laki
badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah menciptakan langit, bumi, dan
menegakkan gunung-gunung. Benarkah Allah telah mengutusmu?" Beliau
menjawab, "Ya, benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Utusanmu
memberitahukan kepada kami bahwa kami wajib melaksanakan shalat lima waktu
dalam sehari-semalam?" Beliau menjawab, "Benar." Laki-laki badui
itu bertanya, "Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah
memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?" Beliau menjawab,
"Benar."
Laki-laki
badui itu bertanya, "Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa ada
kewajiban zakat dalam harta kami?" Beliau menjawab, "Benar." Laki-laki
badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah
memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?" Beliau menjawab,
"Benar."
Laki-laki
badui itu bertanya, "Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa dalam
setahun, kami wajib melaksanakan shaum Ramadhan?" Beliau menjawab,
"Benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah
mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?"
Beliau menjawab, "Benar."
Laki-laki
badui itu bertanya, "Utusanmu memberitahukan kepada kami wajib
melaksanakan haji ke baitullah jika memiliki kemampuan?" Beliau menjawab,
"Benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah
mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?"
Beliau menjawab, "Benar."
Laki-laki
badui itu kemudian berpaling dan berkata, "Demi Allah Yang mengutusmu
dengan kebenaran, aku tidak akan menambahi dari hal-hal itu dan aku juga tidak
akan menguranginya." Maka beliau bersabda, "Jika ia berkata jujur,
sungguh ia benar-benar akan masuk surga."
(HR.
Muslim no. 10 dan Tirmidzi no. 619)
Imam
Bukhari meriwayatkannya dengan lafal sebagai berikut:
عَنْ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ، دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ، فَأَنَاخَهُ
فِي المَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ: أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ؟
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ،
فَقُلْنَا: هَذَا الرَّجُلُ الأَبْيَضُ المُتَّكِئُ. فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: يَا
ابْنَ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «قَدْ أَجَبْتُكَ». فَقَالَ الرَّجُلُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فِي المَسْأَلَةِ،
فَلاَ تَجِدْ عَلَيَّ فِي نَفْسِكَ؟ فَقَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ» فَقَالَ:
أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ إِلَى النَّاسِ
كُلِّهِمْ؟ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ
أَمَرَكَ أَنْ نُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ؟ قَالَ:
«اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نَصُومَ
هَذَا الشَّهْرَ مِنَ السَّنَةِ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ
بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ مِنْ
أَغْنِيَائِنَا فَتَقْسِمَهَا عَلَى فُقَرَائِنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». فَقَالَ الرَّجُلُ: آمَنْتُ بِمَا
جِئْتَ بِهِ، وَأَنَا رَسُولُ مَنْ وَرَائِي مِنْ قَوْمِي، وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ
ثَعْلَبَةَ أَخُو بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ
Dari Anas
bin Malik RA berkata, "Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW di
dalam masjid, tiba-tiba seorang laki-laki datang dengan mengendarai seekor
unta. Ia menderumkan untanya dan menambatkannya di tiang masjid. Ia lantas
bertanya, "Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad?" Saat itu
beliau SAW sedang duduk bersandar di tengah kami, maka kami berkata,
"Beliau adalah laki-laki berkulit putih yang sedang duduk bersandar
ini."
Laki-laki
itu berkata, "Wahai cucu Abdul Muthalib." Beliau SAW menjawab,
"Ya, saya jawab panggilanmu." Laki-laki itu bertanya kepada beliau,
"Aku akan bertanya kepadamu dengan sungguh-sungguh, apakah engkau tidak
akan marah kepadaku?" Beliau menjawab, "Tanyakanlah apa yang hendak
engkau tanyakan!"
Laki-laki
itu bertanya kepada beliau, "Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu dan
Tuhan orang-orang sebelummu. Apakah Allah telah mengutusmu kepada semua
manusia?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki
itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah
telah memerintahkan kepadamu agar kami shalat lima kali sehari-semalam? Beliau
menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki
itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah
telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum bulan (Ramadhan) ini
dalam satu tahun?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki
itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah
telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari
kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara
orang-orang miskin di tengah kami?" Beliau menjawab, "Demi Allah,
benar."
Laki-laki
itu berkata, "Aku beriman kepada ajaran yang engkau bawa. Aku adalah
utusan kaumku, namaku Dhimam bin Tsa'labah, saudara dari marga Sa'ad bin
Bakr." (HR. Bukhari no. 63, Ibnu Majah no. 1402, Ahmad no. 12719, dan
lain-lain)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَعَ أَصْحَابِهِ جَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ قَالَ: أَيُّكُمُ ابْنُ
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟ قَالُوا: هَذَا الْأَمْغَرُ الْمُرْتَفِقُ - قَالَ حَمْزَةُ
-: الْأَمْغَرُ الْأَبْيَضُ مُشْرَبٌ حُمْرَةً، فَقَالَ: إِنِّي سَائِلُكَ
فَمُشْتَدٌّ عَلَيْكَ فِي الْمَسْأَلَةِ، قَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ»، قَالَ:
أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ، وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، وَرَبِّ مَنْ بَعْدَكَ، آللَّهُ
أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ آللَّهُ
أَمَرَكَ أَنْ تُصَلِّيَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ؟ قَالَ:
«اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ
مِنْ أَمْوَالِ أَغْنِيَائِنَا فَتَرُدَّهُ عَلَى فُقَرَائِنَا؟ قَالَ:
«اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَصُومَ
هَذَا الشَّهْرَ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ:
فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ يَحُجَّ هَذَا الْبَيْتَ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَإِنِّي
آمَنْتُ وَصَدَّقْتُ وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ
(10) Dari
Abu Hurairah RA berkata, "Ketika Nabi SAW sedang duduk-duduk bersama para
sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui sambil bertanya, "Siapakah
di antara kalian cucu Abdul Muthalib?" Mereka menjawab, "Inilah dia,
orang yang berkulit kuning kemerah-merahan dan berbadan tegap ini."
Laki-laki itu berkata, "Aku akan bertanya kepadamu dengan
sungguh-sungguh." Beliau menjawab, "Tanyakanlah apa yang hendak
engkau tanyakan!"
Laki-laki
itu bertanya kepada beliau, "Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu,
Tuhan orang-orang sebelummu dan Tuhan orang-orang sesudahmu. Apakah Allah telah
mengutusmu kepada semua manusia?" Beliau menjawab, "Demi Allah,
benar."
Laki-laki
itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah
telah memerintahkan kepadamu agar kamu melaksanakan shalat lima kali
sehari-semalam?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki
itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah
telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari
kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara
orang-orang miskin di tengah kami?" Beliau menjawab, "Demi Allah,
benar."
Laki-laki
itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah
telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum satu bulan (Ramadhan)
ini dari jumlah dua belas bulan (dalam satu tahun)?" Beliau menjawab,
"Demi Allah, benar."
Laki-laki
itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah
telah memerintahkan agar orang yang mampu menunaikan haji ke baitullah?"
Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki
itu berkata, "Aku beriman kepadamu dan aku membenarkan. Aku adalah Dhimam
bin Tsa'labah." (HR. An-Nasai no. 2094 dengan sanad yang kuat)
عَنْ
عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "
لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِأَرْبَعٍ: حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلا اللهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، بَعَثَنِي بِالْحَقِّ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ
بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ "
(11) Dari
Ali bin Abi Thalib RA dari Nabi SAW bersabda, "Seorang hamba tidak akan
beriman sehingga ia mengimani empat perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan yang
berhak diibadahi selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, Allah
mengutusku dengan kebenaran; mengimani kebangkitan setelah kematian dan
mengimani takdir." (HR. Tirmidzi no. 2145, Ibnu Majah no. 81, Ahmad no.
758 dan Al-Hakim no. 92, sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.
Dishahihkan oleh Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi)
عَنِ
الشَّرِيدِ، أَنَّ أُمَّهُ أَوْصَتْ أَنْ يُعْتِقُوا عَنْهَا رَقَبَةً مُؤْمِنَةً،
فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ:
عِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ نُوبِيَّةٌ، فَأُعْتِقُهَا عَنْهَا؟ فَقَالَ: "
ائْتِ بِهَا ". فَدَعَوْتُهَا، فَجَاءَتْ، فَقَالَ لَهَا: " مَنْ
رَبُّكِ؟ " قَالَتْ: اللهُ، قَالَ: " مَنْ أَنَا؟ " قَالَتْ:
رَسُولُ اللهِ. قَالَ: " أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ "
(12) Dari
Syarid bin Suwaid ats-Tsaqafi RA bahwasanya ibunya berwasiat agar (anak-anaknya)
memerdekakan seorang budak mukminah atas namanya. Syarid bertanya kepada Nabi
SAW tentang hal itu, dan ia berkata, "Saya memiliki seorang budak wanita
berkulit hitam legam. Apakah aku bisa memerdekakannya atas nama ibuku?"
Beliau SAW bersabda, "Bawalah budak itu kepadaku!" Syarid berkata:
"Aku pun memanggil budakku, maka ia datang." Beliau SAW bertanya
kepada budak perempuan itu, "Siapa Rabbmu?" Ia menjawab,
"Allah." Beliau SAW bertanya lagi kepada budak perempuan itu,
"Siapa saya ini?" Ia menjawab, "Rasulullah." Maka beliau
SAW bersabda, "Merdekakanlah budak ini, karena ia adalah seorang budak
perempuan mukminah." (HR. Abu Daud no. 3283, Ahmad no. 17945 dan 19466,
Ad-Darimi no. 2393, An-Nasai, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dengan
sanad hasan. Hadits yang semakna diriwayatkan juga dari Mu'awiyah bin Hakam
as-Sulami RA oleh Muslim, Abu Daud dan An-Nasai. Hadits yangs semakna juga
diriwayatkan dari Abu Hurairah RA oleh Abu Daud dan Ahmad).
Dalil
dari ijma':
(13) Imam
Abu Bakar bin Mundzir berkata:
أجمع كل
من أحفظ عنه من أهل العلم على أن الكافر إذ قال: أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد
أن محمداً عبده ورسوله، وأن كل ما جاء به محمد حق، وأبرأ إلى الله من كل دين يخالف
دين الإسلام - وهو بالغ صحيح يعقل - أنه مسلم، فإن رجع بعد ذلك فأظهر الكفر كان
مرتداً، يجب عليه ما يجب على المرتد.
"Seluruh
ulama yang saya ketahui telah bersepakat bahwa seorang kafir jika mengucapkan asyhadu
an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, ia
bersaksi bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah kebenaran,
dan ia berlepas diri kepada Allah dari setiap agama yang menyelisihi agama
Islam, sedangkan ia adalah seorang yang telah berusia baligh dan berakal sehat,
maka ia berstatus MUSLIM. Jika ia kembali setelah itu dengan melakukan
kekafiran secara terang-terangan, maka ia berstatus murtad, wajib diperlakukan
atasnya hukuman atas orang murtad." (Dar'u Ta'arudh al-Aql wan Naql,
8/7 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
(14) Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata:
وهذا مما
اتفق عليه أئمة الدين، وعلماء المسلمين، فإنهم مجمعون على ما علم بالاضطرار من دين
الرسول، أن كل كافر فإنه يدعى إلى الشهادتين، سواء كان معطلاً، أو مشركاً، أو
كتابياً، وبذلك يصير الكافر مسلماً، ولا يصير مسلماً بدون ذلك.
Hal ini
merupakan perkara yang telah disepakati oleh para imam dien dan ulama kaum
muslimin, karena mereka semua telah bersepakat bahwa termasuk perkara yang ma'lum
min dien ar-rasul bidh-dharurah (perkara yang telah pasti menjadi bagian
agama Islam, perkara yang telah diketahui oleh semua muslim, baik kalangan
ulama maupun orang awam, sebagai ajaran Islam—pent) bahwa setiap orang kafir
mesti diajak kepada dua kalimat syahadat, baik ia seorang atheis, musyrik,
maupun ahli kitab. Dengan dua kalimat syahadat itulah seorang kafir menjadi
seorang muslim, dan tanpanya ia tidak akan menjadi seorang muslim." (Dar'u
Ta'arudh al-Aql wan Naql, 8/7)
Beliau
juga berkata:
واتفق
المسلمون على أن الصبي إذا بلغ مسلماً، لم يجب عليه عقب بلوغه تجديد الشهادتين
Kaum
muslimin telah bersepakat bahwa seorang anak kecil jika mencapai usia baligh
(dewasa) sebagai seorang muslim, maka ia tidak wajib memperbaharui (mengulangi)
pengucapan dua kalimat syahadat setelah usia baligh." (Dar'u Ta'arudh
al-Aql wan Naql, 8/8)
(15) Imam Ibnu Rajab
Al-Hambali berkata:
ومن
المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كان يقبل مِنْ كل منْ
جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله
مسلماً، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال: لا إله إلا الله، لما رفع عليه
السيفَ، واشتدَّ نكيرُه عليه
Sudah
termasuk perkara yang ma'lum min ad-dien bidh-dharurah bahwa Nabi SAW
menerima dua kalimat syahadat semata dari setiap orang yang datang kepada
beliau untuk masuk Islam, melindungi darahnya (nyawanya) dengan dua kalimat
syahadat tersebut dan menjadikannya sebagai seorang muslim. Beliau SAW
mengingkari Usamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illa Allah saat Usamah mengangkat pedang ke arahnya, dan pengingkaran
beliau SAW kepadanya sangat keras. (Jami'ul ‘Ulum wal Hikam, 1/239)
***
Dari
dalil-dalil Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' di atas nampak jelas bahwa
menyamakan begitu saja status seorang muslim yang terjatuh dalam sebagian
rincian tauhid-syirik karena faktor kebodohan (al-jahl) atau ketiadaan
maksud (al-khatha' = intifa' al-qasd), atau salah memahami dalil syar'i (at-ta'wil)
dengan status kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah atau orang-orang kafir
asli lainnya tidaklah tepat.
Sebagian
ulama yang menyamakan status keduanya berargumen, kaum musyrik Arab pada zaman
jahiliyah bukanlah orang kafir asli. Mereka juga berstatus muslim, karena
mereka adalah anak-keturunan nabi Ibrahim dan Ismail AS dan mengklaim
mengamalkan ajaran nabi Ibrahim. Meski demikian, mereka tetap divonis musyrik
walau belum sampai hujah kepada mereka, dan meskipun mereka masih mengamalkan
sebagian syariat nabi Ibrahim seperti haji, umrah, thawaf, menyembelih korban,
dan lain-lain.
Argumen
sebagian ulama tersebut tidak lain adalah sebuah qiyas (analogi) yang keliru
dan tidak tepat, karena menyelisihi dalil-dalil syar'i. Antara seorang muslim
yang memiliki komitmen global dengan Islam dan iman namun terjatuh dalam
sebagian rincian tauhid-syirik, dengan orang-orang musyrik Arab zaman jahiliyah
terdapat perbedaan-perbedaan yang pokok dan mendasar. Perbedaan tersebut sudah
termasuk pokok tauhid, bukan lagi rincian tauhid. Di antaranya perbedaan pokok
dan mendasar tersebut adalah:
(1) Orang-orang
musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah satu-satunya
Tuhan yang berhak disembah. Mereka meyakini ada Tuhan-Tuhan lain selain Allah yang
juga memiliki hak untuk disembah. Dalilnya antara lain adalah firman
Allah:
{إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
يَسْتَكْبِرُونَ (35)}
Sesungguhnya
mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah"
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. (QS.
Ash-Shafat [37]: 35)
{أَجَعَلَ
الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) }
Mengapa
ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar
suatu hal yang sangat mengherankan. (QS. Shad [38]: 5)
(2) Orang-orang
musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah Tuhan Yang
Maha Esa. Mereka meyakini bahwa Allah seperti makhluk, memiliki anak dan istri.
Mereka bahkan meyakini bahwa Allah memiliki banyak anak perempuan. Dalilnya
antara lain adalah firman Allah:
وَيَجْعَلُونَ
لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ (57) وَإِذَا بُشِّرَ
أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى
مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ
يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)
Dan
mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk
mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak
laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl [16]: 57-59)
أَفَأَصْفَاكُمْ
رَبُّكُمْ بِالْبَنِينَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِنَاثًا إِنَّكُمْ
لَتَقُولُونَ قَوْلًا عَظِيمًا
Maka
apakah patut Rabb kalian memilihkan bagi kalian anak-anak laki-laki sedang Dia
sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat?
Sesungguhnya kalian benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosa
syiriknya). (QS. Al-Isra' [17]: 40)
وَقَالُوا
اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ
السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ
هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ
يَتَّخِذَ وَلَدًا إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي
الرَّحْمَنِ عَبْدًا
Dan
mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak."
Sesungguhnya
kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir
langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh,
karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak
bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun
di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah
selaku seorang hamba. (QS. Maryam [19]: 88-93)
فَاسْتَفْتِهِمْ أَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُونَ
(149) أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ (150) أَلَا
إِنَّهُمْ مِنْ إِفْكِهِمْ لَيَقُولُونَ (151) وَلَدَ اللَّهُ وَإِنَّهُمْ
لَكَاذِبُونَ (152) أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ (153) مَا لَكُمْ
كَيْفَ تَحْكُمُونَ (154)
Tanyakanlah
(ya Muhammad) kepada mereka: "Apakah untuk Rabbmu anak-anak perempuan dan
untuk mereka anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat
berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya
mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: "Allah beranak."
Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. Apakah Rabba memilih
(mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki? Apakah yang terjadi
pada kalian? Bagaimana (caranya) kalian menetapkan? (QS. Ash-Shafat [37]:
149-154)
{وَجَعَلُوا
لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ (15) أَمِ
اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُمْ بِالْبَنِينَ (16) وَإِذَا
بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا
وَهُوَ كَظِيمٌ (17) أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ
غَيْرُ مُبِينٍ (18) وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ
الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ
وَيُسْأَلُونَ (19) وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ
مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (20)}
Dan
mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian
daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata
(terhadap rahmat Allah). Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang
diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kalian anak-anak laki-laki? Padahal
apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira (lahirnya bayi
perempuan, pent) dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha
Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Dan apakah
patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan memakai
perhiasan (anak perempuan, pent) sedang dia tidak dapat memberi alasan yang
terang dalam pertengkaran.
Dan
mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah
Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan
penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan
mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Dan mereka berkata: "Jikalau
Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka
(malaikat)." Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (QS. Az-Zukhruf [43]: 15-20)
أَمْ لَهُ الْبَنَاتُ وَلَكُمُ الْبَنُونَ
Ataukah
untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kalian anak-anak laki-laki? (QS.
Ath-Thur [52]: 39)
أَفَرَأَيْتُمُ
اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ
الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ
إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى
الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
Maka
apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al- Lata dan Al-Uzza,
dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?
Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?
Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain
hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakannya; Allah
tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu
mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. (QS.
An-Najm [53]: 19-23)
{إِنَّ
الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلائِكَةَ تَسْمِيَةَ
الْأُنْثَى}
Sesungguhnya
orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar
menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. (QS. An-Najm [53]: 27)
Allah
memperingatkan konskuensi dari keyakinan syirik mereka tersebut dengan
firman-Nya,
لَوْ
كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ
الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan. (QS. Al-Anbiya' [21]: 22)
مَا
اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ
كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ
عَمَّا يَصِفُونَ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain)
beserta-Nya. Sekiranya ada tuhan beserta-Nya, niscaya masing-masing tuhan itu
akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian tuhan itu akan
mengalahkan sebagian tuhanyang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha
Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Al-Mu'minun [23]:
91-92)
(3)
Orang-orang musyrik Arab pada zaman jahiliyah meyakini bahwa Allah memiliki
istri dari golongan jin. Dari perkawinan Allah dan jin wanita lahirlah
anak-anak perempuan yaitu para malaikat. Demikianlah keyakinan kaum musyrik
Arab pada zaman jahiliyah. Naudzu billah min dzalik. Dalilnya adalah
firman Allah,
وَجَعَلُوا
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَباً وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ
لَمُحْضَرُونَ
Dan
mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan sesungguhnya
jin-jin yang jahat mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke
neraka). (QS. Ash-Shafat [37]: 158)
Di antara
pendapat para ulama sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in tentang makna ayat ini
adalah:
- Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Musuh-musuh Allah (kaum musyrikin, pent) meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Iblis adalah dua orang bersaudara."
- Adh-Dhahak bin Muzahim berkata, "Orang-orang Quraisy mengatakan ‘Sesungguhnya Iblis adalah saudara Ar-Rahman'."
- Mujahid bin Jabr, Qatadah bin Da'amah as-Sadusi, dan Abdurrahman bin Zaid berkata, "Orang-orang musyrik Quraisy mengatakan ‘Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah'. Maka Abu Bakar ash-Shidiq bertanya kepada mereka, ‘Kalau begitu siapa ibu-ibu mereka?' Orang-orang musyrik Quraisy menjawab, "Mereka adalah anak-anak perempuan dari jin-jin wanita."
- Al-Kalbi berkata, "Orang-orang kafir Quraisy mengatakan ‘Allah menikah dengan jin, maka lahirlah para malaikat'."
- Athiyah Al-Aufi berkata, "Mereka (orang-orang musyrik, pent) mengatakan ‘Allah menikah dengan wanita mulia dari bangsa jin." (Lihat: Jami'ul Bayan fi Ta'wil Ayyil Qur'an (Tafsir ath-Thabari) 21/120-121; Tafsir Ibnu Abi Hatim, 10/3231; Bahrul ‘Ulum (Tafsir as-Samarqandi), 3/154; Tafsir an-Nukat wal ‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), 5/71; Ma'alim at-Tanzil (Tafsir al-Baghawi), 7/63; dan Tafsir Al-Qur'an al-Azhim (Tafsir Ibnu Katsir), 7/42)
(4) Orang-orang
musyrik Arab pada zaman jahiliyah secara sadar mengakui bahwa Allah memiliki
sekutu-sekutu, meskipun sekutu-sekutu tersebut tidak memiliki kekuasaan mutlak
seperti kekuasaan Allah yang mutlak. Di antara dalilnya adalah hadits
shahih:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ:
لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَيْلَكُمْ، قَدْ قَدْ» فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ
لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ، يَقُولُونَ هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
Dari Ibnu
Abbas RA ia berkata, "Orang-orang musyrik (pada saat haji atau umrah,
pent) mengumandangkan talbiyah: Labbaika laa syariika laka (Aku penuhi
panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu)." Maka Rasulullah SAW berkomentar,
"Celaka kalian, sudah cukup begitu saja, sudah cukup begitu saja!"
Namun orang-orang musyrik melanjutkan talbiyah mereka dengan
mengucapkan: illa syarikan huwa laka, tamlikuhu wa maa malaka (kecuali
sekutu yang Engkau miliki, Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa).
Mereka mengumandangkan talbiyah ini sambil berthawaf mengelilingi
Ka'bah." (HR. Muslim no. 1185)
Talbiyah
syirik ini telah mereka lakukan sejak zaman jahiliyah sebelum Rasulullah SAW
dilahirkan dan diutus kepada mereka. Sebagaimana ditegaskan oleh hadits shahih,
وَعَنْ
أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ بَعْدَ إِسْمَاعِيلَ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَكَانَ
الشَّيْطَانُ يُحَدِّثُ النَّاسَ بِالشَّيْءِ يُرِيدُ أَنْ يَرُدَّهُمْ عَنِ
الْإِسْلَامِ حَتَّى أَدْخَلَ عَلَيْهِمْ فِي التَّلْبِيَةِ:
لَبَّيْكَ
اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ... لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ
إِلَّا
شَرِيكٌ هُوَ لَكَ ... تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ
قَالَ:
فَمَا زَالَ حَتَّى أَخْرَجَهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى الشِّرْكِ.
Dari Anas
bin Malik RA berkata: "Masyarakat sepeninggal nabi Ismail berada dalam
agama Islam. Maka setan datang kepada masyarakat membisikkan kepada mereka
suatu hal dengan tujuan mengeluarkan mereka dari Islam. Sampai akhirnya setan
berhasil memasukkan ucapan (syirik) dalam talbiyah mereka:
Labbaika Allahumma labbaika
Labbaika laa syariika laka
illa syarikan huwa laka
tamlikuhu wa maa malaka
(Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi
panggilan-Mu,
aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu
kecuali sekutu yang Engkau miliki
Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa)
Setan
senantiasa mengajarkan hal itu kepada mereka sehingga akhirnya ia bisa
mengeluarkan mereka dari Islam kepada kesyirikan.
(HR.
Al-Bazzar. Al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma' az-Zawaid wa Mamba' al-Fawaid,
3/223, mengatakan: Para perawinya adalah para perawi kitab Ash-Shahih).
Para
pakar sejarah telah sepakat meriwayatkan talbiyah syirik ini telah
dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman jahiliyah. Imam As-Suhaili dan pakar
sejarah lainnya menegaskan bahwa talbiyah syirik ini pertama kali dilakukan
oleh Amru bin Luhay al-Khuza'i, pemimpin Makah dari suku Khuza'ah. Pakar
sejarah imam Ibnu Ishaq menegaskan talbiyah ini diucapkan oleh suku Kinanah dan
Quraisy. (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/188 karya Ibnu Katsir)
***
Orang
yang memiliki komitmen global kepada rukun iman dan rukun Islam seperti ini
telah menyandang nama muslim dan mukmin. Terlebih jika ia lahir dari keluarga
muslim dan memasuki usia baligh sebagai seorang yang memiliki komitmen global
kepada rukun iman dan rukun Islam. Maka secara nama, ia menyandang status
muslim dan mukmin.
Persoalan
timbul ketika ia melakukan syirik akbar atau kufur akbar pada perkara yang
sifatnya perincian tauhid dan iman, bukan pokok tauhid dan iman. Pokok tauhid
misalnya rukun iman yang enam dan dua rukun Islam pertama (dua kalimat syahadat
dan shalat wajib lima waktu). Contoh dari cabang perincian tauhid misalnya,
tatacara berdoa kepada Allah; bolehkah dengan perantaraan kemuliaan Nabi SAW
dan orang shalih? Contoh lainnya adalah salah satu sifat Allah; al-hukmu
(memutuskan hukum dan perundang-undangan).
Apakah ia
langsung divonis musyrik tanpa meneliti faktor syarat-syarat pengkafiran dan
mawani' takfir (penghalang-penghalang pengkafiran)? Ataukah ia tidak divonis
musyrik karena telah memiliki nama muslim dan mukmin, sehingga yang dilakukan
terhadapnya adalah penelitian ada atau tidaknya syarat-syarat pengkafiran dan
penghalang-penghalang pengkafiran; jika syarat-syarat pengkafiran terpenuhi dan
penghalang-penghalang pengkafiran tidak ada, maka ia divonis kafir/murtad?
Hal
inilah yang insya Allah akan kita bahas pada kajian selanjutnya. Wallahu
a'lam bish-shawab
Bersambung,
insya Allah….

Serial kajian tentang
takfir muayyan #2: Mengenal kaedah umum takfir mu’ayyan
Muhib
Al-Majdi
Rabu, 30
Mei 2012 09:58:54
(Arrahmah.com) - Apabila seseorang secara sah
telah masuk Islam dan memiliki komitmen global kepada Islam, kemudian ia
mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan yang membatalkan
keislamannya ---bisa berupa syirik akbar, kufur akbar, atau sebab lainnya--- maka
ia divonis kafir alias murtad apabila telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran
(syurut takfir) dan tiada penghalang-penghalang pengkafiran (mawani'
takfir).
Masalah
mengkafirkan seseorang yang secara sah telah masuk Islam karena melakukan salah
satu pembatal keislaman, pada dasarnya mencakup dua aspek. Pertama,
aspek akidah berkenaan dengan dalil-dalil syar'i yang menyatakan sebuah
keyakinan, ucapan, atau perbuatan sebagai pembatal keislaman. Hal ini dibahas
dalam buku-buku akidah pada bab pembatal-pembatal keislaman (nawaqidhul
Islam).
Kedua, aspek fiqih berkenaan dengan
proses pengadilan (al-qadha') yang mengkaji realita pelaku ucapan atau
perbuatan yang membatalkan keislaman tersebut. Hal ini dibahas dalam buku-buku
fiqih pada bab kemurtadan (ar-riddah) dan peradilan (al-qadha').
***
Dua Macam
Pengkafiran
Oleh
karenanya di kalangan ulama dikenal dua istilah pengkafiran; takfir ‘am
atau takfir nau' dan takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan.
(1) Takfir
‘Am atau Takfir Nau' atau Takfir Muthlaq
Takfir
‘am atau takfir'
nau' atau Takfir Muthlaq adalah menilai sebuah keyakinan (amalan
hati), ucapan (amalan lisan), atau perbuatan (amalan anggota badan) sebagai
pembatal keislaman. Hal yang dihukumi adalah ucapan atau perbuatan yang nampak,
sehingga pengkafiran diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan lepas tanpa
memerlukan kajian tentang syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir) dan
penghalang-penghalang pengkafiran (mawani' takfir).
Contoh
dari takfir ‘am atau takfir nau' adalah ucapan para ulama:
"Barangsiapa mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk maka ia telah
kafir", atau "Barangsiapa menghalalkan hal yang keharamannya telah
disepakati atau mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati maka ia
telah kafir", atau "Barangsiapa melakukan perbuatan sihir maka ia
telah kafir", atau ‘Barangsiapa meninggalkan shalat wajib sampai keluar
waktunya secara sengaja, maka ia telah kafir".
(2) Takfir
‘Ain atau Takfir Mu'ayyan
Adapun takfir
‘ain atau takfir mu'ayyan adalah menjatuhkan vonis kafir murtad
terhadap seorang muslim yang terbukti secara sah mengucapkan ucapan atau
melakukan perbuatan yang membatalkan keislaman. Hal yang dihukumi adalah sosok
muslim tertentu, bukan semata ucapan atau perbuatan yang ia lakukan. Dalam hal
ini, dilakukan kajian tentang syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir)
dan penghalang-penghalang pengkafiran (mawani' takfir).
a. Jika
syarat-syarat pengkafiran telah terpenuhi sementara penghalang-penghalang
kekafiran tidak ada, maka muslim tersebut divonis kafir alias murtad. Kepadanya
diminta untuk bertaubat. Jika ia mau bertaubat, maka ia menjadi seorang muslim
kembali. Namun apabila ia tidak mau bertaubat, niscaya kepadanya diterapkan
hukum-hukum Islam atas diri orang murtad.
b. Jika
syarat-syarat pengkafiran belum terpenuhi atau terdapat penghalang-penghalang
pengkafiran, maka muslim tersebut tidak divonis kafir alias murtad. Apabila
telah ditegakkan hujah kepadanya, dihilangkan syubhat yang ada pada dirinya,
dan seluruh penghalang pengkafiran tidak ada pada dirinya namun ia tetap
melakukan kekufuran tersebut, maka ia harus divonis murtad.
Contoh
takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan adalah pernyataan para ulama: "Lia
Aminuddin telah murtad karena mengklaim sebagai nabi dan menerima wahyu dari
malaikat Jibril", atau "Nashr Hamid Abu Zaid telah murtad karena
menyatakan Al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) bukan wahyu
Allah!", atau "Ulil Abshar Abdalla telah murtad karena menyatakan
semua agama baik dan benar", atau "Musdah Mulia telah murtad karena
menghalalkan homoseksual dan lesbian"dan lain-lain.
***
Takfir
‘am tidak selalu berkonskuensi takfir mu'ayyan
Dari
dalil-dalil syar'i dan praktek para ulama salaf, para ulama ahlus sunnah wal
jama'ah kemudian menyimpulkan sebuah kaedah: Takfir ‘am atau takfir nau'
tidak selalu berkonskuensi takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan. Takfir ‘am
atau takfir nau' baru berkonskuensi takfir ‘ain atau takfir
mu'ayyan ketika telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada
penghalang-penghalang pengkafiran pada diri seorang muslim yang mengucapkan
ucapan atau melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Di antara
dalil Al-Qur'an, as-sunnah dan ijma' ulama yang menjadi landasan kaedah ini
adalah:
(1).
Firman Allah SWT,
مَنْ
كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ
غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (niscaya dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(maka dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar." (QS. An-Nahl [16]:
106)
Para
ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sahabat Ammar
bin Yasir RA yang disiksa dengan sadis oleh kaum musyrik Quraisy. Dalam
penyiksaan yang biadab itu, bapaknya yang bernama Yasir RA dan ibunya yang
bernama Sumayyah RA gugur sebagai syahid. Karena tidak kuat lagi menanggung
beratnya siksaan, akhirnya Ammar bin Yasir menuruti paksaan orang-orang musyrik
Quraisy untuk mengucapkan perkataan kekafiran, yaitu mengakui berhala-berhala
Quraisy sebagai Tuhan yang berhak disembah dan mendustakan kenabian Nabi
Muhammad SAW. Setelah menuruti paksaan tersebut, kaum musyrik Quraisy
menghentikan siksaan dan melepaskan Ammar.
Ammar
menyesali peristiwa itu dan mengadukannya kepada Nabi SAW sembari menangis.
Nabi SAW bertanya kepada Ammar, "Bagaimana dengan perasaan hatimu?"
Ammar menjawab, "Tetap tentram dalam keimanan." Nabi SAW
bersabda, "Jika mereka kembali menyiksamu, maka lakukan seperti yang
kau lakukan sebelumnya (menuruti paksaan mereka)!" (Lihat: Jami'ul
Bayan fi Ta'wil Ayyil Qur'an (Tafsir Ath-Thabari) 17/304-305, Tafsir Al-Qur'an
Al-Azhim (Tafsir Ibnu Katsir) 4/605, Ma'alim At-Tanzil (Tafsir
Al-Baghawi) 5/45-46, Al-Jami' li-Ahkam Al-Qur'an (Tafsir Al-Qurthubi)
10/180-181, Fathul Qadir (Tafsir Asy-Syaukani) 3/235 dan Mahasinut Ta'wil (Tafsir
Al-Qasimi), 6/412)
Imam
Al-Qurthubi berkata:
"Para ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa dipaksa untuk melakukan
kekafiran sampai ia mengkhawatirkan akan dibunuh, maka ia tidak berdosa jika
melakukan kekafiran selama hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka istrinya
tidak diceraikan dari dirinya dan ia tidak divonis kafir." (Al-Jami'
li-Ahkam Al-Qur'an, 10/182 dan Fathul Qadir, 3/235)
Imam Ibnu
Katsir berkata:
"Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa seseorang yang dipaksa untuk
melakukan kekafiran, maka ia boleh menuruti paksaan itu demi mempertahankan
nyawanya, dan boleh juga baginya menolak meskipun berakibat ia dibunuh seperti
Bilal RA yang menolak paksaan mereka, meskipun mereka menimpakan siksaan apapun
kepadanya." (Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, 4/606 dan Mahasinut Ta'wil,
6/413)
(2)
Firman Allah SWT,
وَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan tidak
ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru (khilaf) padanya, tetapi
yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33]: 5)
Dan
hadits shahih,
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ
يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ،
فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا،
فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ،
فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ
بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا
رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Dari Anas
bin Malik Ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah lebih senang
dengan taubat seorang hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada Allah, daripada
kegembiraan salah seorang di antara kalian yang mengendarai untanya di sebuah
padang pasir, tiba-tiba untanya terlepas darinya dengan membawa lari makanan
dan minumannya. Ia putus asa dari untanya, maka ia mendatangi sebatang pohon
dan berbaring di bawah naungannya dalam keadaan putus asa dari untanya. Ketika
ia dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba untanya berada di hadapannya, berdiri
di sisinya, maka ia segera memegang tali kekang untanya. Ia begitu gembira
sampai mengucapkan, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah
Rabbmu." Ia keliru mengucapkan kalimat karena terlalu gembira. (HR.
Muslim no. 2747)
Perkataan
‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu' merupakan syirik
akbar. Namun orang tersebut tidak dikafirkan karena pada dirinya terdapat
penghalang kekafiran, yaitu kekeliruan atau keseleo lidah, mengucapkan
perkataan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh hatinya (al-khatha').
Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah berkata:
"Allah
SWT telah memberi udzur kepada orang yang terlalu larut dalam kegembiraan
karena mendapatkan kembali untanya yang terlepas di daerah yang bisa
membinasakan dirinya (padang pasir tanpa makanan dan minuman, pent) setelah ia
putus asa darinya. Ia sampai mengatakan, "Ya Allah, Engkau adalah
hambaku dan aku adalah Rabbmu." Allah tidak menjadikan orang tersebut
kafir, karena ia keliru mengucapkan kalimat oleh faktor kegembiraan yang
sangat." (Syifa'ul ‘Alil fi Masailil Qadha' wal Qadar wal Hikmah wat
Ta'lil, 1/138)
Beliau
juga berkata:
"Di
antara kaedah ilmu yang terdapat dalam hadits ini adalah sebuah lafal yang
terucap melalui lisan seorang hamba secara keliru karena kegembiraan yang
sangat, atau kemarahan yang sangat, dan lain sebagainya, niscaya ia tidak
dihukum karena ucapan tersebut. Oleh karena itu, orang tersebut tidak menjadi
kafir dengan perkataannya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku
adalah Rabbmu." (Madarijus Salikin Syarh Manazilis Sairin, 1/226)
(3)
Hadits tentang Qudamah bin Mazh'un RA yang menghalalkan khamr karena salah
memahami dalil (salah ta'wil).
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Amir bin Rabi'ah bahwa khalifah Umar bin Khatab mengangkat
seorang veteran perang Badar, Qudamah bin Mazh'un RA yang juga paman Abdullah
bin Umar RA dan Hafshah bin Umar RA (dari jalur ibu) sebagai gubernur Bahrain.
Qudamah bin Mazh'un meminum khamr sampai mabuk. Ia dilaporkan kepada khalifah
Umar bin Khathab, dan terdapat tiga orang saksi atas hal itu yaitu Jarud kepala
suku Abdul Qais, Abu Hurairah RA dan Hindun binti Walid istri Qudamah bin
Mazh'un.
Ketika
disidang, Qudamah bin Mazh'un mengakui telah meminum khamr. Namun Qudamah bin
Mazh'un menganggap khamr halal baginya, dengan dalil firman Allah SWT,
لَيْسَ
عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا
مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا
ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (93)
Tidak ada
dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena
memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat
kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]: 93)
Maka Umar
bin Khathab berkata:
أَخْطَأْتَ
التَّأْوِيلَ , إِنِ اتَّقَيْتَ اللهَ اجْتَنَبْتَ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْكَ
"Engkau
telah keliru memahami ayat (ta'wil). Jika engkau bertakwa kepada Allah, niscaya
engkau menjauhi apa yang Allah haramkan kepadamu."
Dengan
kesepakatan sahabat, Qudamah bin Mazh'un RA akhirnya dijatuhi hukuman cambuk.
(HR.
Abdur Razzaq no. 17076, Al-Baihaqi no. 17516 dan Ibnu Syabah dalam Tarikh
al-Madinah)
Qudamah
bin Mazh'un RA adalah seorang sahabat senior dari kalangan muhajirin dan
termasuk veteran Badar. Ia bukan orang yang baru saja masuk Islam. Ia tidak
hidup di daerah pelosok pedalaman yang jauh dari ilmu dan para ulama, justru ia
hidup di negara Islam, bahkan di salah satu kota besar dalam wilayah khilafah
Islamiyah rasyidah. Ia bukan orang bodoh dan awam, karena ia adalah seorang
gubernur, dan Umar bin Khathab mengedepankan orang-orang berilmu sebagai para
pejabat negara. Di zaman ia hidup terdapat ribuan ulama, baik dari kalangan
sahabat senior, sahabat junior, maupun tabi'in senior.
Qudamah
bin Mazh'un RA meminum khamr dan menganggap khamr itu halal baginya. Ia tahu
dalil keharaman khamr yaitu QS. Al-Maidah [5]: 90-91, namun ia meyakini dirinya
dikecualikan dari keharaman tersebut karena salah memahami QS. Al-Maidah [5]:
93. Menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah kufur akbar
yang membatalkan keislaman. Untuk itu, ia diadili oleh Umar bin Khathab.
Umar menjelaskan kepadanya kekeliruannya dalam memahami QS. Al-Maidah [5]: 93.
Karena ia mengakui perbuatannya meminum khamr dan ada beberapa saksi yang
bersaksi di pengadilan Umar, maka ia pun dihukum cambuk.
Seandainya
setelah proses pengadilan dan penegakan hujah yang membantah kekeliruannya
dalam memahami QS. Al-Maidah [5]: 93 tersebut, Qudamah masih meyakini kehalalan
khamr, tentulah para sahabat bersepakat atas kemurtadan Qudamah, karena
syarat-syarat pengkafiran telah terpenuhi dan penghalang-penghalang pengkafiran
tidak ada lagi pada dirinya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Demikian
pula orang yang mengingkari pengharaman sesuatu hal dari hal-hal yang
keharamannya telah sangat jelas (zhahirah) lagi sangat terkenal (mutawatirah)
seperti perbuatan-perbuatan keji, kezaliman, ucapan dusta, khamr dan lain
sebagainya, atau ia keliru sehingga ia meyakini bahwa orang-orang yang beriman
dan beramal shalih dikecualikan dari pengharaman khamr seperti
kekeliruan orang-orang yang diminta bertaubat oleh Umar, dan orang-orang yang
seperti mereka; maka mereka harus diminta untuk bertaubat dan kepada mereka
ditegakkan hujah. Jika setelah itu mereka masih saja
terus-menerus (menghalalkan khamr, pent) maka mereka telah kafir pada saat
tersebut, adapun sebelum itu mereka tidak divonis kafir. Sebagaimana
para sahabat tidak memvonis kafir Qudamah bin Mazh'un dan kawan-kawannya
(yang menghalalkan khamr sebelum dihilangkan syubhatnya, pent) saat mereka
keliru dalam melakukan ta'wil." (Majmu' Fatawa, 7/610)
Imam Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali berkata:
"Telah
diriwayatkan bahwa Qudamah bin Mazh'un RA meminum khamr karena menghalalkannya,
maka Umar bin Khathab menerapkan hukuman had (cambuk) kepadanya dan tidak
mengkafirkannya. Demikian juga Abu Jandal bin Suhail RA dan sekelompok orang
yang bersamanya meminum khamr di Syam dan menghalalkannya, mereka berdalil
dengan firman Allah,
Tidak ada
dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena
memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat
kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]: 93)
Mereka
tidak dikafirkan, namun mereka diberi penjelasan tentang keharaman khamr, maka
mereka bertaubat, sehingga ditegakkan hukuman had atas mereka. Maka kepada
orang-orang yang keadaannya seperti mereka ditetapkan juga hukum yang sama
dengan mereka. Demikian juga setiap orang yang tidak mengetahui sesuatu hal
yang ia memang mungkin untuk tidak mengetahuinya, maka ia tidak dihukumi kafir
sampai ia diberi penjelasan tentangnya, syubhat hilang dari dirinya, lalu ia
menghalalkannya setelah semua (proses penjelasan ilmu dan penghilangan syubhat,
pent) tersebut." (Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 9/12)
Seperti
dijelaskan dalam kitab-kitab hadits dan sejarah, Abu Jandal bin Suhail RA
adalah seorang sahabat muhajirin yang melarikan diri dari kota Makah pada masa
berlakunya perjanjian Hudaibiyah. Ia bukan orang yang baru masuk Islam. SeteIah
Rasulullah SAW wafat, Abu Jandal tinggal di Syam, salah satu wilayah khilafah
Islamiyah rasyidah yang dipenuhi oleh ratusan ulama dari generasi shahabat dan
tabi'in.
Ia
meminum khamr dan menghalalkan khamr, ini merupakan kekafiran dan pembatal
keislaman. Namun karena ia melakukannya atas dasar salah memahami ayat Al-Qur'an
(ta'wil), maka ia tidak dikafirkan sampai dijelaskan kepadanya pemahaman yang
benar dan dihilangkan syubhat. Jika setelah proses penjelasan kebenaran dan
penghilangan syubhat tersebut ia tetap saja menghalalkan khamr, niscaya ia akan
divonis kafir oleh seluruh ulama.
(4)-
Hadits tentang Khawarij yang menghalalkan pembunuhan dan perampokan terhadap
kaum muslimin karena keliru memahami dalil (salah ta'wil).
Membunuh
dan merampok adalah kejahatan yang keharamannya telah disepakati, sangat jelas
(zhahirah) dan sangat terkenal (mutawatirah). Semua kaum
muslimin, baik ulama maupun awam sudah memahami keharamannya. Menghalalkan
pembunuhan dan perampokan adalah sebuah kufur akbar yang membatalkan keislaman.
Ini adalah takfir ‘am atau takfir nau'. Meski demikian, tidak
serta merta hukum kafir murtad karena melakukan penghalalan membunuh dan
merampok ini bisa diterapkan kepada, misalnya, personil-personil kelompok
Khawarij karena adanya penghalang kekafiran pada diri mereka yaitu salah ta'wil.
Kelompok
Khawarij atau Haruriyah semula adalah anggota pasukan khalifah Ali bin Abi
Thalib RA dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Mereka menuduh Ali bin Abi
Thalib dan pasukannya yang setia sebagai orang kafir, karena meminta keputusan
perkara kepada manusia pada peristiwa perundingan (tahkim) dengan pasukan
Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Daumatul Jandal. Mereka memisahkan diri dari
pasukan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju perundingan damai antara Ali bin
Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Mereka
meyakini Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa
Al-Asy'ari RA dan seluruh sahabat dan tabi'in yang terlibat dalam perang
Shiffin dan tahkim di Daumatul Jandal telah kafir, karena berhukum kepada
manusia, padahal menetapkan hukum hanyalah milik Allah, dan merampas hak
menetapkan hukum adalah syirik akbar, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT,
إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Hak menetapkan
hukum hanyalah milik Allah. (QS. Yusuf [12] 40)
Ali bin
Abi Thalib mengomentari cara Khawarij memahami ayat tersebut dengan berkata,
"Kalimat kebenaran namun dimaksudkan untuk kebatilan."
Sebagaimana
disebutkan oleh riwayat-riwayat yang sangat terkenal dalam kitab-kitab hadits
dan kitab-kitab sejarah, Ibnu Abbas RA diutus oleh Ali bin Abi Thalib RA untuk
berdialog dengan kelompok Khawarij Haruriyah dan menghilangkan syubhat mereka.
Dari 12000 personil Khawarij pimpinan Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, Zaid bin
Hushain ath-Thai, Syuraih bin Aufa, Harqush bin Zuhair, Abdullah bin Syajarah
as-Sulami dan Dzu Tsadyain, sebanyak 8000 orang bertaubat dan keluar dari
kelompok Khawarij. Namun 4000 personil lainnya bersama para pemimpinnya tetap
memegang teguh prinsip mereka; mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin
Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy'ari, Aisyah, Thalhah bin Ubaidullah,
Zubair bin Awwam, Amar bin Yasir, dan seluruh sahabat yang terlibat dalam
perang Jamal dan perang Shiffin.
Kelompok
Khawarij lantas membunuh Abdullah bin Khabab bin Arts dan istrinya yang sedang
hamil, dan merampas hartanya, karena keduanya tidak mengkafirkan Ali bin Abi
Thalib dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang Jamal dan perang
Shiffin. Ali bin Abi Thalib meminta mereka yang terlibat dalam pembunuhan dan perampokan
keji itu untuk menyerahkan diri. Namun mereka semua mengaku sebagai pelakunya
dan menolak menyerahkan diri. Maka Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin
memerangi kelompok Khawarij hingga mereka bisa dikalahkan.
Kelompok
Khawarij menghalalkan pembunuhan terhadap umat Islam di luar kelompoknya,
bahkan terhadap para sahabat Muhajirin dan Anshar yang telah diridhai Allah.
Allah SWT berfirman,
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah [9]: 100)
Sebagian
shahabat bahkan telah dipastikan oleh Nabi SAW sebagai ahli surga, seperti
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidullah, Zubair bin Awwam,
dan lain-lain. Khawarij juga menghalalkan perampokan terhadap harta kaum
muslimin di luar kelompoknya. Khawarij hidup di negeri Islam, bahkan di ibukota
jantung Khilafah Islamiyah Rasyidah yaitu Kufah, bukan di pelosok pedalaman
terpencil yang jauh dari ilmu. Khawarij hidup di zaman negeri kaum muslimin
dipenuhi oleh ribuan ulama dari generasi sahabat dan tabi'in. Khawarij bukan
orang yang baru saja masuk Islam. Mereka tahu pasti dalil keharaman membunuh
seorang mukmin dan merampas harta seorang mukmin, karena Khawarij adalah
orang-orang yang sangat tekun membaca Al-Qur'an dan mereka paham bahasa Arab,
selain juga mereka hidup bersama Ali bin Abi Thalib dan ratusan ulama sahabat
dalam barisan Ali.
Kepada
4000 pengikutnya, para pemimpin Khawarij mengajarkan doktrin kehalalan nyawa
dan harta Ali bin Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa
al-Asy'ari, dan ribuan sahabat dan tabi'in yang terlibat perang Jamal, perang
Shifin, dan perundingan damai di Daumatul Jandal. Menghalalkan hal yang
keharamannya telah disepakati adalah kufur akbar, dan menaati aturan para
pemimpin yang menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah syirik
akbar.
Meski
demikian, khalifah Ali bin Abi Thalib, ribuan sahabat dan tabi'in yang
bersamanya tidak memvonis Khawarij sebagai orang-orang musyrik, kafir, dan
murtad. Hal itu karena pada diri mereka terdapat sebuah penghalang pengkafiran,
yaitu salah memahami dalil (at-ta'wil). Khawarij memahami dalil secara keliru sehingga
meyakini Ali bin Thalib dan seluruh sahabat yang terlibat dalam perang Jamal,
perang Siffin, dan perundingan damai di Daumatul Jandal sebagai orang kafir,
sehingga nyawa dan hartanya halal.
Di antara
dalil tentang hal itu adalah hadits-hadits shahih berikut,
عَنْ
طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: " كُنْتُ عِنْدَ عَلِيٍّ حِينَ فَرَغَ مِنْ قِتَالِ
أَهْلِ النَّهْرَوَانِ، فَقِيلَ لَهُ: أَمُشْرَكُونَ هُمْ؟ قَالَ: مِنَ الشِّرْكِ
فَرُّوا. فَقِيلَ: فَمُنَافِقُونَ ؟ قَالَ: الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ
اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا. قِيلَ: فَمَا هُمْ؟ قَالَ: قَوْمٌ بَغَوْا عَلَيْنَا
فَقَاتَلْنَاهُمْ ".
Dari
Thariq bin Syihab berkata, "Saya menyertai Ali bin Abi Thalib RA setelah
usai perang melawan kelompok Khawarij di Nahrawan. Ali bin Abi Thalib ditanya,
"Apakah mereka itu orang-orang musyrik?" Ali bin Abi Thalib
menjawab, "Mereka justru lari menjauhi syirik." Ali bin Abi
Thalib ditanya lagi, "Apakah mereka itu orang-orang munafik?"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Orang-orang munafik tidak mengingat Allah
kecuali sedikit saja." Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, "Kalau
begitu, mereka itu apa?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka
adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita memerangi
mereka." (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta'zhim Qadris
Shalat no. 506)
عَنْ
حَكِيمِ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: قَالُوا لِعَلِيٍّ حِينَ قَتَلَ أَهْلَ النَّهْرَوَانِ:
أَمُشْرِكُونَ هُمْ؟ قَالَ: مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا. قِيلَ: فَمُنَافِقُونَ؟
قَالَ: الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا. قِيلَ: فَمَا
هُمْ؟ قَالَ: قَوْمٌ حَارَبُونَا فَحَارَبْنَاهُمْ وَقَاتَلُونَا فَقَاتَلْنَاهُمْ
Dari
Hakim bin Jabir berkata, "Orang-orang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib
RA ketika ia memerangi kelompok Khawarij di Nahrawan, "Apakah mereka
itu orang-orang musyrik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka
justru lari menjauhi syirik." Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, "Apakah
mereka itu orang-orang munafik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Orang-orang
munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja." Ali bin Abi
Thalib ditanya lagi, "Kalau begitu, mereka itu apa?" Ali
bin Abi Thalib menjawab, "Mereka adalah sebuah kaum yang memerangi kita
maka kita pun memerangi mereka, dan mereka membunuhi kita maka kita pun
membunuhi mereka." (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta'zhim
Qadris Shalat no. 508)
عَنْ
شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ ، قَالَ : قَالَ رَجُلٌ : مَنْ يَتَعَرَّفُ الْبُغَاةَ
يَوْمَ قُتِلَ الْمُشْرِكُونَ ؟ يَعْنِي أَهْلَ النَّهْرَوَانِ ، فَقَالَ عَلِيُّ
بْنُ أَبِي طَالِبٍ : " مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا ، قَالَ : فَالْمُنَافِقُونَ
؟ قَالَ : الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ، قَالَ :
فَمَا هُمْ ؟ قَالَ : قَوْمٌ بَغَوْا عَلَيْنَا فَنُصِرْنَا عَلَيْهِمْ .
Dari
Syaqiq bin Salamah berkata, "Seorang berkata, "Siapakah yang
mencari tahu tentang para pembangkang pada hari kaum musyrikin dibunuh?" Kaum
musyrikin yang ia maksudkan adalah kelompok Khawarij di Nahrawan. Maka Ali bin
Abi Thalib menjawab, "Mereka justru lari menjauhi syirik."
Orang itu bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, "Apakah mereka itu
orang-orang munafik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Orang-orang
munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja." Orang itu
bertanya lagi kepada Ali bin Abi Thalib lagi, "Kalau begitu, mereka itu
apa?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka adalah sebuah kaum
yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita diberi kemenangan atas
mereka." (HR. Al-Baihaqi dalam as-sunan al-kubra no. 25213)
Setelah
menyebutkan hadits Thariq bin Syihab dan Hakim bin Jabir di atas, syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Hadits
yang pertama dan hadits ini sangat tegas bahwa Ali bin Abi Thalib mengucapkan
perkataan tersebut berkenaan dengan Khawarij Haruriyah penduduk Nahrawan,
dimana telah sangat masyhur hadits-hadits shahih dari Nabi SAW yang mencela
mereka dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Mereka mengkafirkan Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, dan orang-orang yang memberikan loyalitas kepada
keduanya (mengakui kekhilafahan keduanya). Siapa saja yang tidak bersama
mereka, niscaya menurut mereka adalah orang kafir, negerinya dianggap sebagai
negeri kafir, karena negeri Islam menurut mereka hanyalah negeri yang mereka
tempati.
Imam Abul
Hasan Al-Asy'ari dan lainnya berkata: "Khawarij telah bersepakat dalam
mengkafirkan Ali bin Abi Thalib RA."Meski demikian, Ali bin Abi Thalib
baru memerangi mereka ketika mereka telah memulai peperangan, di mana mereka
membunuh Abdullah bin Khabab. Ali meminta mereka untuk menyerahkan kepadanya
pembunuhnya, namun mereka menjawab, "Kami semua yang telah membunuhnya."
Mereka juga merampok hewan gembalaan masyarakat. Oleh karenanya, Ali bin Abi
Thalib berkomentar tentang mereka, "Mereka adalah sebuah kaum yang
memerangi kita maka kita pun memerangi mereka, dan mereka membunuhi kita maka
kita pun membunuhi mereka." Ali juga berkomentar, "Mereka
adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita memerangi
mereka."
Para
sahabat dan ulama setelah generasi mereka telah bersepakat untuk memerangi
mereka (Khawarij), karena mereka bertindak aniaya terhadap seluruh kaum
muslimin yang tidak menyetujui pendapat (keyakinan) mereka. Mereka memulai
peperangan terhadap kaum muslimin, dan kejahatan mereka tidak bisa ditolak
kecuali dengan memerangi mereka. Maka mereka lebih berbahaya terhadap kaum
muslimin daripada para pembegal (perampok), karena tujuan para pembegal adalah
harta, jika mereka diberi harta maka mereka tidak akan memerangi. Lagipula,
para pembegal hanya mengincar sebagian orang saja.
Adapun
Khawarij memerangi masyarakat atas dasar agama sampai masyarakat meninggalkan
ajaran yang telah tetap berdasar Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' shahabat, kepada
bid'ah yang diada-adakan oleh Khawarij dengan ta'wil mereka yang batil dan
pemahaman mereka yang rusak terhadap Al-Qur'an. Meski demikian, Ali RA
menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin, bukan orang-orang kafir,
bukan pula orang-orang munafik." (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah,
5/243-244)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:
"Perkataan
sahabat Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya tentang kelompok Khawarij
mengindikasikan bahwa Khawarij bukanlah orang-orang kafir seperti orang-orang
yang keluar dari pokok Islam. Pendapat inilah yang diriwayatkan dengan tegas
dari para ulama seperti imam Ahmad dan lainnya." (Majmu' Fatawa,
28/516)
Imam Ibnu
Qudamah Al-Hambali berkata:
"Sudah
dikenal luas bahwa termasuk akidah Khawarij adalah mengkafirkan banyak para
shahabat RA dan generasi sesudah mereka, menghalalkan darah (nyawa) mereka dan
harta mereka, dan Khawarij meyakini membunuh mereka adalah amalan shalih untuk
mendekatkan diri kepada Rabb mereka. Meski demikian, para ulama fiqih (fuqaha')
tidak memvonis Khawarij sebagai orang-orang kafir, karena mereka melakukan
ta'wil." (Al-Mughni Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, 9/12)
(5) Dalil
dari ijma' shahabat dan tabi'in
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Hakekat
perkara dalam hal itu adalah terkadang sebuah pendapat (keyakinan) merupakan
sebuah kekafiran, maka disebutkan secara lepas (muthlaq) tentang
kekafiran orangnya, dengan mengatakan: Barangsiapa mengatakan begini, maka
dia telah kafir. Namun individu tertentu yang mengucapkan perkataan
(kekafiran) tersebut tidaklah divonis telah kafir sampai tegak atasnya hujah
yang telah kafir orang yang meninggalkan hujah tersebut…
Pendapat-pendapat
yang menyebabkan pelakunya telah kafir, terkadang seseorang belum sampai
kepadanya nash-nash (dalil-dalil syar'i) yang menyebabkannya mengetahui
kebenaran; terkadang nash-nash itu sudah sampai kepadanya namun menurutnya
nash-nash tersebut tidak shahih, atau juga ia belum mampu memahami nash-nash
tersebut, atau terkadang ia mendapati syubhat-syubhat yang dengannya Allah
memberinya udzur.
Maka
barangsiapa dari golongan kaum beriman, ia berijtihad (bersungguh-sungguh)
dalam mencari kebenaran dan ia keliru, niscaya Allah mengampuni kekeliruannya
siapapun ia, baik dalam perkara-perkara ilmu maupun perkara-perkara amal.
Inilah yang diyakini oleh para shahabat Nabi SAW dan seluruh ulama Islam, mereka tidak membagi-bagi
perkara-perkara agama menjadi perkara-perkara pokok (ushul) yang
mengingkarinya menyebabkan kekafiran dan perkara-perkara cabang (furu') yang
mengingkarinya tidak menyebabkan kekafiran.
Celaan
secara lepas tidak mesti berkonskuensi celaan terhadap orang tertentu yang
memiliki penghalang berlakunya celaan tersebut atas dirinya. Demikian pula
dengan pengkafiran secara lepas (takfir muthlaq) dan ancaman secara
lepas. Oleh karena itu, celaan secara lepas di dalam Al-Qur'an dan as-sunnah
bersyarat dengan terpenuhinya syarat-syarat dan tiadanya penghalang-penghalang…
Saya
telah menjelaskan kepada mereka bahwa telah diriwayatkan dari para ulama salaf
dan para imam tentang pengkafiran secara lepas terhadap orang yang mengatakan
begini dan begitu. Riwayat tersebut benar, namun ada perbedaan antara
(pengkafiran) secara lepas dan (pengkafiran) terhadap individu tertentu;
barangsiapa mengatakan begini maka baginya begini. Hal itu seperti perkataan
para ulama salaf: barangsiapa mengatakan begini maka ia telah begini. Kemudian
individu tertentu (yang mengatakan hal tersebut) bisa saja terbebas dari
ancaman tersebut; dengan bertaubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapus
keburukan-keburukan, atau musibah-musibah yang menggugurkan dosa-dosa, atau
syafa'at yang diterima." (Majmu' Fatawa, 3/230, 10/329, dan
23/41)
***
Kaedah
Umum Takfir Mu'ayyan
Berdasar
dalil-dalil Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' salaf; secara umum para ulama
merumuskan kaedah-kaedah umum takfir mu'ayyan sebagai berikut:
1.
Bersikap hati-hati dan teliti sebelum mengkafirkan seorang individu tertentu
(mu'ayyan)
2. Telah
terpenuhi syarat pengkafiran pada perbuatan individu tertentu tersebut,
yaitu:
- Ucapan dan perbuatan yang dilakukan individu tertentu tersebut jelas-jelas menunjukkan sebuah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam dan tidak mengandung kemungkinan lain, misalnya kemungkinan ‘sekedar' bid'ah, dosa besar, atau kufur asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam.
- Dalil-dalil syar'i secara tegas telah menunjukkan kekafiran ucapan atau perbuatan tersebut.
3. Telah
terpenuhi syarat pengkafiran pada diri individu tertentu tersebut,
yaitu:
- Pelaku adalah seorang
mukallaf, yaitu berusia baligh dan berakal sehat.
- Telah tegak hujah (sampainya
ilmu atau dakwah kebenaran) kepadanya dan tidak ada lagi syubhat yang
menimpanya.
- Pelaku melakukannya secara
sadar dan sengaja, bukan karena ketidak sengajaan dan ketiadaan niat.
- Pelaku melakukannya secara sukarela dan atas keinginannya sendiri, bukan karena paksaan yang disertai siksaan keji yang diluar batas kemampuannya.
4. Tidak
ada penghalang-penghalang pengkafiran pada diri individu tertentu tersebut,
yaitu:
- Kebodohan (al-jahlu)
- Kekeliruan atau ketidak
sengajaan (al-khatha' atau intifa' al-qasdi)
- Salah memahami dalil (at-ta'wilu)
- Paksaan yang disertai
siksaan (al-ikrahu)
- Ijtihad
5.
Kekafiran individu tertentu tersebut telah terbukti secara sah, dengan adanya
bukti-bukti atau kesaksian dua orang saksi yang adil.
Penjelasan
kaedah-kaedah tersebut secara luas dapat kita temukan dalam buku-buku tulisan
para ulama. Insya Allah pada kajian berikutnya akan diberikan penjelasan
yang lebih memadai tentang kaedah-kaedah di atas. Wallahu a'lam bish-shawab.
Bersambung,
insya Allah...
(muhib
almajdi/arrahmah.com)
Serial kajian tentang
takfir muayyan #3: Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran (1)?
Muhib
Al-Majdi
Jum'at, 8
Juni 2012 22:40:35
(Arrahmah.com) – Salah satu udzur dalam
pengkafiran yang mendapat bahasan luas dari para ulama Islam adalah kebodohan.
Apakah yang dimaksud dengan kebodohan dalam masalah pengkafiran? Bagaimanakah
kedudukannya dalam syariat? Adakah klasifikasi dan tingkatannya? Adakah
dalil-dalil syar'i atas hal itu? Bagaimana contoh penerapan ulama terhadapnya?
Beberapa
permasalahan inilah yang akan diuraikan dalam artikel kali ini dan
artikel-artikel selanjutnya, insya Allah.
***
Definisi
Kebodohan (Al-Jahlu)
Dalam
bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan memiliki beberapa pengertian:
a. Tidak
mengetahui sesuatu hal, disebut juga al-jahl al-basith (kebodohan
sederhana). Contoh: seseorang tidak mengetahui hukum shalat tarawih.
b.
Meyakini dan memahami sesuatu hal yang bertolak belakang dengan realita
sebenarnya, disebut juga al-jahl al-murakkab (kebodohan ganda). Contoh:
seseorang meyakini hukum shalat tarawih adalah farhu ‘ain.
c.
Mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak seharusnya
diucapkan atau dilakukan, meskipun ia mengetahui kekeliruannya. Contoh:
Seseorang sudah mengetahui shalat lima waktu itu wajib, namun ia tidak
melaksanakannya dengan alasan malas atau sibuk. Atau seseorang sudah tahu
berzina itu haram, namun ia masih juga berzina. Orang seperti ini disebut orang
bodoh, meskipun ia seorang ulama atau profesor doktor yang mumpuni ilmunya.
Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah berkata,
"Kebodohan itu ada dua macam: (1) tidak mengetahui kebenaran yang
bermanfaat dan (2) tidak mengamalkan tuntutan dari kebenaran yang bermanfaat.
Keduanya adalah kebodohan menurut tinjauan bahasa, syariat, dan realita
(hakekat). Nabi Musa AS berkata,
{أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ}
"Aku
berlindung kepada Allah dari termasuk golongan orang-orang bodoh." (QS.
Al-Baqarah [2]: 67) Maksudnya adalah berlindung dari termasuk golongan
orang-orang yang mengolok-olok. Beliau mengucapkan hal ini sebagai jawaban dari
perkataan kaumnya,
أَتَتَّخِذُنَا
هُزُوًا
"Apakah
engkau menjadikan kami sebagai bahan olok-olokan?"(QS. Al-Baqarah [2]: 67)
Nabi yang
Shiddiq (terpercaya) Yusuf AS berkata,
قَالَ
رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ
عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf
berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku (untuk berzina). Dan jika tidak Engkau hindarkan dari
padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka berzina) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf [12]: 33) Maksudnya tentulah aku termasuk
golongan orang-orang yang melanggar apa yang Engkau haramkan.
Allah SWT
berfirman,
إِنَّمَا
التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
Sesungguhnya
tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan
lantaran kebodohan, (QS.
An-Nisa' [4]: 17)
Imam
Qatadah berkata, "Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa
segala hal yang dengannya Allah dimaksiati adalah sebuah kebodohan."
Ulama
lain berkata, "Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa
siapa pun yang melakukan kemaksiatan kepada Allah adalah orang yang
bodoh." (Madarijus Salikin Syarh Manazilus Sairin, 1/467 karya imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Dalam
bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan (al-jahlu) adalah lawan kata
dari pengetahuan (al-ilmu), juga lawan kata dari sifat santun dan
kemampuan mengendalikan diri (al-hilmu). Orang yang mudah marah, tidak
sabaran, gegabah, tidak bijaksana dan emosional dalam bahasa Arab dan syariat
Islam juga disebut orang bodoh, meskipun ia adalah seorang ulama atau professor
doktor yang mumpuni ilmunya. Pengertian ini antara lain disebutkan dalam firman
Allah SWT,
وَعِبَادُ
الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ
الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan
hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu ialah orang-orang yang berjalan di atas
bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik. (QS. Al-Furqan [25]: 63)
Dan dalam
sabda Rasulullah SAW,
إِذَا
أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنِ
امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
Jika
salah seorang di antara kalian melakukan shaum pada suatu hari, maka janganlah
ia berkata jorok dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang
mencaci maki dirinya atau mengganggunua, hendaklah ia menjawab, "Aku
sedang shaum, aku sedang shaum." (HR. Muslim)
Imam
An-Nawawi berkata, "Hadits ini melarang dari ar-rafats yaitu perkataan
yang kotor dan perkataan yang keji, (dan melarang dari al-jahl). Al-Jahl
memiliki makna yang dekat dengan ar-rafats, yaitu tidak bijaksana dan tidak
tepat dalam berbicara atau berbuat." (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih
Muslim, 8/28, karya imam An-Nawawi)
***
Definisi
Kebodohan terhadap perkara-perkara akidah
Yang
dimaksud dengan kebodohan terhadap perkara-perkara akidah adalah:
a.
Seorang mukallaf tidak mengetahui sebuah perkara akidah yang merupakan pokok
urusan dalam agama Islam, seperti tidak mengenal Allah, atau tidak mengetahui
Allah semata Tuhan Yang berhak diibadahi.
b. Atau
seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian rincian ibadah sehingga ia menujukan
sebagian rincian ibadah tersebut kepada selain Allah.
c. Atau
seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian nama Allah atau sebagian sifat-Nya.
d. Atau
seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian permasalahan lain yang berkaitan
dengan keimanan. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I'tiqad Dirasah
Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 18 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
***
Antara
Jahl Ikhtiyari dan Jahl Idhtirari
Para
ulama menyebutkan bahwa kebodohan bisa dikelompokkan menjadi dua:
Pertama,
al-jahl al-ikhtiyari
Al-Jahl
Al-Ikhtiyari adalah
kebodohan yang terjadi karena keteledoran, kemalasan, dan keengganan seorang
mukallaf untuk mencari ilmu. Mukallaf dalam hal ini melakukan kesalahan, yaitu
malas dan tidak bersungguh-sungguh mencari ilmu tentang akidah dan tauhid. Ia
dianggap berpaling dari dalil kebenaran (hujah), sehingga ulama sepakat bahwa
ia tidak diberi udzur atas kebodohannya.
Kebodohan
ini disebut ikhtiari (atas pilihan dan kehendak sendiri), karena mukallaf memiliki
kemampuan untuk menghilangkan kebodohan dirinya dengan cara menuntut ilmu.
Sikap dirinya yang tidak menuntut ilmu merupakan pilihan sikapnya sendiri,
seakan-akan ia memilih kebodohan dengan tetap mempertahankan kebodohannya dan
tidak hendak menghilangkannya. (Kasyrul Asrar, 4/533 karya Al-Bazdawi dan
Al-Furuq, 2/149-150 karya Al-Qarafi)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Sesungguhnya udzur dalam masalah keyakinan
maksudnya bukanlah untuk dipertahankan, justru wajib untuk menghilangkannya
sesuai kemampuan. Kalau tidak begitu, tentulah tidak wajib menerangkan
(mengajarkan) ilmu dan tentulah lebih baik membiarkan manusia di atas
kebodohan mereka, serta tentulah tidak mengungkapkan dalil-dalil dalam
perkara-perkara yang samar lebih baik daripada menjelaskannya." (Majmu'
Fatawa, 20/279-280)
Kedua,
al-jahl al-idhtirari
Al-jahl
al-idhtirari adalah
kebodohan yang dialami oleh seorang mukallaf, sementara ia memiliki keinginan
kuat untuk mencari ilmu dan petunjuk kebenaran. Kebodohan jenis ini terjadi
karena tidak adanya kemampuan dan kemudahan untuk mencari ilmu. Kebodohan
seperti ini memiliki pengaruh terhadap hukum dengan menggugurkan hukuman atas
orang yang keliru. Allah SWT berfirman,
لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا
وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا
وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ
Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir." (QS.
Al-Baqarah [2]: 286)
Allah SWT
telah mengangkat dari seorang muslim (dosa dan hukuman) yang terjadi karena
kekeliruan, kelupaan, dan sesuatu yang berada di luar kesanggupannya. (At-Tasyri'
Al-Jinai Al-Islami, 1/431 karya syaikh Abdul Qadir Audah)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Orang mulia yang bersungguh-sungguh (ulama mujtahid) dalam mencari ilmu
sesuai apa yang ia dapatkan pada zaman dan pada tempat ia hidup, jika tujuannya
adalah mengikuti Rasulullah SAW sesuai kemampuannya, adalah lebih layak jika
Allah menerima kebaikan-kebaikannya, memberinya pahala atas kesungguhannya dan
tidak menghukumnya atas kekeliruannya, sebagai realisasi dari firman-Nya,
رَبَّنَا
لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
(Mereka
berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kami tersalah. (QS.
Al-Baqarah [2]: 286) (Majmu' Fatawa, 20/165-166 dan Dar'u Ta'arudh Al-Aql wan
Naql, 2/315)
Dari
penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan:
a. Jika
kebodohan terjadi karena adanya unsur keteledoran dan tiadanya kesungguhan
untuk menuntut ilmu padahal ada kemampuan mencari ilmu, maka kebodohan tersebut
tidak menjadi udzur.
b.
Adapun jika kebodohan terjadi meski telah ada kemauan dan usaha sungguh-sungguh
dalam mencari ilmu, maka kebodohan tersebut menjadi udzur.
Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha berkata,
"Ulama umat Islam telah sepakat bahwa kebodohan terhadap perkara-perkara
agama yang bersifat qath'i dan telah menjadi ijma' serta merupakan perkara yang
telah pasti sebagian bagian ajaran dien Islam (ma'lum minad dien bi
dharurah, perkara agama yang telah diketahui oleh semua umat Islam baik
ulama maupun orang awam), seperti tauhid, kebangkitan, rukun Islam, haramnya
zina dan khamr, bukanlah menjadi udzur bagi orang yang teledor (tidak sungguh-sungguh)
dalam mencarinya (mempelajarinya) padahal faktor-faktor pendukung mencari ilmu
terpenuhi. Adapun orang yang tidak teledor, seperti orang yang
belum lama masuk Islam, atau orang yang hidup di puncak gunung ---misalnya---
di mana ia tidak menemukan ulama sebagai tempat belajar, maka ia mendapat udzur."
(Majmu' Bidh'i Rasail Diniyah fil Aqaid Al-Islamiyah, hlm. 41 pada bagian
footnote)
Imam
Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimi Al-Yamani berkata, "Demikian pula barangsiapa
mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkomitmen dengan Islam, namun ia tidak
mengetahui makna kedua kalimat syahadat secara terperinci, maka keislamannya
diteriman. Namun ia tidak diberi udzur jika ia melakukan hal yang membatalkan
syahadat. Kecuali jika ia belum lama masuk Islam dan belum memiliki kemampuan
untuk belajar, dan ketika dijelaskan kepadanya bahwa ucapannya atau
perbuatannya menyelisihi syahadat sehingga ia berhenti darinya…Dan
ketahuilah bahwasanya ‘baru masuk Islam' itu tidak memiliki batasan tertentu,
tetapi standar penilaiannya adalah teledor (tidak sungguh-sungguh) atau tidak
teledor dalam mencari ilmu. Barangsiapa tidak teledor dari mencari ilmu, maka
ia diberi udzur. Adapun barangsiapa teledor, maka ia tidak diberi udzur."
(Raf'ul Isytibah ‘an Ma'nal Ibadah wal Ilah, hlm. 52 karya Imam Abdurrahman
bin Yahya Al-Mu'allimi Al-Yamani)
Imam
Al-Qarafi Al-Maliki berkata,
"Kaedah syariat menunjukkan bahwa setiap kebodohan yang bisa ditolak
maka tidak menjadi alasan bagi orang yang bodoh. Karena sesungguhnya Allah
telah mengutus para rasul-Nya kepada makhluk-Nya dengan risalah-risalah-Nya,
dan Allah mewajibkan mereka semua untuk mempelajari risalah-risalah-Nya
tersebut, kemudian (Allah mewajibkan mereka semua untuk) mengamalkannya. Mengilmui
dan mengamalkannya adalah dua kewajiban. Maka barangsiapa tidak belajar dan
tidak mengamalkan serta ia tetap berada dalam kebodohannya, niscaya ia telah
melakukan dua kemaksiatan karena ia meninggalkan dua kewajiban." (Al-Furuq,
4/264 karya imam Al-Qarafi)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Adapun masalah pengkafiran, pendapat yang benar adalah (pendapat yang
menyatakan bahwa) barangsiapa dari umat nabi Muhammad SAW yang berijtihad dan
menginginkan kebenaran lalu ia keliru, maka ia tidak menjadi kafir, bahkan
kekeliruannya dimaafkan. Dan barangsiapa telah jelas baginya ajaran
Rasulullah SAW kemudian ia menentang Rasulullah SAW setelah jelas baginya
petunjuk dan ia mengikuti jalan selain orang-orang mukmin, maka ia adalah orang
yang kafir. Adapun barangsiapa mengikuti hawa nafsunya dan teledor dalam
mencari ilmu serta berbicara tanpa landasan ilmu, maka ia adalah pelaku
kemaksiatan dan orang yang berdosa. Kemudian, terkadang ia menjadi orang fasik.
Dan terkadang ia memiliki kebaikan-kebaikan yang lebih unggul daripada
keburukan-keburukannya."(Majmu' Fatawa, 12/180)
Imam Ibnu
Al-Lahham Al-Hambali berkata,
"Orang yang bodoh terhadap sebuah hukum hanya diudzur apabila ia tidak
teledor dan tidak meremehkan upaya mempelajari hukum tersebut. Adapun jika ia
teledor atau meremehkan, maka secara pasti ia tidak diudzur."(Al-Qawa'id
wal Fawaid Al-Ushuliyah, hlm. 58 karya imam Ibnu Al-Lahham Al-Hambali)
Inilah
sebagian perkataan para ulama tentang pembagian kebodohan kepada kebodohan yang
diberi udzur dan kebodohan yang tidak diberi udzur. Dari uraian mereka menjadi
jelas bahwa standar penilaian sebuah kebodohan sebagai udzur atau bukan udzur
adalah:
a. Setiap
kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan ada kemampuan untuk belajar:
bukanlah udzur.
b. Setiap
kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan tidak ada kemampuan untuk
belajar: adalah udzur.
***
Kedudukan
masalah ini dalam agama Islam
Masalah
kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak menjadi udzur
merupakan permasalahan fiqih, bukan termasuk pokok-pokok masalah akidah.
Permasalahan kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak
menjadi udzur dibahas dalam bab kemurtadan (ar-riddah) pada buku-buku fiqih.
Sebab tujuan pembahasan tersebut adalah mencari kepastian apakah hujah telah
tegak atau belum tegak atas diri mukallaf yang bodoh terhadap sebuah
permasalahan tertentu dalam bidang akidah. Barangsiapa tidak mengetahui hukum
permasalahan tersebut dan ia bukan orang yang teledor atau lalai dalam menuntut
ilmu, maka ia dianggap memiliki udzur. Sebaliknya, barangsiapa tidak mengetahui
hukum permasalahan tersebut karena ia teledor atau lalai dalam menuntut ilmu,
maka ia dianggap tidak memiliki udzur.
Hal yang
lain yang menunjukkan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan cabang fiqih,
bukan permasalahan pokok-pokok akidah adalah permasalahan ini adalah cara dan
sarana untuk mengetahui nama-nama dalam agama (al-asma', seperti nama:
muslim, mukmin, fasik, musyrik, kafir, atau murtad--pent) dan hukum-hukum dalam
agama (al-ahkam, seperti: terjaganya nyawa, harta dan kehormatan atau
halalnya nyawa, harta, dan kehormatan; bisa mewarisi dan diwarisi atau tidak
bisa mewarisi dan diwarisi; boleh menikahi dan dinikahi atau tidak boleh
menikahi dan dinikahi---pent).
Karena
memvonis seorang muslim dengan vonis kafir, misalnya, karena ia melakukan
sebuah kekufuran, menuntut penelitian dan pengkajian tentang kondisi muslim
tersebut. Apakah ia memiliki udzur kebodohan karena ia telah berusaha mencari
ilmu kebenaran namun tidak mendapatkannya, dan ia bukan orang yang teledor atau
meremehkan kewajiban menuntut ilmu? Ataukah ia tidak memiliki udzur kebodohan
karena ia meremehkan atau teledor dari kewajiban menuntut ilmu, padahal ia
memiliki kesempatan dan kemampuan? Apakah ia memiliki udzur dipaksa yang
disertai siksaan keras (al-ikrah) ataukah tidak? Apakah ia memiliki
udzur salah memahami dalil (at-ta'wil) ataukah tidak? Apakah ia memiliki
udzur kekeliruan dan tiadanya maksud (al-khatha' atau intifa' al-qasd)
ataukah tidak?
Dengan
demikian, permasalahan ini termasuk permasalahan sarana (al-wasail), bukan
termasuk permasalahan tujuan dan pokok urusan akidah (al-maqashid dan al-ushul)
sehingga orang yang berbeda pendapat tidak divonis sesat, ahli bid'ah, fasik
atau kafir. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I'tiqad Dirasah
Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 22-23)
Dengan
demikian, permasalahan ini juga termasuk perkara ijtihadiyah, karena
permasalahan meremekan atau tidak meremehkan, teledor atau tidak teledor,
tidaklah memiliki batasan yang tegas dan baku untuk setiap individu mukallaf.
Ia bisa berbeda-beda sesuai perbedaan individu, tempat, dan zaman, sehingga
pendapat para ulama pun bisa berbeda-beda dalam menentukannya. (Lihat Naqdhu
Asas At-Taqdis hlm. 5 dan Bughyatul Murtaad hlm. 311, keduanya karya Ibnu
Taimiyah Al-Harrani dan Thariqul Hijratain wa Babus Sa'adatain, hlm. 611-612
karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Oleh
karenanya, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan syaikh Athiyatullah
Al-Libi menegaskan bahwa masalah ini termasuk permasalahan fiqih. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata,
"Perbedaan
pendapat dalam masalah udzur dengan kebodohan adalah seperti
perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah fiqih ijtihadiyah lainnya. Dan
terkadang perbedaan tersebut hanya berupa perbedaan lafal dalam sebagian kesempatan
guna menerapkan hukum atas seorang individu tertentu. Maksudnya, semua pihak
sepakat bahwa perkataan (keyakinan) ini adalah kekafiran, atau perbuatan ini
adalah kekafiran, atau meninggalkan perkara ini adalah kekafiran. Namun apakah
hukum (vonis kafir) ini telah sesuai untuk seorang individu tertentu karena
telah terpenuhinya faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent) pada
dirinya dan tiadanya penghalang pada dirinya; ataukah hukum tersebut tidak
sesuai sesuai untuk seorang individu tertentu tersebut karena belum
terpenuhinya beberapa faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent)
pada dirinya atau adanya beberapa penghalang pada dirinya?" (Syarhu
Kasyfi Syubuhat, hlm. 37 karya syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Saat
membahas beberapa catatan penting seputar permasalahan udzur dengan kebodohan, syaikh
Athiyatullah Al-Libi berkata, "Pertama, ketahuilah bahwa
masalah ini termasulah masalah ijtihad yang caranya adalah istinbath
(penyimpulan hukum) dan cara mengetahuinya adalah penggalian makna dalil,
karena ia bukanlah masalah yang telah disebutkan dalilnya secara nash dalam
syariat. Wallahu a'lam.
Perkataan
kami bahwa permasalahan ini tidak disebutkan dalilnya secara nash dalam syariat
bermakna tidak ada nash terhadap masalah ini secara umum dan sebagai sebuah
kaedah, misalnya. Hal ini tidak menegasikan bahwa di dalam nash-nash firman
Allah dan sabda Rasulullah SAW terdapat hal yang menunjukkan udzur bagi seseorang
tertentu pada suatu keadaan tertentu atau keadaan-keadaan lain. Kemudian
nash-nash tersebut yang menuat penunjukan-penunjukan tersebut dipakai dan
dijadikan dalil oleh para ulama fiqih, dan dalam mengambil kesimpulan hukum
(istimbath) dari keseluruhan (penujukan-penunjukan nash tersebut) terjadilah
perbedaan pendapat.
Kedua, oleh karena itu berbeda-berbeda
pemahaman para ulama dan beragam ijtihad mereka, dan dalam masalah tersebut
muncul pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda yang insya Allah akan kami
isyaratkan, seperti halnya masalah-masalah ijtihad dan perbedaan pendapat
lainnya.
Kelima, Ketahuilah bahwa masalah ini
termasuk masalah fiqih (dengan pengertiannya secara istilah yaitu mengetahui
hukum-hukum syariat dalam perkara-perkara ‘amaliyah yang disimpulkan dari
dalil-dalil yang terperinci). Hal itu karena masalah ini adalah ‘amaliyah dan
cara mengetahuinya adalah dengan menggali penunjukan dalil (istidlal) dan
menggali kesimpulan hukum (istinbath) seperti yang tadi kami sebutkan.
Ia berupa
fatwa atau keputusan hakim, dan menurut para ulama masalah ia masuk dalam
masalah kemurtadan (ar-ridah), yaitu sebuah bab dalam ilmu fikih. Hal ini tidak
berarti masalah ini tidak disebutkan dalam pembahasan ilmu akidah dan tauhid,
karena tidak samar lagi bahwa masalah ini memiliki kaitan yang erat dengan
akidah dan tauhid. Hal ini termasuk bagian dari masuknya satu permasalahan ke
dalam beberapa cabang ilmu. Selain itu, setiap hukum syar'i ‘amali memiliki
kaitan dengan akidah, yaitu meyakini hukum tersebut. Namun masalah ini lebih
spesifik dengan bab fiqih seperti telah saya sebutkan. Baik anda menganggapnya
sebagai bagian dari ilmu ini (fiqih) atau ilmu itu (akidah dan tauhid), ia
tetap saja termasuk masalah ijtihad." (Fatwa syaikh Athiyatullah
Al-Libi, dimuat dalam situs ana al-muslim)
***
Kebodohan
terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur
Kebodohan
terhadap tauhid dan masalah-masalah akidah tidaklah satu tingkatan, melainkan
bertingkat-tingkat. Oleh karenanya ia terbagi menjadi tiga bagian:
a.
kebodohan yang disepakati oleh ulama sebagai udzur.
b.
kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur.
c.
kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama sebagai udzur atau bukan udzur.
Pembagian
ini disebabkan karena sebagian kebodohan terjadi karena ada unsur keteledoran
atau meremehkan dari mencari ilmu sehingga ia disepakati oleh ulama bukan
menjadi udzur. Sebagian kebodohan terjadi meskipun mukallaf telah berusaha
untuk mencari ilmu, sehingga ia disepakati oleh ulama sebagai udzur. Ada juga
sebagian kebodohan yang berada di antara kedua keadaan tersebut, sehingga
diperselisihkan oleh para ulama menjadi udzur atau bukan udzur. (Masalatul
Udzri bil Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 26)
Kebodohan
terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur adalah
kebodohan yang kembalinya kepada tidak mengetahui secara global (al-ilmu
al-ijmali) makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah SAW, karena
pengetahuan secara global terhadap makna dua kalimat syahadat adalah syarat sah
syahadat.
Kebodohan
seperti itu hanya terjadi karena adanya unsure meremehkan atau teledor dari
kewajiban menuntut ilmu. Sebagian ulama bahkan berpendapat kebodohan seperti
itu tidak ada sama sekali, karena hujah (bukti-bukti dan dakwah kebenaran) atas
masalah tersebut telah tegak atas setiap individu.
Para
ulama menyebutkan di antara bentuk-bentuk kebodohan yang disepakati tidak
menjadi udzur adalah sebagai berikut:
1. Tidak
mengetahui hakekat dakwah Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia untuk
beribadah kepada Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Maka ia memperbolehkan beribadah kepada selain Allah atau ia meyakini ada
sesuatu makhluk selain Allah yang berhak diibadahi, atau meyakini dan menamakan
sesuatu makhluk sebagai Allah (Tuhan) yang berhak diibadahi. Kebodohan seperti
ini menurut kesepakatan ulama tidak menjadi udzur. Pelakunya menurut
kesepakatan ulama adalah orang kafir murtad dan tidak diberi udzur atas
kebodohannya.
Contoh:
- Seorang muslim yang
terkena virus sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) sehingga
ia meyakini semua agama baik dan benar. Keyakinan ini berarti mengakui
adanya makhluk selain Allah yang berhak diibadahi. Sebab agama selain
Islam beribadah kepada selain Allah dan menuhankkan selain Allah. Orang
Hindu beribadah kepada para dewa. Orang Budha beribadah kepada manusia
(Sidharta Gautama), orang Sinto beribadah kepada matahari. Orang Kristen
beribadah kepada Isa bin Maryam, Maria, dan Roh Kudus Yesus. Orang
Konghucu beribadah kepada patung-patung dewa. Dan seterusnya. Meyakini
semua agama baik dan benar berarti membenarkan peribadatan orang-orang
kafir tersebut kepada makhluk selain Allah. Maka ia telah murtad menurut
kesepakatan ulama dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
- Para filosof yang meyakini
makhluk selain Allah boleh diibadahi. Seperti Fakhruddin Ar-Razi, seorang
filosof, ulama tafsir dan fiqih yang mengarang buku As-Sirru Al-Maktum
fis Sihri wa Mukhathabatin Nujum, di mana ia membolehkan bahkan
menganggap baik peribadatan kepada matahari, bulan, bintang, dan
benda-benda langit lainnya. Buku tersebut ia tulis sebagai hadiah bagi ibu
dari penguasa Daulah Syiah Khawarizm Syah, sultan Alauddin Muhammad bin
Laksy bin Jalaluddin Khawarizm Syah. Para ulama sepakat memvonis dirinya
murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi dirinya (Majmu' Fatawa,
13/180-181 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
- Kelompok Babiyah, sempalan dari Syi'ah
Rafidhah. Pengikut aliran ini meyakini bahwa Mirza Ali Muhammad Ridha
asy-Syirazi yang berjuluk al-Bab adalah pencipta segala sesuatu dengan
kalimatnya, dialah awal dari segala sesuatu. Mereka meyakini Budha
adalah agama yang benar, Konghucu adalah agama langit, Zeroaster adalah
agama yang lurus, para tokoh India, Cina dan Persia adalah para
nabi.
- Kelompok Syi'ah Saba'iyah menurut kesepakatan ulama adalah orang-orang murtad karena mereka dengan terang-terangan meyakini dan mengakui khalifah Ali bin Abi Thalib RA adalah Rabb yang menciptakan dan memberi mereka rizki. Ali bin Abi Thalib RA telah memerintahkan mereka untuk bertobat, namun mereka tetap bersikeras di atas keyakinan mereka. Maka Ali bin Abi Thalib menghukum mati mereka dengan dibakar di gerbang masuk kota Kindah, Irak pada masa kekhalifahannya. Hadits tentang peristiwa tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Thahir Al-Mukhlis dari Syarik Al-Amiri dengan sanad hasan (Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 12/270 karya imam Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Jika
seorang muslim meyakini seorang makhluk sebagai Tuhan Yang menciptakan, memberi
rizki, mengatur alam semesta, menghidupkan atau mematikan maka berarti ia
mengakui adanya Ilah dan Rabb selain Allah. Ulama sepakat menyatakan orang
seperti ini kafir murtad dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
- Kelompok Syi'ah Isma'iliyah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang tidak memiliki sifat kesempurnaan apapun. Mereka meyakini bahwa Allah menciptakan makhluk pertama yang memiliki sifat kesempurnaan, yaitu Al-‘Aql Al-Awwal atau Al-‘Aql Al-Kulli (akal pertama atau akal yang menyeluruh). Mereka meyakini Al-Aql Al-Awwal adalah Maha Esa, Maha Kekal, dan Maha menciptakan seluruh makhluk lainya. Mereka juga meyakini bahwa para imam kelompok Syi'ah Isma'iliyah adalah cahaya Allah, wajah Allah, pinggang Allah, dzat yang akan melakukan perhitungan amal manusia pada hari kiamat dan memasukkan manusia ke surga atau neraka, Dzat Yang Maha Esa, Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba, jalan yang lurus, Al-Qur'an yang mulia, dan sifat-sifat ke-Tuhanan lainnya. Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki kedudukan di atas seluruh nabi dan wali, sebab Ali bin Abi Thalib adalah Dzat Yang Maha Esa (Al-Fardhu Al-Ahad), Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba (Ash-Shamad), tiada sekutu baginya dan tiada seorang makhluk pun yang setara dengannya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 86-89 dan 102-105 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Kelompok
Syiah Isma'iliyah berhasil mendirikan sebuah negara di Maghrib (Tunisia)
kemudian menaklukkan Mesir. Mereka menamakan negaranya secara palsu Daulah
Fathimiyah, sedangkan para ulama Islam menamakannya Daulah Ubaidiyah. Para
ulama Islam telah sepakat para penguasa Daulah Ubaidiyah adalah orang-orang
kafir murtad. (Siyar A'lam An-Nubala', 15/154-156 karya imam Adz-Dzahabi,
Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, 3/30 karya qadhi Iyadh bin Musa
Al-Yahsibi, dan Majmu' Fatawa, 35/138-139 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
- Kelompok Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syi'ah Isma'iliyah, memiliki keyakinan yang sama dengan Syi'ah Isma'iliyah. Perbedaannya, kelompok Qaramithah secara terang-terangan menerapkan akidah dan agama Syi'ah Isma'iliyah di negara yang mereka kuasai yaitu Bahrain pada abad 3 dan 4 Hijriyah. Sementara Daulah Ubaidiyah tidak bisa sepenuhnya menerapkan akidah dan agama Syi'ah Ismailiyah di wilayah kekuasaannya, Mesir, karena mayoritas penduduknya adalah ahlus sunnah yang memusuhi Syi'ah Ismailiyah. Sesuai arahan dari raja Daulah Ubaidiyah, Ubaidullah Al-Mahdi kepada raja Qaramithah, Sulaiman bin Said Al-Janabi (Abu Sa'id Al-Janabi), kelompok Qaramithah menerapkan agama Syi'ah Isma'iliyah secara terang-terangan karena kekuatan yang mereka miliki.
Kepada
masyarakat, Qaramithah menerapkan doktrin bahwa Al-Aql Al-Awwal atau Al-Aql
Al-Kulli adalah Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha menciptakan seluruh makhluk.
Mereka meyakini Imam (pemimpin kelompok Qaramithah) adalah penampakan dari
Tuhan. Oleh karena itu kelompok Qaramtihah meyakini segala bentuk ibadah dan
sifat kesempurnaan harus ditujukan kepada Imam, sebagai hijab dan bab
(penghubung dan perantara) dengan Tuhan Yang di langit. ((Al-Harakat
Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 159-161
karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib).
Para
ulama Islam sepakat bahwa kelompok Qaramithah adalah orang-orang murtad
dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
- Kelompok Nushairiyah, sebuah kelompok sempalan dari Syi'ah Isma'iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu mereka beribadah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka juga meyakini ketuhanan tiga unsur; Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Abdillah SAW, dan Salman Al-Farisi.
Mereka
meyakini Allah secara berturut-turut menampakkan diri-Nya dalam wujud manusia
agar dikenali dan diibadahi oleh umat manusia. Menurut keyakinan mereka, Allah
menampakkan diri-Nya dalam wujud; Habil putra Adam, kemudian pada diri Syits,
kemudian pada diri Sam putra Nuh, kemudian pada diri Ismail putra Ibrahim,
kemudian pada diri Harun saudara Musa, kemudian pada diri Sham'un Ash-Shafa
yang di kalangan umat Nasrani disebut Petrus, dan terakhir pada diri Ali bin
Abi Thalib.
Mereka
meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib secara batin adalah Tuhan yang
berhak disembah (Ilah) dan secara lahir adalah imam, ia tidak beranak dan tidak
diperanakkan, kekal selamanya tidak pernah mati dan tidak pernah dibunuh, tidak
makan dan tidak minum, dan ia mengangkat Muhammad bin Abdullah SAW sebagai juru
bicara. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam
Fiha, hlm. 341-354 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Maka
ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan
tidak berlaku bagi mereka.
- Kelompok Druz, sebuah kelompok sempalan dari Syi'ah Isma'iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Al-Hakim bi Amrillah (Abu Ali Al-Manshur bin Nizar Al-Aziz billah Al-Ubaidi, 375-411 H), raja ketiga Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari penguasaan Mesir dan raja keenam Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari pendirian negara di Tunisia. Mereka meyakini Al-Hakim bi Amrillah adalah Rabb dan Ilah (Tuhan Yang berhak untuk diibadahi). Mereka meyakini Allah mengambil jasad manusia sebagai penampakan di muka bumi, yaitu Allah menampakkan dirinya di dunia dalam jasad Al-Hakim bi Amrillah agar seluruh umat manusia mengenal dan beribadah kepadanya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 223-238 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Al-Hakim
bi Amrillah sendiri juga mengklaim dirinya adalah Tuhan yang berhak diibadahi,
walaupun akhirnya ia mencabut klaimnya atas saran para penasehatnya karena
khawatir pemberontakan rakyat Mesir terhadapnya. (At-Tarikh Al-Islami,
28/283 dan Siyar A'lam An-Nubala', 15/173-177 keduanya karya imam Adz-Dzahabi)
Maka
ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan
tidak berlaku bagi mereka.
2.
Meyakini ada sebagian manusia yang tidak wajib beribadah kepada Allah. Seorang
yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib beribadah kepada Allah atau
tidak memiliki kewajiban melaksanakan perintah syariat Islam dan meninggalkan larangan
syariat Islam, maka para ulama telah sepakat bahwa ia kafir murtad dan udzur
kebodohan tidak berlaku baginya. Contoh:
- Kelompok sufi ekstrim yang
berpendapat bahwa seorang sufi yang telah menggapai tingkatan (maqam)
ma'rifah telah gugur atasnya kewajiban-kewajiban agama, sehingga ia tidak
wajib beribadah kepada Allah SWT. Seperti kelompok Hululiyah, Ittihadiyah,
dan Wihdatul Wujud dengan tokohnya seperti Al-Hallaj, Muhyiddin Ibnul
Arabi, Ibnu Faridh, At-Tilmisani, Ash-Shadr Al-Qaunawi, Ibnu Sab'in, Syamsuddin
At-Tibrizi, syaikh Siti Jenar, dan lain-lain.
- Kelompok Nushairiyah yang
meyakini bahwa para imam dan pemimpin kelompok mereka telah gugur atas
diri mereka kewajiban-kewajiban agama, sehingga mereka tidak wajib
beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam
(seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain)
telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat,
shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri
mereka.
- Kelompok Druz yang meyakini bahwa rukun Islam yang lima telah gugur atas diri para imam dan anggota kelompok mereka, sehingga mereka tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam (seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain) telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri mereka. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 276-284)
3. Tidak
mengetahui bahwa Allah dan Rasulullah SAW itu dua hal yang berbeda karena nama
keduanya disejajarkan dalam dua kalimat syahadat.
Imam Abu
Abdillah Mayarah Muhammad bin Ahmad Al-Maliki (wafat 1072 H) dalam
bukunya Ad-Durru Ats-Tsamin fi Syarh Al-Mursyid Al-Mu'in menyebutkan
bahwa para ulama Bijayah di Magrib (Tunisia) pada abad 11 Hijriyah berkumpul
dan melakukan kajian. Di antara permasalahan yang mereka kaji adalah bagaimana
pendapat para ulama tentang seseorang yang melakukan amalan-amalan kebaikan
bersama masyarakat, namun ia tidak mengetahui benar atau salahnya amalan
tersebut, ia tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illa Allah, ia tidak
membedakan antara Allah dan Rasul-Nya SAW karena (lafal Allah dan Rasulullah
SAW, pent) disejajarkan dalam dua kalimat syahadat?
Para
ulama Bijayah menjawab, "Hal ini tidak terjadi kecuali pada penduduk
pedalaman (badui) di mana tidak ada ilmu pada mereka." Sebagian ulama saat
itu bertanya, "Jika demikian keadaannya, apakah ia memiliki bagian dalam
Islam?" Para ulama yang hadir semuanya menjawab bahwa orang itu dan orang
yang sepertinya tidak memiliki bagian apapun dalam Islam."
Imam
Muhammad bin Ismail bin Al-Amir Ash-Shan'ani mengomentari, "Jawaban
yang mereka fatwakan tersebut sangat jelas, tidak mungkin ada dua orang yang
berselisih pendapat tentangnya." (Tathirul I'tiqad ‘an Adranil
Ilhad, hlm. 74 karya imam Ash-Shan'ani dan Taisirul 'Azizil Hamid Syarh Kitab
Tauhid, hlm. 60 karya syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Wahhab)
4. Tidak
mengetahui bahwa Dzat Allah dan sifat-Nya berbeda dengan dzat makhluk-Nya atau
meyakini Dzat Allah bersatu dengan dzat makhluk-Nya atau meyakini Dzat Allah
bersemayam dalam dzat makhluk-Nya. Ulama sepakat menyatakan muslim yang
memiliki keyakinan seperti ini telah murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku
untuk dirinya.
Contoh:
- Kelompok Nushairiyah yang
meyakini Dzat Allah bersemayam dalam diri Ali bin Abi Thalib RA. Mereka
meyakini bahwa setelah Ali bin Abi Thalib meninggalkan jasad manusianya,
ia bersemayam pada bulan atau matahari. Oleh karena itu sebagian kelompok
Nushairiyah beribadah kepada bulan (disebut juga kelompok Shimaliyah), dan
sebagian kelompok Nushairiyah lainnya beribadah kepada matahari (disebut
juga kelompok Kalaziyah). (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam
Al-Islami, hlm. 323)
- Kelompok Druz yang meyakini
Dzat Allah bersemayam dalam diri raja daulah Ubaidiyah Mesir, Al-Hakim bi
Amrillah. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 323)
- Kelompok Satria Piningit
Weteng Buwono yang meyakini manunggaling wujud (Allah menitis pada
jasad pemimpin kelompok ini, yaitu Agus Imam Sholichin) sehingga meyakini
tidak ada kewajiban shalat kepada Allah SWT.
- Kelompok sufi ekstrim yang meyakini Allah bersatu dengan jasad makhluk, seperti aliran Ittihadiyah, Al-Hululiyah, dan Wihdatul Wujud. Kelompok Ittihadiyah meyakini ada dua Dzat yang bersatu yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk. Kelompok Hululiyah meyakini ada dua dzat, yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk, lalu Dzat Allah menempati jasad makhluk-Nya sehingga kedua dzat itu menyatu, namun kedua dzat itu bisa berpisah kembali. Kelompok Wihdatul Wujud meyakini bahwa hanya ada satu dzat, Dzat Allah adalah juga dzat makhluk, sehingga semua makhluk di alam semesta ini adalah Dzat Allah itu sendiri. (At-Takfir wa Dhawabituhu, hlm. 57-58 karya syaikh Safar Al-Hawali)
Qadhi Abu
Yusuf meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata, "Tidak ada udzur
bagi seorang pun atas kebodohannya (ketidak tahuannya) tentang Sang Penciptanya,
karena kewajiban seluruh makhluk adalah mengenal Rabb SWT dan mengesakan-Nya,
berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan bumi, penciptaan
dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang lain. Adapun
perintah-perintah agama, maka barangsiapa belum mengetahuinya dan ilmunya belum
sampai kepada dirinya, maka hujah secara hukum belum tegak atas dirinya." (Badai'u
ash-Shanai' fi Tartibis Syarai', 9/521 karya imam ‘Alauddin Al-Kasani
Al-Hanafi)
Imam Ibnu
Hazm Azh-Zhahiri berkata,
"Adapun orang yang mengatakan bahwa Allah adalah si fulan yaitu seseorang
tertentu, atau ia menyatakan bahwa Allah bersemayam (menyatu) dengan jasad
seorang makhluk-Nya, atau ia menyatakan sepeninggal Nabi Muhammad SAW ada
seorang nabi selain Isa bin Maryam, niscaya tidak ada dua orang pun yang
berselisih dalam mengkafirkan orang tersebut, karena secara sah hujah atas
setiap masalah tersebut telah tegak atas setiap orang." (Al-Fashl fil
Milal wal Ahwa' wan Nihal, 3/293 karya Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri)
Imam
Al-Anshari Muhammad bin Nizhamuddin Al-Hindi Al-Hanafi saat menjelaskan tentang
kebodohan yang bisa menjadi udzur dan kebodohan yang tidak biisa menjadi udzur,
mengatakan, "Kebodohan yang tidak bisa menjadi udzur dalam keadaan apapun,
tidak di dunia tidak pula di akhirat, dan tidak menjadi syubhat pula, adalah
seperti kebodohan orang kafir terhadap Dzat Allah dan Rasul-Nya, karena
bukti-bukti yang menunjukkan atas keesaan (Allah), sifat-sifat (Allah), dan
kerasulan baik berupa alam semesta maupun mu'jizat (para nabi dan rasul, pent)
sangat jelas. Sehingga ia telah termasuk perkara dharuriyat (kepastian) yang
sangat terang, maka mengingkari perkara-perkara yang telah pasti (dharuriyat)
adalah kesombongan, sehingga tidak diperhitungkan dan tidak dijadikan udzur."(Fawatihur
Rahmaut Syarh Musallam Ats-Tsubut karya imam Al-Anshari Al-Hanafi, dalam
catatan pinggir Al-Musthasfa fi Ushulil Fiqh, 2/387)
5. Tidak
mengetahui bahwa nabi Muhammad bin Abdullah SAW adalah penutup seluruh nabi dan
rasul, dan syariat beliau adalah syariat terakhir untuk seluruh manusia dan jin
sampai hari kiamat. Ulama sepakat bahwa seorang muslim yang mengklaim dirinya
sebagai nabi sepeninggal Rasulullah SAW atau ia membenarkan klaim kenabian
seseorang sepeninggal Rasulullah SAW, maka orang tersebut telah kafir murtad
dan udzur kebodohan tidak berlaku atas dirinya.
Contoh:
- Pengikut agama Salamullah
yang membenarkan klaim Lia ‘Eden' Aminuddin bahwa malaikat Jibril
menyampaikan wahyu kepadanya.
- Pengikut agama Ahmadiyah
atau Qadiyaniyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang
menerima wahyu dari Allah dan memiliki kitab suci tersendiri yaitu
At-Tadzkirah.
- Kelompok Nushairiyah
meyakini pendiri kelompok mereka, Muhammad bin Nushair An-Numairi (mati
tahun 270 H), adalah nabi yang menerima wahyu Allah. (Al-Harakat
Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 261-266)
- Kelompok Druz yang meyakini
tokoh kelompok mereka Hamzah bin Ali bin Ahmad Az-Zuzuni (mati tahun 431
H) adalah nabi yang menunjukkan umat manusia untuk beribadah kepada
Al-Hakim bi Amrillah, sekaligus sebagai malaikat yang menurunkan wahyu
Al-Qur'an kepada nabi Muhammad SAW, penghapus syariat seluruh nabi, yang
mematikan dan membangkitkan seluruh manusia, bahkan Tuhan sebab ia adalah
Al-Aql Al-Kulli. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm.
261-266)
- Ahmad Mushaddiq yang
mengklaim dirinya adalah nabi yang menerima wahyu dari Allah setelah
bertapa di gunung Bunder dan para pengikutnya yang membenarkan ajarannya.
- Mirza Ali Mohammad Ridha
Ash-Shirazi. Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah yang mengklaim
sebagai nabi, dihukum mati oleh pemerintah Iran tahun 1843.
- Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat di Chicago.
***
Inilah
sebagian bentuk kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur bagi
seorang muslim. Dalil-dalil dari Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' atas hal-hal
di atas sudah sangat terkenal dan dipaparkan panjang lebar oleh para ulama
dalam buku-buku akidah.
Insya
Allah pada kajian selanjutnya kita akan membahas kebodohan yang disepakati oleh
ulama menjadi udzur bagi seorang muslim dan kebodohan yang diperselisihkan oleh
para ulama apakah menjadi udzur atau bukan. Wallahu a'lam bish-shawab.
Bersambung,
insya Allah ….
(muhib
almajdi/arrahmah.com)
Serial kajian tentang
takfir muayyan #4: Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran (2)?
Muhib
Al-Majdi
Ahad, 24
Juni 2012 20:58:29
(Arrahmah.com) – Pada bahasan sebelumnya telah
diuraikan beberapa bentuk kebodohan yang disepakati oleh para ulama tidak bisa
menjadi udzur dalam pengkafiran. Dalam bentuk-bentuk kebodohan tersebut,
seorang muslim yang melakukan syirik akbar atau kufur akbar tetap divonis
murtad. Adapun dalam bahasan kali ini, kita akan menguraikan bentuk-bentuk
kebodohan yang disepakati oleh para ulama bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Di antara
bentuk kebodohan yang disepakati oleh para ulama bisa menjadi udzur dalam
pengkafiran adalah sebagai berikut:
Pertama, kebodohan terhadap
perkara-perkara tauhid yang hukumnya dalam Al-Qur’an dan as-sunnah samar-samar
dan tidak diketahui oleh banyak kaum muslimin, terutama masyarakat awamnya,
sedangkan perkara-perkara tauhid tersebut tidak menyebabkan peribadatan kepada
selain Allah dan pembatalan terhadap kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan
Allah terakhir.
Contohnya
adalah:
(1). Ketidak
tahuan terhadap sebagian nama dan sifat Allah. Sekalipun perkara tersebut
merupakan bagian sangat penting dalam perkara tauhid sehingga diistilahkan dengan
tauhid al-asma’ was shifat, namun nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah
yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah sangatlah banyak. Jika seorang
muslim tidak mengetahui sebagian nama Allah atau sebagian sifat-Nya, maka
ketidak tahuannya tersebut merupakan udzur bagi dirinya.
(2). Keyakinan
kelompok-kelompok bid’ah yang menyelisihi keyakinan kelompok ahlus sunnah wal
jama’ah dalam perkara al-asma’ dan al-ahkam. Di antara
kelompok bid’ah yang menyelisihi keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah adalah
seperti Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Syi’ah Zaidiyah (bukan Syiah Itsna
‘Asyariyah dan Syi’ah Ismailiyah, karena keduanya adalah kelompok murtad),
Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Al-Asma’ adalah istilah-istilah dalam
agama, seperti iman, kufur, nifaq, mukmin, muslim, kafir, musyrik, murtad,
fasiq, dan lain-lain. Adapun al-Ahkam adalah hukum-hukum dalam agama,
seperti hukum-hukum bagi orang muslim; dilindungi nyawa, harta, dan
kehormatannya, berhak didoakan, berhak diwarisi dan mewarisi, halal
sembelihannya, halal dinikahi, dan lain-lain. Hukum bagi orang-orang kafir;
tidak terlindungi nyawa, harta, dan kehormatannya, tidak bisa diwarisi dan
mewarisi, tidak boleh didoakan, tidak boleh dinikahi, tidak halal
sembelihannya, tidak boleh diangkat sebagai pemimpin, dan lain-lain.
Sebagian
keyakinan dan pendapat kelompok-kelompok bid’ah di atas mengandung unsur-unsur
kekafiran, yaitu menolak dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits
mutawatir. Maka keyakinan dan pendapat mereka yang menolak sebagian dalil
Al-Qur’an dan hadits tersebut divonis sebagai sebuah kufur akbar, namun
pelakunya sendiri (orang yang meyakini atau mengucapkan pendapat kufur
tersebut) tidak langsung divonis murtad, karena boleh jadi ia memiliki
penghalang pengkafiran.
Seperti
kebodohan dan tidak mengetahui dalil Al-Qur’an dan hadits tersebut, atau
mengetahui dalil Al-Qur’an dan hadits tersebut namun tidak mengetahui aspek
penunjukan maknanya, atau sebab lainnya. Ia tidak langsung dikafirkan, karena
ajaran-ajaran syariat tidak berlaku atas seseorang kecuali setelah ajaran
syariat tersebut (hujah atau dalil syar’i) sampai kepadanya dan ia bisa
memahaminya. (Lihat Minhaju Ahlil Haqq wal Ittiba’, hlm. 13 karya syaikh
Sulaiman bin Sahman dan Al-Kufru al-ladzi Yu’dzaru Shahibuhu bil-Jahl, hlm. 14
karya syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthain)
Ia tidak
bisa dikafirkan begitu saja karena perkara-perkara tersebut terkadang
samar-samar bagi seorang muslim, meskipun ia telah bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu syar’i, karena banyaknya syubhat yang menghalangi dirinya dari
memahami hakekat perkara-perkara tersebut.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Kesimpulan kajian dalam perkara ini: terkadang sebuah pendapat (keyakinan)
adalah sebuah kekafiran, seperti pendapat-pendapat (keyakinan-keyakinan)
kelompok Jahmiyah yang menyatakan Allah itu tidak berbicara dan Allah tidak
bisa dilihat di akhirat. Namun bagi sebagian masyarakat tersamar kekafiran
pendapat-pendapat tersebut. Maka divonis kafir secara mutlaq (secara
lepas tanpa mengaitkan dengan individu tertentu, pent) terhadap orang yang
mengucapkan (atau meyakini) pendapat (keyakinan) tersebut. Seperti halnya para
salaf yang mengatakan: Barangsiapa mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk maka
ia telah kafir dan Barangsiapa menyatakan Allah tidak bisa dilihat di
akhirat maka ia telah kafir.
Namun
individu tertentu (yang mengatakan ucapan kufur atau meyakini keyakinan kufur
tersebut) tidak dikafirkan sampai tegak atasnya hujah, seperti penjelasan yang
telah lalu. Seperti halnya orang yang mengingkari kewajiban shalat dan zakat,
atau menghalalkan khamr dan zina sementara ia melakukan ta’wil. Sesungguhnya
kenampak jelasannya perkara-perkara (hukum halal dan haram) ini di tengah kaum
muslimin lebih terang dari kenampak jelasannya perkara-perkara (Al-Qur’an
adalah kalam Allah dan Allah bisa dilihat di akhirat, pent) itu.
Jika
orang yang melakukan ta’wil keliru dalam perkara-perkara (halal dan
haram) itu dan ia tidak dikafirkan kecuali setelah dijelaskan kepadanya dan ia
diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Seperti dilakukan oleh generasi sahabat
terhadap sekelompok orang (Qudamah bin Mazh’un RA, Abu Jandal bin Suhail RA,
dan lain-lain, pent) yang menghalalkan khamr. Maka untuk perkara-perkara lain
(yang tersamar bagi masyarakat, pent) tentu lebih tepat dan lebih layak (untuk
tidak dikafirkan kecuali setelah dijelaskan kepadanya dan ia diberi tenggang
waktu untuk bertaubat, pent).
Untuk hal
seperti ini didasarkan kepada hadits shahih, hadits orang yang mengatakan; “Jika
aku mati, maka bakarlah jenazahku, kemudian tebarkanlah abu jenazahku ke
lautan. Demi Allah, jika Allah sanggup untuk membangkitkanku, niscaya Allah
akan mengadzabku dengan adzab pedih yang belum pernah ditimpakan-Nya kepada
seorang pun dari seluruh alam.” Allah telah mengampuni orang ini, meskipun
ia meragukan kekuasaan Allah dan pembangkitan dirinya jika mereka telah
membakar jenazahnya.” (Syarh Hadits Jibril ‘Alaihis Salam, hlm. 572-574
karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Lihat juga Majmu’ Fatawa, 3/354,
28/500-501, dan 35/165-166 serta Minhajut Ta’sis wat Taqdis fi Kasyfi Syubuhat
Daud bin Jirjis, hlm. 101 karya syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan
Alu Syaikh)
Saat
menjelaskan makna hadits tersebut, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga
berkata:
“Orang
ini mengira bahwa Allah tidak mampu (mengembalikannya) jika jasadnya telah
tercerai-berai seperti itu. Ia mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkannya
jika ia telah dalam keadaan seperti itu. Masing-masing dari hal ini, yaitu
mengingkari kemampuan Allah dan mengingkari pengembalian (pembangkitan) badan
meskipun telah tercerai-berai, adalah sebuah kekafiran. Namun ia juga memiliki
iman kepada Allah, iman kepada perintahnya, dan rasa takut kepada Allah. Ia
tidak mengetahui hal (kemampuan Allah) tersebut, sesat dalam persangkaan tersebut,
dan keliru. Maka Allah mengampuninya atas (persangkaannya) itu.
Hadits
ini tegas menunjukkan bahwa laki-laki tersebut sangat ingin agar Allah tidak
mengembalikan jasadnya jika ia telah melakukan hal (pembakaran jenazah dan
penaburan abu jenazah) itu. Minimalnya, keinginan seperti itu adalah
keragu-raguan akan pembangkitan, dan hal itu merupakan sebuah kekafiran, ia
sangat jelas menunjukkan ketiadaan imannya. Jika telah tegak hujah kenabian
atas orang yang mengingkarinya (kemampuan Allah dan pembangkitan jasad) maka ia
dihukumi kafir.” (Majmu’ Fatawa, 11/409)
Saat
menjelaskan kelompok-kelompok bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal
jama’ah dalam sebagian perkara ushul (pokok-pokok agama), imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyah berkata: ”Adapun kelompok-kelompok bid’ah yang
sependapat (sesuai) dengan orang-orang Islam, namun menyelisihi orang-orang
Islam dalam sebagian perkara ushul, seperti kelompok Rafidhah,
Qadariyah, jahmiyah, Murjiah ekstrim, dan lain-lain; mereka itu terdiri dari
beberapa bagian. Pertama, orang bodoh yang melakukan taqlid dan
ia tidak memiliki bashirah (ilmu). Orang ini tidak vonis kafir, tidak
divonis fasik, dan kesaksiannya tidak ditolak jika ia tidak mampu mempelajari
petunjuk. Status hukum dirinya adalah seperti status hukum:
الْمُسْتَضْعَفِينَ
مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا
يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ
وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا (99)
Mereka
yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu
berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. (QS.
An-Nisa’ [4]: 98-99)
(Ath-Thuruq al-Hukmiyyah fis
Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 174 karya imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah)
Imam Ibnu
Abdil Barr telah
mengutip tercapainya ijma’ (kesepakatan) para ulama terdahulu dan ulama
belakangan atas tidak dikafirkannya orang Islam yang tidak mengetahui sebagian
nama atau sebagian sifat Allah. Beliau berkata, “Barangsiapa tidak mengetahui
salah satu sifat dari sifat-sifat Allah, namun ia mengimani dan mengetahui
sifat-sifat Allah lainnya, maka ketidak tahuannya atas sebagian sifat Allah
tersebut tidak menjadikan dirinya kafir.
Para
ulama mengatakan, “Orang yang kafir adalah orang yang menentang kebeenaran,
bukan orang yang tidak mengetahui kebenaran. Ini adalah pendapat para ulama mutaqaddimin
(terdahulu) dan pendapat ulama-ulama yang mengikuti jejak mereka dari kalangan
ulama mutaakhhirin (belakangan).” (At-Tamhid li-Maa fil Muwatha’
minal Ma’ani wal Asanid, 18/42 karya imam Ibnu Abdil Barr)
Kesepakatan
para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin ini dilandaskan kepada banyak dalil
syar’i. Di antaranya hadits tentang orang yang banyak berbuat dosa, lalu ia
memerintahkan kepada anak-anaknya untuk membakar jenazahnya dan menaburkan
abunya di lautan pada saat angin bertiup kencang. Ia melakukan hal itu dengan
harapan Allah tidak akan menyatukan jasadnya dan membangkitkannya kelak di hari
kiamat.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: " كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ
المَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ: إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اطْحَنُونِي،
ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي
لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا، فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ
ذَلِكَ، فَأَمَرَ اللَّهُ الأَرْضَ فَقَالَ: اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ،
فَفَعَلَتْ، فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟
قَالَ: يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ، فَغَفَرَ لَهُ "
Dari Abu
Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda, “Pada zaman dahulu ada seorang laki-laki
yang selalu berbuat dosa. Tatkala ia akan menjemput kematian, ia berpesan
kepada anak-anaknya: ‘Jika aku telah mati, maka bakarlah jenazahku, lalu
tumbuklah abu jenazahku dan taburkan ia (di laut, menurut lafal Muslim) pada
saat angin (bertiup kencang). Demi Allah, jika Allah mampu membangkitkan
diriku, tentulah Rabbku akan menyiksaku dengan siksaan pedih yang belum pernah
ditimpakan kepada seorang pun.”
Ketika
orang itu mati, pesannya dilaksanakan oleh anak-anaknya. Maka Allah
memerintahkan kepada bumi, “Kumpulkanlah abu jenazahnya yang ada padamu!”
Bumi melaksanakan perintah Allah, maka laki-laki itu pun kembali berdiri utuh.
Allah bertanya, “Kenapa kamu melakukan tindakan seperti itu?” Laki-laki itu
menjawab, “wahai Rabbku, karena rasa takutku kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni
laki-laki itu. (HR. Bukhari no. 3481 dan Muslim no. 2756)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata
tentang makna hadits ini: “Paling jauh, orang ini adalah orang yang tidak
mengetahui seluruh sifat yang menjadi hak Allah, dan lebih detailnya ia tidak
mengetahui bahwa Allah itu Maha Berkuasa (Maha Mampu). Banyak kaum mukmin yang
tidak mengetahui hal seperti ini, maka ia tidak menjadi kafir (dengan ketidak
tahuannya tersebut).” (Majmu’ Fatawa, 11/411. Lihat juga Ar-Risalah
ash-Shafadiyah, 1/233, keduanya karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
***
Kedua, barangsiapa yang belum lama
masuk Islam dan ia tidak mengetahui rincian perkara-perkara akidah, bukan pokok
keyakinan yang merupakan makna global dari dua kalimat syahadat (meyakini Allah
semata Ilah yang berhak diibadahi dan Muhammad SAW adalah penutup seluruh nabi
dan rasul).
Di antara
dalilnya adalah:
عَنْ
أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ ، قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحُنَيْنٍ وَنَحْنُ حَدِيثُو عَهْدٍ بِكُفْرٍ فَمَرَرْنَا
عَلَى شَجَرَةٍ يَضَعُ الْمُشْرِكُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا :
ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ
أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ : " اللَّهُ
أَكْبَرُ قُلْتُمْ كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابِ لِمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ
{ اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ } " ثُمَّ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّكُمْ
سَتَرْكَبُونَ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ " *
Dari Abu
Waqid al-Laitsi RA berkata: “Kami berangkat bersama Rasulullah SAW menuju
perang Hunain dan waktu itu kami belum lama meninggalkan kekafiran ---mereka
masuk Islam pada masa penaklukan kota Makkah--- maka kami berjalan melewati
sebatang pohon. Kami berkata: ‘Wahai Rasulullah, buatlah untuk kami Dzatu Anwat
sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwat’. Pada waktu itu orang-orang kafir
memiliki sebatang pohon bidara tempat mereka berkumpul di sekitarnya dan
menggantungkan senjata mereka, yang mereka namakan Dzatu Anwat.
Maka
Rasulullah SAW bersabda: ‘Allahu Akbar! Demi Allah Yang nyawaku berada di
tangan-Nya, kalian telah mengatakan seperti perkataan Bani Israil kepada nabi
Musa: “Buatkanlah untuk kami (patung) tuhan sesembahan sebagaimana mereka
memiliki (patung-patung) tuhan-tuhan sesembahan.’ Maka nabi Musa menjawab:
“Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh.” Rasulullah SAW kembali bersabda, “Sungguh
kalian akan mengikuti jejak langkah orang-orang sebelum kalian.” (HR.
Tirmidzi no. 2180, Ahmad no. dan ia berkata: hadits hasan shahih, Ahmad
no. 21897 dan 21900, Abdur Razzaq, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-sunnah no.
76, Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 3290-3294, Ibnu Abi Syaibah no.
37375, Abu Ya’la no. 1441 dan lain-lain. Sanad Ahmad dan Abdur Razzaq shahih
menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
berkata: “Tidak diperselisihkan lagi bahwa para sahabat yang dilarang oleh
Rasulullah SAW tersebut jika mereka tidak menaati beliau dan mereka tetap
mengambil Dzatu Anwat setelah mereka dilarang oleh beliau, niscaya mereka telah
kafir. Inilah perkara yang diminta (berhenti dan tidak mengambil Dzatu Anwat,
pent). Namun kisah ini memberi pengertian bahwa seorang muslim, bahkan seorang
ulama, terkadang terjatuh dalam beberapa bentuk syirik sedangkan ia tidak
mengetahuinya, maka kisah ini memerintahkan untuk senantiasa berhati-hati dan
mencari ilmu…Kisah ini juga menunjukkan bahwa seorang muslim yang mujtahid
(berijtihad) jika ia mengucapkan kalimat kekafiran namun ia tidak mengetahui,
kemudian ia diingatkkan sehingga ia bertaubat pada waktu itu juga, niscaya ia
tidak kafir, seperti halnya keadaan Bani Israil dan para sahabat yang meminta
kepada nabi SAW.” (Kasyfu asy-Syubuhat, dalam kompilasi Majmu’ah at-Tauhid,
hlm. 285)
Ringkasnya,
para sahabat yang meminta kesyirikan dalam hadits tersebut adalah orang-orang
yang belum lama masuk Islam dan mereka belum mengetahui perincian-perincian
tauhid, sehingga mereka mendapat udzur. Kaedah dalam hal ini berlaku umum,
karena al-‘ibratu bi-‘umum al-lafzhi laa bi-khusus as-sabab, pelajaran
diambil berdasar keumuman lafal dalil, bukan berdasar kekhususan latar belakang
(sabab an-nuzul) dalil.
Di antara
dalil lainnya yang menunjukkan sebagian rincian syirik terkadang tidak
diketahui oleh orang-orang yang belum lama masuk Islam, bahkan terkadang juga
tidak diketahui oleh orang-orang yang hidup di tengah Darul Islam (negeri
Islam) yang terdapat banyak ulama dan sarana mempelajari ilmu syar’i adalah:
عَنْ
قُتَيْلَةَ بِنْتِ صَيْفِيٍّ الْجُهَنِيَّةِ قَالَتْ: أَتَى حَبْرٌ مِنَ
الْأَحْبَارِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا
مُحَمَّدُ، نِعْمَ الْقَوْمُ أَنْتُمْ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تُشْرِكُونَ، قَالَ:
" سُبْحَانَ اللهِ، وَمَا ذَاكَ؟ "، قَالَ: تَقُولُونَ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَالْكَعْبَةِ، قَالَتْ: فَأَمْهَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ: " إِنَّهُ قَدْ قَالَ: فَمَنْ حَلَفَ فَلْيَحْلِفْ
بِرَبِّ الْكَعْبَةِ "، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، نِعْمَ الْقَوْمُ
أَنْتُمْ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تَجْعَلُونَ لِلَّهِ نِدًّا، قَالَ: " سُبْحَانَ
اللهِ، وَمَا ذَاكَ؟ "، قَالَ: تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، قَالَ:
فَأَمْهَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ:
" إِنَّهُ قَدْ قَالَ، فَمَنْ قَالَ مَا شَاءَ اللهُ فَلْيَفْصِلْ
بَيْنَهُمَا ثُمَّ شِئْتَ "
Dari
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah RA berkata: “Seorang pendeta Yahudi datang
kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Muhammad, kalian adalah
sebaik-baik kaum, seandainya saja kalian tidak musyrik (tidak ada yang
berbuat syirik di antara kalian).” Rasulullah SAW bertanya, “Subhanallah,
ada apa?” Pendeta Yahudi itu berkata: “Jika kalian bersumpah, kalian
mengatakan Demi Ka’bah.”
Rasulullah
SAW terdiam beberapa saat, kemudian beliau bersabda, “Pendeta itu telah
mengatakan apa yang kalian dengarkan. Maka barangsiapa bersumpah, hendaklah ia
bersumpah Demi Rabb (Tuhan pemilik) Ka’bah.”
Pendeta
Yahudi itu kembali berkata, ““Wahai Muhammad, kalian adalah sebaik-baik
kaum, seandainya saja kalian tidak mengambil tandingan bagi Allah.” Rasulullah
SAW bertanya, “Subhanallah, ada apa?” Pendeta Yahudi itu berkata: “Kalian
mengatakan,’Terserah kehendak Allah dan kehendakmu.”
Rasulullah
SAW terdiam beberapa saat, kemudian beliau bersabda, “Pendeta itu telah
mengatakan apa yang kalian dengarkan. Maka barangsiapa mengatakan Terserah
kehendak Allah, hendaklah ia memisahkannya dengan mengatakan kemudian
terserah kehendakmu.”
(HR.
Ahmad no. 27093, An-Nasai dalam As-Sunan al-Kubra no. 10756 dan ‘Amalul Yaum
wal Lailah no. 986, Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 25/5-6, Al-Hakim
no. 7815, Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 8/309, Ath-Thahawi dalam
Syarh Musykil al-Atsar no. 238, dan Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
Dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Ibnu Hajar al-Asqalani)
Syaikh
Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab saat menjelaskan hadits di atas
menulis: “Hadits ini mengajarkan untuk menerima kebenaran dari siapa pun.
Hadits ini juga menjelaskan larangan bersumpah dengan Ka’bah, meskipun Ka’bah
adalah rumah Allah di mana berhaji dan mendatanginya untuk haji dan umrah
kepadanya merupakan sebuah kewajiban. Hal ini menunjukkan bahwa larangan
menyekutukan Allah dengan sesuatu pun bersifat umum, tidak boleh mengambil
sesuatu pun sebagai sekutu bagi Allah. Tidak malaikat yang kedudukannya
didekatkan kepada Allah, tidak nabi yang diutus, tidak pula Ka’bah yang
merupakan rumah Allah di bumi-Nya. (Fathul Majid Syarh Kitab at-Tauhid,
1/419 karya syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh)
Dalil
lainnya antara lain adalah:
عَنْ
طُفَيْلِ بْنِ سَخْبَرَةَ، أَخِي عَائِشَةَ لِأُمِّهَا، أَنَّهُ رَأَى فِيمَا
يَرَى النَّائِمُ، كَأَنَّهُ مَرَّ بِرَهْطٍ مِنَ الْيَهُودِ، فَقَالَ: مَنْ
أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَحْنُ الْيَهُودُ، قَالَ: إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الْقَوْمُ،
لَوْلَا أَنَّكُمْ تَزْعُمُونَ أَنَّ عُزَيْرًا ابْنُ اللهِ، فَقَالَتِ
الْيَهُودُ: وَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللهُ،
وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ مَرَّ بِرَهْطٍ مِنَ النَّصَارَى، فَقَالَ: مَنْ
أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَحْنُ النَّصَارَى، فَقَالَ: إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الْقَوْمُ،
لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ، قَالُوا: وَأَنْتُمُ
الْقَوْمُ ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللهُ، وَمَا شَاءَ مُحَمَّدٌ
، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرَ بِهَا مَنْ أَخْبَرَ، ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: " هَلْ أَخْبَرْتَ بِهَا
أَحَدًا؟ قَالَ: نَعَمْ، فَلَمَّا صَلَّوْا، خَطَبَهُمْ فَحَمِدَ اللهَ، وَأَثْنَى
عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " إِنَّ طُفَيْلًا رَأَى رُؤْيَا فَأَخْبَرَ بِهَا
مَنْ أَخْبَرَ مِنْكُمْ، وَإِنَّكُمْ كُنْتُمْ تَقُولُونَ كَلِمَةً كَانَ
يَمْنُعُنِي الْحَيَاءُ مِنْكُمْ، أَنْ أَنْهَاكُمْ عَنْهَا "، قَالَ: "
لَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللهُ، وَمَا شَاءَ مُحَمَّدٌ "
Dari
Thufail bin Sakhbarah RA, saudara seibu Aisyah RA, bahwasanya ia bermimpi
seakan-akan berjalan melewati sekelompok orang Yahudi. Ia bertanya, “Siapa
kalian?’ Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Yahudi.” Ia berkata,
“Sungguh kalian adalah kaum yang baik, seandainya saja kalian tidak mengatakan
bahwa Uzair adalah anak Allah.” Mereka berkata, “Dan sungguh kalian adalah kaum
yang baik, seandainya saja kalian tidak mengatakan Terserah kehendak Allah
dan terserah kehendak Muhammad.”
Ia lalu berjalan
melewati sekelompok orang Nasrani. Ia bertanya, “Siapa kalian?’ Mereka
menjawab, “Kami adalah orang-orang Nasrani.” Ia berkata, “Sungguh kalian adalah
kaum yang baik, seandainya saja kalian tidak mengatakan bahwa Isa adalah anak
Allah.” Mereka berkata, “Dan sungguh kalian adalah kaum yang baik, seandainya
saja kalian tidak mengatakan, “Terserah kehendak Allah dan terserah kehendak
Muhammad.”
Keesokan
harinya, ia menceritakan mimpinya kepada beberapa orang, kemudian ia mendatangi
Nabi SAW dan menceritakan mimpinya. Maka Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau
telah menceritakan mimpimu kepada orang lain?” Ia menjawab, “Ya.” Setelah
mereka menunaikan shalat dan Nabi SAW berdiri menyampaikan khutbah. Setelah
memuji Allah, Nabi SAW bersabda dalam khutbahnya, “Sesungguhnya Thufail telah
bermimpi dan ia telah menceritakan mimpinya kepada beberapa orang di antara
kalian. Sesungguhnya kalian telah mengatakan ucapan yang aku sungkan untuk
melarang kalian dari mengucapkannya. Janganlah kalian mengatakan: “Terserah
kehendak Allah dan terserah kehendak Muhammad.” (HR. Ahmad no. 20694,
Ibnu Majah no. 2118, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 8214, hadits
shahih. Hadits semakna diriwayatkan dari Hudzaifah bin Yaman, Rib’i bin
Khirasy, Jabir bin Samurah, dan lain-lain).
Dalam
riwayat Hudzaifah bin Yaman tentang kisah tersebut, Rasulullah SAW
bersabda:
أَمَا
وَاللَّهِ، إِنْ كُنْتُ لَأَعْرِفُهَا لَكُمْ، قُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ
شَاءَ مُحَمَّدٌ
“Demi
Allah, aku sudah mengetahuinya untuk kalian. Katakanlah: Terserah kehendak
Allah, kemudian terserah kehendak Muhammad.” (HR. Ahmad no. 23339
dan Ibnu Majah no. 2118, hadits shahih)
Dalam
hadits yang lain Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk mengatakan: “Terserah
kehendak Allah saja.”
Syaikh
Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab menerangkan makna hadits di atas
dengan berkata: “Hadits ini menegaskan penjelasan di muka bahwa hal ini
merupakan syirik, karena adanya penyambungan kalimat (‘athaf) dengan
kata sambung wa (dan). Sabda Nabi SAW, “Apakah engkau menjadikanku
sebagai tandingan bagi Allah?”menerangkan bahwa barangsiapa menyamakan
antara hamba dengan Allah walau dalam syirik asghar, maka ia telah menjadikan
hamba tersebut tandingan bagi Allah, mau atau tidak mau.”(Fathul Majid Syarh
Kitab at-Tauhid, 1/420)
Hadits
tentang dzatu anwath, hadits tentang bersumpah dengan nama selain Allah,
dan hadits tentang Terserah kehendak Allah dan terserah kehendak Muhammad,
adalah berkenaan dengan syirik asghar, bukan syirik akbar, sebagaimana dijelaskan
oleh para ulama. Hanya saja, semua hadits tersebut menunjukkan bahwa
perkara-perkara tauhid dan syirik pun bertingkat-tingkat dari sudut pandang
kejelasan dan kesamarannya bagi kaum muslimin, terkhusus lagi kaum awam. Tidak
semua perkara tauhid dan syirik itu diketahui hukumnya dan dalil-dalilnya oleh
seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam bish-shawab.
***
Ketiga, barangsiapa masuk Islam di
darul harbi (negara kafir) lalu ia tidak mengetahui sebagian rincian
perkara akidah, bukan pokok akidah yang merupakan makna dua kalimat syahadat
(meyakini hanya Allah semata yang berhak diibadahi dan Muhammad SAW adalah
penutup seluruh nabi dan rasul). Hal itu karena darul harbi bukanlah
tempat dikenalnya secara luas hukum-hukum (ajaran-ajaran) Islam.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata:
“Orang-orang
seperti mereka, sekalipun jumlah mereka banyak pada zaman sekarang, namun (hal
itu disebabkan) oleh karena sedikitnya juru dakwah kepada ilmu dan iman,
pudarnya bekas-bekas (pengaruh-pengaruh ajaran) kerasulan pada kebanyakan
negeri, dan kebanyakan mereka tidak memiliki bekas-bekas ajaran kerasulan dan
warisan kenabian yang dengannya mereka bisa mengetahui petunjuk, dan kebanyakan
mereka belum sampai kepada mereka ajaran-ajaran tersebut.
Dan pada
waktu-waktu fatrah dan tempat-tempat fatrah, seseorang diberi
pahala atas sedikit keimanan yang ia miliki. Allah mengampuni bagi orang yang
belum tegak hujah atas dirinya apa yang tidak Allah ampuni bagi orang yang
telah tegak hujah kepadanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang
terkenal,
“Akan
datang kepada manusia suatu zaman, di mana mereka tidak mengenal shalat,
shiyam, haji dan umrah. Kecuali kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua, mereka
mengatakan; “Kami mendapati orang ua kami mengatakan Laa Ilaha Illa
Allah.” Maka ditanyakan kepada Hudzaifah bin Yaman (sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut): “Apa gunanya Laa Ilaaha Illa Allah bagi
mereka?” Hudzaifah menjawab, “Kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari neraka.”
Pokok
dari hal itu adalah bahwasanya sebuah pendapat (keyakinan) yang merupakan
sebuah kekafiran berdasar Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’, maka dikatakan: “Perkataan
(keyakinan) itu adalah sebuah kekafiran”, demikianlah dikatakan secara
mutlak (lepas tanpa dikaitkan dengan individu tertentu, pent) sebagaimana
ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i. Karena masalah iman merupakan bagian dari
hukum-hukum yang diterima secara langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Ia bukan
termasuk perkara yang ditetapkan oleh manusia berdasar perkiraan-perkiraan dan
hawa nafsu mereka.
Dan tidak
setiap orang yang mengucapkan ucapan (meyakini keyakinan) kekufuran
tersebut harus divonis kafir sampai terbukti pada dirinya telah terpenuhi
syarat-syarat pengkafiran dan tiadanya penghalang-penghalang kekafiran.
Contohnya
adalah seseorang yang mengatakan (meyakini) bahwa khamr atau riba itu halal,
karena ia belum lama masuk Islam, atau karena ia hidup di daerah pedalaman
(yang jauh dari ulama dan sarana ilmu syar’i). Atau ia mendengar sebuah
perkataan (ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi SAW, pent) lalu ia mengingkarinya
dan ia tidak meyakininya bagian dari Al-Qur’an dan bukan pula bagian dari
hadits-hadits Nabi SAW.
Seperti
halnya sebagian salaf yang mengingkari beberapa hal sampai menjadi pasti
baginya bahwa beberapa hal tersebut disabdakan oleh Nabi SAW. Atau seperti para
sahabat yang meragukan beberapa hal seperti hal melihat Allah dan lain-lain
sehingga mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW.
Juga
seperti orang yang mengatakan, “Jika aku telah mati, maka bakarlah
jenazahku, tumbuklah debunya, dan taburkan di lautan, semoga aku hilang (lolos)
dari Allah.” Dan contoh-contoh lainnya. Orang-orang tersebut tidak
dikafirkan sampai tegak atas diri mereka hujah risalah, sebagaimana difirmankan
oleh Allah,
{لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ
الرُّسُلِ}
“(Kami
telah mengutus mereka) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan ancaman agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)
Allah telah memaafkan
untuk umat ini dari kekeliruan dan kelupaan.” (Majmu’ Fatawa, 35/165-166)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah juga berkata;
“Namun
di antara manusia ada orang yang tidak mengetahui hukum-hukum yang zhahir lagi
mutawatir ini dengan ketidak tahuan yang menjadi udzur. Sehingga seorang pun
tidak dikafirkan sampai hujah tegak atas dirinya dengan sampainya risalah.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah,
{لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ
الرُّسُلِ}
“(Kami
telah mengutus mereka) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan ancaman agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)
{وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا}
“Dan Kami
tidak mengadzab (seorang pun) sampai Kami mengutus seorang rasul.” I(QS.
Al-Isra’ [17]: 15)
Oleh
karena itu, seandainya seseorang masuk Islam (semula kafir asli, pent) dan ia
tidak mengetahui bahwa shalat itu wajib, atau ia tidak mengetahui khamr itu
haram, niscaya ia tidak kafir meskipun ia tidak meyakini wajibnya shalat dan
haramnya khamr. Bahkan ia juga tidak dihukum sampai hujah nabawiyah sampai
kepadanya.
Bahkan
para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang masuk Islam di darul
harbi (negeri kafir) dan ia tidak mengetahui bahwa shalat itu wajib,
kemudian ia mengetahui kewajiban shalat. Apakah iia wajib menqadha’
(mengganti) shalat wajib yang tidak ia kerjakan selama masa tidak mengetahui
kewajiban shalat? Ada dua pendapat di kalangan madzhab imam Ahmad dan lainnya.
Pendapat
pertama, ia tidak wajib menqadha’, dan ini merupakan pendapat (madzhab) imam
Abu Hanifah. Pendapat kedua, ia wajib menqadha’, dan ini merupakan pendapat
yang terkenal di kalangan ulama madzhab Syafi’i.”(Majmu’ Fatawa, 11/406)
Beliau
juga mengatakan:
“Sesungguhnya
barangsiapa mengingkari sesuatu bagian dari syariat-syariat yang zhahirah
(terkenal dan diketahui secara luas oleh kaum muslimin, pent) jika ia adalah
orang yang belum lama masuk Islam atau hidup di negeri kebodohan, maka
sesungguhnya ia tidak kafir sehingga hujah nabawiyah sampai kepadanya.”
(Majmu’ Fatawa, 6/61)
Imam Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi berkata:
“Barangsiapa
meninggalkan shalat, maka ia diajak selama tiga hari untuk mengerjakannya. Jika
ia melaksanakan shalat (maka itulah yang dikehendaki). Adapun jika ia tidak mau
shalat, maka ia dihukum mati, baik ia mengingkari kewajiban shalat maupun ia
tidak mengingkarinya...
Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kafirnya orang yang meninggalkan
shalat dengan mengingkari wajibnya shalat, jika orang yang seperti dirinya
(selevel dengannya) mengetahui kewajiban (shalat) tersebut. Adapun jika ia
termasuk orang yang belum mengetahui wajibnya shalat, seperti orang yang belum
lama masuk Islam, atau orang yang hidup di selain negeri Islam (darul Islam),
atau ia hidup di pedalaman yang jauh dari negeri-negeri Islam dan para ulama,
maka ia tidak divonis kafir. Ia harus diberi penjelasan tentang kewajiban
shalat dan dalil-dalil yang mewajibkan shalat harus ditegakkan kepadanya. Jika
setelah itu ia masih mengingkari wajibnya shalat, maka ia telah kafir.
Adapun
jika orang yang mengingkari kewajiban shalat adalah orang yang hidup di
negeri-negeri di antara para ulama (bukan di pelosok pedalaman, pent), maka
dengan sendirinya ia menjadi kafir jika ia mengingkari wajibnya shalat. Hukum
yang sama berlaku untuk pondasi-pondasi bangunan (rukun) Islam lainnya, yaitu
zakat, shiyam, dan haji, karena semua itu termasuk pondasi bangunan Islam, dan
dalil-dalil tentang kewajibannya hampir-hampir tidak ada yang samar lagi;
karena Al-Qur’an dan as-sunnah penuh dengan dalil-dalil atasnya, dan ijma’
ulama juga telah tercapai atas (rukun Islam) tersebut. Maka tidak ada yang
mengingkari kewajibannya selain orang yang memusuhi Islam dan menentang
komitmen kepada hukum-hukum Islam, tidak mau menerima kitab Allah, sunnah
rasul-Nya, dan ijma’ umatnya.” (Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 9/11
karya imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi)
Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman
bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip perkataan syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berikut ini:
“Kita
mengetahui dengan pasti bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mensyariatkan kepada
umatnya untuk berdoa kepada seorang pun yang telah mati, tidak kepada para
nabi, tidak kepada orang-orang shalih, dan tidak pula kepada selain mereka.
Tidak dengan lafal istighatsah, tidak pula dengan lafal lainnya. Rasulullah SAW
juga tidak pernah mensyariatkan kepada umatnya untuk sujud kepada orang yang
telah mati, tidak kepada selain orang yang telah mati, dan lain sebagainya.
Bahkan kita mengetahui bahwa Rasulullah SAW melarang semua perbuatan tersebut,
dan bahwa perbuatan tersebut merupakan syirik yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya. Namun karena dominasi kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar
(ajaran peninggalan) Rasulullah SAW pada kebanyakan generasi belakangan, maka
tidak mungkin mengkafirkan mereka karena perbuatan tersebut, sampai dijelaskan
kepada mereka ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.” (Misbah
azh-Zhulam fir Raddi 'ala Man Kadz-dzaba asy-Syaikh al-Imam wa Nasabahu ila
Takfiri Ahlil Iman wal Islam, hlm. 197 karya syaikh Abdul Lathif bin
Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab)
Kemudian
syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab mengomentarinya
sebagai berikut:
“Maksud
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari koreksi ini adalah bahwa hujah dianggap tegak
atas para mukallaf dan dampak hukumnya diberlakukan setelah sampai kepadanya
ajaran Rasulullah SAW, yaitu petunjuk, dien yang haq, inti dan maksud dari
kerasulan yaitu mengesakan Allah, menghadapkan wajah (diri sepenuhnya)
kepada-Nya, dan kembalinya (inabah) hati kepada-Nya semata. Allah SWT
berfirman,
“Dan
Kami tidak akan mengazab (seorang pun) sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
(QS. Al-Isra’ (17): 15)
Para
ulama telah memberi contoh golongan ini dengan orang yang yang hidup di daerah
terpencil atau lahir di negeri orang-orang kafir sedangkan hujah risalah belum
sampai kepadanya. Oleh karena itu, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Namun
karena dominasi kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar (ajaran
peninggalan) Rasulullah SAW pada kebanyakan generasi belakangan, maka tidak
mungkin mengkafirkan mereka karena perbuatan tersebut, sampai dijelaskan kepada
mereka ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.”
Beliau
telah mengarang sebuah risalah tersendiri bahwa syariat-syariat tidak wajib
sebelum sampai kepada mukallaf. Mayoritas ulama secara umum menerima kaedah
ini, dan mereka menyebutkan banyak hukum yang timbul dari kaedah ini, baik di
bidang ibadah, mu’amalah, maupun bidang lainnya. Maka barangsiapa telah
sampai kepadanya dakwah para rasul yang mengajak untuk mengesakan Allah,
kewajiban berislam (memurnikan ketundukan) kepada-Nya, dan telah memahami bahwa
para rasul datang dengan ajaran ini, niscaya ia tidak memiliki izin untuk
menyelisihi para rasul dan tidak beribadah kepada Allah. Orang seperti inilah
yang dipastikan untuk divonis kafir jika ia beribadah kepada selain Allah dan
menjadikan tandingan-tandingan dan tuhan-tuhan sesembahan di samping Allah.
Syaikh
(Ibnu Taimiyah, pent) dan kaum muslimin lainnya tidak bertawaqquf (menahan
diri, pent) dalam masalah ini. Syaikh kami (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
pent) telah menetapkan hal ini, sesuai dan mengambil teladan dari para ulama
umat Islam. Beliau tidak mengkafirkan kecuali setelah tegak hujah dan
dalilnya terang. Sampai-sampai beliau bertawaquf dari mengkafirkan orang bodoh
dari kalangan penyembah kuburan jika tidak ada ulama yang memperingatkan
(menerangkan kesyirikan perbuatannya) kepadanya.” (Misbah azh-Zhulam,
hlm.324-325)
***
Keempat, barangsiapa tinggal di
puncak-puncak gunung atau daerah-daerah pedalaman atau daerah-daerah terpencil
yang jauh dari para ulama dan sarana-sarana ilmu, lalu ia tidak mengetahui
sebagian rincian perkara akidah, bukan pokok akidah yang merupakan makna dua
kalimat syahadat, sementara ia tidak sedikit pun ragu atas kebenaran apa yang
ia anut atau ia lakukan.
Perkataan
para ulama biasanya menyejajarkan orang yang belum lama masuk Islam dengan
orang yang hidup di daerah puncak gunung, pelosok pedalaman dan daerah
terpencil, karena adanya faktor kesamaan di antara keduanya, yaitu faktor
kebodohan.
Di antara
dalil yang menunjukkan pemberian udzur bagi penduduk yang tinggal di daerah
terpencil sampai ditegakkan hujah atas mereka adalah:
[1]
Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:
عَنْ
عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا
جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ مُصَدِّقًا فَلَاجَّهُ رَجُلٌ فِي صَدَقَتِهِ
، فَضَرَبَهُ أَبُو جَهْمٍ ، فَشَجَّهُ ، فَأَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالُوا : الْقَوَدَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا
" فَلَمْ يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَلَمْ
يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَرَضُوا ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنِّي خَاطِبٌ
الْعَشِيَّةَ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ " فَقَالُوا : نَعَمْ
، فَخَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
إِنَّ هَؤُلَاءِ اللَّيْثِيِّينَ أَتَوْنِي يُرِيدُونَ الْقَوَدَ ،
فَعَرَضْتُ عَلَيْهِمْ كَذَا وَكَذَا فَرَضُوا ، أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا :
لَا ، فَهَمَّ الْمُهَاجِرُونَ بِهِمْ ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُفُّوا عَنْهُمْ ، فَكَفُّوا ، ثُمَّ
دَعَاهُمْ فَزَادَهُمْ ، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " فَقَالُوا :
نَعَمْ ، قَالَ : " إِنِّي خَاطِبٌ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ
" قَالُوا : نَعَمْ ، فَخَطَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا : نَعَمْ
Aisyah RA
berkata: “Nabi SAW mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah sebagai pegawai pengumpul
zakat. Seorang laki-laki mendebatnya dalam pengambilan zakat, maka Abu Jahm
memukulnya sehingga kepalanya terluka. Kaum orang tersebut datang kepada nabi
SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami meminta hukuman yang setimpal!” Nabi
SAW bersabda, “Bagi kalian tebusan sekian dan sekian.” Namun mereka tidak rela
dengan tawaran tebusan.
Nabi SAW
bersabda, “Bagi kalian tebusan sekian dan sekian (jumlah yang lebih besar dari
tawaran pertama, pent).” Namun mereka tidak rela dengan tawaran tebusan.
Nabi SAW
bersabda, “Bagi kalian tebusan sekian dan sekian (jumlah yang lebih besar dari
tawaran kedua, pent).” Barulah mereka rela dengan tawaran tebusan tersebut.
Nabi SAW
bersabda, “Aku akan menyampaikan khutbah pada sore ini kepada masyarakat dan
aku akan memberitahukan kerelaan kalian ini kepada mereka.” Mereka menjawab,
“Ya, kami rela.”
Maka
Rasulullah SAW menyampaikan khutbah, “Sesungguhnya orang-orang dari Bani Laits
ini datang kepadaku dan meminta pelaksanaan hukuman yang setimpal. Maka aku
menawarkan kepada mereka tebusan sejumlah sekian dan sekian, lalu aku tanyakan
kepada mereka: ‘Apakah kalian rela?’ Mereka menjawab: ‘Tidak’.
Mendengar
hal itu, kaum muhajirin ingin menghajar orang-orang Bani Laits tersebut, namun
beliau SAW memerintahkan mereka untuk menahan diri, maka mereka pun menahan
diri. Rasulullah SAW bersabda, “Aku kemudian menaikkan tawaran tebusan kepada
mereka sekian dan sekian. Aku tanyakan kepada mereka: ‘Apakah kalian rela?’
Mereka menjawab ‘Ya’. Maka aku katakan: “Aku akan menyampaikan khutbah kepada
masyarakat dan memberitahukan kerelaan kalian ini kepada mereka. Apakah kalian
rela?” Mereka menjawab, ‘Ya’. Maka Nabi SAW menyampaikan khutbah dan beliau
bertanya kepada mereka, “Apakah kalian telah rela?” Mereka menjawab: ‘Ya’.” (HR.
Abu Daud no. 4534, An-Nasai no. 4778, Ibnu Majah no. 2638, Ahmad no. 25958, Abdur
Razzaq no. 18032, Ibnu Hibban no. 4487, Al-Baihaqi no. 16022, Ibnu Abi ‘Ashim,
Ibnu Al-Jarud, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 10/410.
Sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Saat
menerangkan sebagian makna hadits ini, imam Ibnu Hazm al-Andalusi
berkata: “Hadits ini menyebutkan udzur bagi orang yang bodoh, dan bahwa ia
tidak keluar dari Islam yang sekiranya hal itu dilakukan oleh seorang ulama
yang telah tegak hujah atas dirinya, niscaya ia telah kafir. Karena orang-orang
Bani Laits tersebut telah mendustakan Nabi SAW, dan ‘sekedar’ mendustakan
beliau SAW merupakan perbuatan kekafiran tanpa ada perselisihan pendapat lagi.
Namun karena mereka bodoh dan orang-orang Badui (hidup di daerah terpencil jauh
dari lingkungan ilmu, pent), maka mereka diberi udzur karena kebodohan mereka,
sehingga mereka tidak kafir.” (Al-Muhalla, 10/410-411 karya imam Ibnu Hazm
Al-Andalusi)
Barangkali
perkataan imam Ibnu Hazm al-Andalusi ini perlu penjelasan lebih lanjut agar
mudah dipahami. Penjelasannya sebagai berikut, di antara konskuensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai
pemberi keputusan dalam segala persoalan yang diperselisihkan, tidak merasa
berat dengan keputusan beliau, dan menerima keputusan beliau dengan penuh
lapang dada. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi
Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Sebab
turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih adalah sebagai
berikut:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ حَدَّثَهُ:
أَنَّ رَجُلًا مِنَ الأَنْصَارِ خَاصَمَ الزُّبَيْرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِرَاجِ الحَرَّةِ، الَّتِي يَسْقُونَ بِهَا
النَّخْلَ، فَقَالَ الأَنْصَارِيُّ: سَرِّحِ المَاءَ يَمُرُّ، فَأَبَى عَلَيْهِ؟
فَاخْتَصَمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ: «أَسْقِ يَا زُبَيْرُ،
ثُمَّ أَرْسِلِ المَاءَ إِلَى جَارِكَ»، فَغَضِبَ الأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ: أَنْ
كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: «اسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ احْبِسِ المَاءَ حَتَّى
يَرْجِعَ إِلَى الجَدْرِ»، فَقَالَ الزُّبَيْرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي
لَأَحْسِبُ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ فِي ذَلِكَ: {فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} [النساء: 65] "
Dari
Abdullah bin Zubair bahwasanya seorang sahabat Anshar bersengketa dengan Zubair
bin Awwam RA di hadapan Rasulullah tentang irigasi air dari bukit batu luar
Madinah yang menjadi pengairan lading korma. Sahabat Anshar itu berkata:
“Biarkan air mengalir begitu saja, tapi dia (Zubair) tidak mau.” Keduanya pun
bersengketa di hadapan Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda kepada Zubair: “Airilah
ladangmu wahai Zubair, lalu alirkan air ke ladang tetanggamu ini!” Sahabat
Anshar itu marah dan berkata, “Wahai Rasulullah, Anda memutuskan begitu karena
ia adalah anak dari bibi Anda?”
Muka
Rasulullah SAW pun berubah merah mendengar ucapan itu, maka beliau bersabda,
“Wahai Zubair, airilah ladangmu, lalu tahanlah air sampai sebatas pembatas
ladangmu!” Zubair bin Awwam berkata: “Demi Allah, aku tidak meyakini ayat ini
turun kecuali berkenaan dengan kasus itu.”
(HR.
Bukhari no. 2359, Muslim no. 2357, Abu Daud no. 3637, Tirmidzi no. 1367, dan
Ibnu Majah no. 4585)
Dalam
menafsirkan ayat di atas, imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu
Katsir, Asy-Syaukani dan lain-lain menjelaskan bahwa Allah SWT bersumpah dengan
jiwa-Nya Yang Maha Suci bahwa seseorang tidak beriman sehingga ia melakukan
tiga syarat: (1) mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada
Rasulullah SAW, (2) tidak merasa berat hati dengan keputusan beliau, dan (3)
tunduk sepenuhnya kepada beliau dengan menerima keputusan beliau sepenuh
penerimaan.
Dalam
hadits Aisyah di atas, penduduk muslim suku Al-Laits telah melakukan syarat
pertama, yaitu menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemberi keputusan dalam
perkara yang mereka perselisihkan. Pegawai zakat yang beliau kirim telah
melakukan pemukulan sampai melukai wajah (kepala) korban, namun karena korban
juga punya andil kesalahan dengan mendebat pegawai zakat maka beliau SAW
memutuskan ganti rugi materi, bukan hukuman qisash (pemukulan sampai melukai
wajah/kepala).
Dua kali
penduduk muslim suku Al-Laits tersebut menolak keputusan Rasulullah SAW
tersebut. Berarti mereka tidak melaksanakan dua syarat dalam QS. An-Nisa’ (4):
65, sehingga mereka belum beriman. Inilah kurang lebih maksud dari perkataan
imam Ibnu Hazm Al-Andalusi bahwa mereka mendustakan Nabi SAW. Namun karena
unsur kebodohan, maka mereka dimaafkan dan tidak divonis musyrik ataupun kafir.
Wallahu A’lam bish-shawab
[2].
Dalil lainnya antara lain hadits Hudzaifah bin Yaman RA:
عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، حَتَّى
لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلَا صَلَاةٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ،
وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ، فَلَا يَبْقَى فِي
الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ
وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ، لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُهَا " فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا
تُغْنِي عَنْهُمْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ،
وَلَا صِيَامٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ،
ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ،
ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: «يَا صِلَةُ، تُنْجِيهِمْ
مِنَ النَّارِ» ثَلَاثًا
Dari
Hudzaifah bin Yaman RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Islam akan pudar
sebagaimana corak pakaian pudar, sampai-sampai tidak diketahui lagi apa itu
shiyam, shalat, nusuk (haji atau penyembelihan) dan sedekah (zakat). KItab
Allah benar-benar akan diangkat pada suuatu malam, sehingga tidak tersisa satu
ayat pun di muka bumi. Yang tersisa hanyalah kakek-kakek tua dan nenek-nenek
tua. Mereka mengatakan: ‘Kami mendapati orang-orang tua kami mengucapkan
kalimat ini, Laa Ilaaha Illa Allah, maka kami pun ikut-ikutan mengucapkannya.”
Shilah
(tabi’in perawi hadits) bertanya, “Apa manfaatnya bagi mereka ucapan Laa Ilaaha
Illa Allah, sementara mereka tidak mengenal apa itu shalat, shiyam, haji, dan
zakat?” Mendengar ucapan itu, Hudzaifah berpaling. Shilah mengulangi pertanyaannya
tiga kali, namun setiap kali ditanya, Hudzaifah selalu memalingkan mukanya.
Pada pertanyaan yang ketiga, Hudzaifah menghadapkan wajahnya kepada Shilah dan
menjawab, “Wahai Shilah, kalimat Laa Ilaaha Illa Allah akan menyelamatkan
mereka.” Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga.
(HR. Ibnu
Majah no. 4049 dan Al-Hakim no. 8460 dan 8636. Al-Hakim menshahihkannya dan
Adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/127 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, 6/339)
Para
ulama menarik persamaan atau keserupaan antara kasus diangkatnya syariat
(kitabullah) dalam hadits di atas dengan kasus orang-orang Islam yang hidup
pada daerah-daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan ilmu syar'i. Kedua kasus
tersebut memiliki keserupaan yaitu sedikitnya atau bahkan tiadanya ulama yang
melaksanakan pengajaran ilmu dan tidak adanya kemampuan menuntut ilmu
syar'i.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Banyak
manusia yang hidup pada tempat-tempat dan zaman-zaman yang padanya telah pudar
banyak ilmu-ilmu kenabian, sehingga tidak tersisa seorang yang menyampaikan
al-Qur’an dan as-sunnah yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya. Maka manusia
tidak mengetahui banyak ajaran yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya, dan di
sana juga tidak ada seseorang yang menyampaikannya kepadanya. Maka orang
seperti ini tidak kafir.
Oleh
karenanya para ulama sepakat bahwa orang yang hidup di daerah terpencil yang
jauh dari para ulama dan orang yang beriman, sementara ia belum lama masuk
Islam, lalu ia mengingkari sebagian hukum yang zhahir mutawatir ini, maka ia
tidak divonis kafir sampai dijelaskan kepadanya ajaran Rasulullah SAW. Oleh karena itu disebutkan
dalam hadits:
“Suatu
zaman akan datang kepada manusia, pada waktu itu mereka tidak mengetahui shalat,
zakat, shaum, maupun haji. Hanya kakek yang jompo dan nenek yang jompo yang
mengatakan: “Kami mendapati nenek moyang kami mengatakan ‘Laa Ilaaha Illa
Allahu’.” Ditanyakan kepada sahabat Hudzaifah bin Yaman (yang meriwayatkan
hadits ini, pent): “Apa manfaat Laa Ilaaha Illa Allahu bagi mereka?” Hudzaifah
menjawab: “Ia akan menyelamatkan mereka dari neraka.” (Majmu’ Fatawa,
11/407-408)
***
Catatan:
Dari
penjelasan tentang empat contoh bentuk kebodohan yang disepakati menjadi udzur
di atas, para ulama menyebutkan perbedaan antara bentuk pertama dengan bentuk
kedua, ketiga, dan keempat sebagai berikut:
1. Bentuk
pertama bersifat umum dari aspek pelakunya, namun bersifat khusus dari aspek
permasalahannya. Pelakunya bersifat umum, mencakup ulama maupun orang awam, di
negeri Islam maupun negeri kafir. Namun permasalahannya bersifat khusus, yaitu
perkara-perkara yang hukumnya atau dalilnya masih samar dan belum diketahui
oleh mayoritas muslim, atau hukum dan dalilnya diketahui oleh orang banyak
namun terdapat banyak kerancuan dalam memahami makna yang sebenarnya dari
dalil-dalil tersebut. Permasalahan ini biasa disebut dengan istilah
masalah-masalah khafiyah (tersamar, tersembunyi).
2. Bentuk
kedua, ketiga, dan keempat bersifat khusus dari aspek pelakunya, namun bersifat
umum dari aspek permasalahannya. Pelakunya bersifat khusus, yaitu orang yang
hidup di daerah-daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan sulit mencari ilmu
syar’i, atau orang kafir asli yang belum lama masuk Islam, atau orang kafir
asli yang masuk Islam di darul kufri (negara yang menerapkan selain
hukum Islam), atau orang Islam yang hidup pada zaman pudarnya ilmu-ilmu tentang
ajaran Islam yang benar dan sedikitnya ulama (zaman fatrah). Adapun
permasalahannya bersifat umum, mencakup perkara-perkara khafiyah maupun zhahirah
(perkara yang hukum dan dalilnya diketahui secara luas oleh semua umat Islam,
baik kalangan ulama maupun orang awam).
(Masalatul
‘Udzri bil Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 36,
karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
Bersambung,
insya Allah…
(muhib
almajdi/arrahmah.com)
Serial kajian tentang
takfir muayyan #5: Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran (3)
Muhib
Al-Majdi
Rabu, 11
Juli 2012 10:41:17
(Arrahmah.com) – Dalam artikel "Kebodohan
sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1", kita telah membahas
kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama tidak bisa menjadi udzur dalam
pengkafiran.
Dalam
artikel "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2",
kita telah membahas kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama bisa menjadi
udzur dalam pengkafiran.
Dalam
artikel "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 3"
kali ini, kita akan membahas kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama,
apakah bisa menjadi udzur dalam pengkafiran ataukah tidak bisa menjadi
udzur?
***
Kebodohan
yang diperselisihkan ulama sebagai udzur atau bukan udzur dalam pengkafiran
Kebodohan
yang diperselisihkan oleh para ulama apakah bisa menjadi udzur ataukah tidak
bisa menjadi udzur dalam pengkafiran adalah kebodohan terhadap sebagian rincian
dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah disertai ilmu (pemahaman) dan
pengamalan secara global terhadap pokok makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah.
Maksudnya
adalah seseorang yang telah melakukan unsur-unsur pokok keislaman dan keimanan
secara global. Ia telah:
-
mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisannya.
-
mengetahui makna dua kalimat syahadat secara global (yaitu kewajiban beribadah
kepada Allah semata, tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu pun,
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam adalah utusan Allah terakhir, tiada lagi
nabi atau rasul sepeninggalnya, dan kewajiban beribadah kepada Allah menurut
tuntunan syariatnya).
-
mengamalkan konskuensi makna dua kalimat syahadat secara global dengan amalan
hati (memiliki rasa takut, rasa harap, dan rasa cinta kepada Allah, memiliki
keikhlasan, bertawakal kepada Allah, dan lain-lain), amalan lisan (membaca
Al-Qur'an, berdoa, berdzikir, berisitighfar, mengucapkan ucapan yang baik) dan
amalan anggota badan (melaksanakan shalat, melaksanakan shaum Ramadhan,
membayar zakat, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga,
memuliakan tamu dan lain-lain).
Namun ia
tidak mengetahui sebagian rincian dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah.
Maksudnya, ia tidak mengetahui sebagian perkara yang sebenarnya hanya menjadi
hak Allah karena termasuk perkara ibadah, namun ia lakukan karena ketidak
tahuannya bahwa perkara tersebut adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan
kepada Allah. (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah
Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 36 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
Contoh
kasus:
a)
Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa tawasul adalah ibadah yang
hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim ini berdoa kepada Allah semata
namun dengan perantaraan orang shalih yang telah meninggal. Ia berdoa kepada
Allah semata dengan perantaraan kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam (misalnya dengan membaca shalawat Nariyah), atau kemuliaan para
sahabat veteran perang Badar (membaca shalawat Badar), atau kemuliaan
syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani, atau kemuliaan salah seorang Walisongo. Ia tahu
doa adalah ibadah dan ia berdoa kepada Allah semata. Namun ia tidak mengetahui
bahwa memakai perantaraan kemuliaan orang shalih yang telah meninggal tersebut
adalah perbuatan syirik akbar yang membatalkan tauhid. Berdasar ilmu yang ia
pelajari dari para habib atau ustadz, tawasul seperti itu merupakan
perkara yang berdasar dalil syar'i dan menjadi salah satu sebab dikabulkannya
doa oleh Allah Ta'ala.
b)
Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa hak menetapkan hukum adalah salah
satu sifat Allah, salah satu hak khusus Allah, dan merupakan salah satu ibadah
yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim tersebut memberikan
suaranya dalam sebuah pemilu legislatif atau pemilu eksekutip (pilihan
presiden, pilihan gubernur atau pilihan bupati/walikota). Ia tidak mengetahui
bahwa memberikan suara dalam pemilu legislatif atau pemilu eksekutif adalah
syirik akbar yang membatalkan tauhid, karena perbuatan tersebut berarti
mengangkat orang yang akan menetapkan hukum jahiliyah yang tidak berdasar
kepada Al-Qur'an dan as-sunnah. Setahu dirinya, masalah pemilu dan memberikan
suara (nyoblos) adalah perkara dunia belaka, bukan perkara ibadah yang
hanya boleh ditujukan kepada Allah. Bahkan menurut ilmu yang ia peroleh dari
para ulama/ustadz/mubaligh, ia wajib memilih calon yang Islami dan
memperjuangkan kepentingan umat Islam. Ia tidak mengetahui bahwa Islam memiliki
sistem pemerintahan dan politik tersendiri yang berbeda dari sistem syirik
demokrasi. Para ulama/ustadz/mubaligh tempat ia belajar agama tidak mengajarkan
fiqih siyasah (siyasah syar'iyah) atau fiqih khilafah atau fiqih
imamah.
c)
Seorang muslim siswa SMP/SMA naksir kepada seorang muslimah siswi
SMP/SMA lainnya. Untuk bisa mendapatkan cinta siswi tersebut, si siswa
melakukan praktek sihir yang menurut kyai/habib/ustadz tempatnya mengaji.
Dengan bekal ilmu 'sihir' yang diajarkan oleh kyai/habib/ustadz tersebut, si
siswa membacakan ayat-ayat Al-Qur'an tertentu yang dicampur dengan
bacaan-bacaan Arab yang ia tidak ketahui asal dan maknanya. Si siswa
membacakannya kepada si siswi agar si siswi jatuh cinta kepadanya. Si siswa itu
tidak mengetahui bahwa sihir penarik cinta ('athaf) seperti itu adalah
syirik akbar yang membatalkan tauhid. Apalagi doa 'sihir penarik cinta' itu
dipelajarinya dari kyai/habib/ustadz yang bersumber dari kitab doa-doa yang
mujarrab.
Para
ulama berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap pelaku contoh
kasus-kasus di atas. Perbedaan vonis mereka timbul karena mereka perbedaan
pendapat mereka dalam menilai kasus-kasus tersebut; apakah ia termasuk perkara
yang zhahirah (perkara yang sangat jelas dan diketahui hukumnya oleh
seluruh kaum muslimin baik orang awam maupun ulama) sehingga tidak berlaku
udzur kebodohan padanya ataukah ia termasuk perkara khafiyah (perkara
yang hukumnya masih samar dan belum diketahui oleh sebagian ulama dan banyak
masyarakat awam) sehingga berlaku udzur kebodohan padanya?
Sebelum menyebutkan para ulama yang berselisih pendapat dan dalil-dalil syar'i yang dipegangi oleh masing-masing ulama yang berselisih, di sini kami akan menyebutkan beberapa perkara yang telah disepakati oleh para ulama. Sebagian perkara ini telah diuraikan panjang lebar pada pembahasan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1" dan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2". Sebagian perkara yang telah disepakati oleh para ulama tersebut adalah:
Sebelum menyebutkan para ulama yang berselisih pendapat dan dalil-dalil syar'i yang dipegangi oleh masing-masing ulama yang berselisih, di sini kami akan menyebutkan beberapa perkara yang telah disepakati oleh para ulama. Sebagian perkara ini telah diuraikan panjang lebar pada pembahasan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1" dan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2". Sebagian perkara yang telah disepakati oleh para ulama tersebut adalah:
Pertama, Kebodohan sendiri pada dasarnya
adalah sebuah udzur syar'i. Kebodohan menjadi udzur dalam perkara akidah dan
perkara-perkara lainnya meski bukan berlaku secara mutlak tanpa syarat-syarat
dan batasan-batasan yang jelas, seperti telah diuraikan pada pembahasan "Kebodohan
sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1" dan "Kebodohan
sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2".
Di antara
yang menegaskan pernyataan ini adalah fakta bahwa para ulama Islam telah
bersepakat menjadikan kebodohan sebagai udzur pada rincian-rincian perkara yang
membatalkan tauhid uluhiyah, dalam beberapa perkara seperti:
-
Orang yang belum lama masuk Islam, atau
-
Orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah
Islam, dan sarana-sarana ilmu syar'i
Hal ini
bukanlah pengecualian dalam realita, melainkan adalah sebuah penerapan dari
kaedah syariat Islam yang menyatakan tidak adanya hukuman atas orang yang belum
mengetahui pengharaman sebuah perkara sampai ilmu (tentang pengharamannya)
menjadi perkara yang mudah ia dapatkan.
Orang-orang
yang mengalami realita hidup seperti contoh tersebut (orang yang belum lama
masuk Islam atau orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang
jauh dari ulama, dakwah Islam, dan sarana-sarana ilmu syar'i) termasuk
kategori orang yang ilmu syar'i bukan menjadi perkara yang mudah mereka
dapatkan dan mereka tidak termasuk kategori orang-orang yang mengetahui
hukum-hukum syariat. (Lihat At-Tasyri' Al-Jina'i Al-Islami, 1/431 karya
syaikh Abdul Qadir Audah)
Namun
juga wajib diperhatikan bahwa orang yang belum lama masuk Islam atau orang yang
hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah Islam, dan
sarana-sarana ilmu syar'i bukanlah mendapat udzur dengan sendirinya. Melainkan
mereka mendapat udzur karena ilmu syar'i tidak mudah mereka dapatkan.
Maka
kapan saja ilmu syar'i mudah mereka dan mereka memiliki kemampuan untuk
mempelajarinya, lalu mereka teledor atau tidak sungguh-sungguh dalam
mempelajarinya , maka mereka tidak mendapatkan udzur atas kebodohannya.
Kedua, jika orang yang bodoh memiliki
kemampuan mencari ilmu syar'i dan ia memiliki sarana-sarana untuk mempelajari
dan memahami ilmu syar'i, lalu ia berpaling dari mencari dan mempelajari ilmu
syar'i, maka ia tidak mendapatkan udzur, bukan karena ia memiliki kebodohan,
melainkan karena ia teledor dan tidak bersungguh-sungguh menunaikan kewajiban
menuntut ilmu syar'i.
Termasuk
dalam kategori ini adalah orang yang telah sampai kepadanya hujjah dari
Al-Qur'an atau as-sunnah dengan cara yang bisa ia pahami sekiranya ia ingin
mempelajari dan memahaminya, kemudian ia tidak mau menaruh perhatian kepadanya,
tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya. Orang seperti ini tidak
memiliki udzur atas kebodohan atau ketidak pahamannya, karena ia adalah orang
yang teledor dan berpaling. (Lihat Thariqul Hijratain, hlm. 609-610 karya
imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Majmu' Fatawa, 12/180 karya syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah)
Ketiga, jika orang yang bodoh telah
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu, namun di hadapannya
tidak ada sarana-sarananya dan ia juga tidak memiliki kemampuan untuk
mengadakan sarana-sarananya, maka ia mendapatkan udzur atas kebodohannya. (Majmu'
Fatawa, 12/180)
Keempat, pengetahuan dan pemahaman tentang
makna dua kalimat syahadat secara global (al-'ilmu al-ijmali; memahami
bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi, tidak boleh
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, Muhammad bin Abdullah shallallahu 'alaihi
wa salam adalah penutup seluruh nabi dan rasul, Islam adalah satu-satunya agama
yang benar) merupakan ilmu yang wajib diketahui oleh setiap orang agar
keislamannya sah.
Kebodohan
terhadap makna secara global dua kalimat syahadat ini tidak menjadi udzur, baik
karena:
-
Ilmu tentang hal itu merupakan perkara dharuriyah (perkara yang pasti
dan sudah sangat jelas, diketahui oleh semua orang baik ulama Islam maupun
orang awam umat Islam) sehingga tidak bisa dibayangkan ada orang yang tidak
mengetahuinya
-
Atau perkara tersebut zhahirah (sangat jelas), bisa dipahami dengan
sedikit berfikir sekalipun tanpa harus mengkaji ilmu syar'i secara mendalam,
sehingga tidak bisa dibayangkan ada orang yang tidak mengetahuinya kecuali
karena faktor keteledoran dan kemalasan mencari ilmu
-
Atau karena mengetahuinya merupakan syarat sah keislaman, dimana orang yang
tidak mengetahuinya adalah orang kafir asli.
Kelima, barangsiapa yang hidup dalam
lingkungan Islami yang bersih (dari kesyirikan, bid'ah dan kemungkaran) lalu ia
tidak mengetahui hukum-hukum Islam yang termasuk perkara ma'lum min ad-dien
bi-dharurah (perkara yang jelas-jelas termasuk bagian dari dien Islam,
perkara-perkara yang diketahui oleh semua muslim baik ulama maupun orang awam)
maka kebodohannya tidak menjadi udzur, karena dakwah Islam telah sampai kepadanya
dan hujjah telah tegak atas dirinya. (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah,
7/113 karya syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)
Keenam, orang yang telah memiliki
pemahaman secara global (al-ilmu al-ijmali) dan pengamalan secara global
(al-'amal al-ijmali) terhadap makna dua kalimat syahadat maka ketidak
tahuannya terhadap rincian makna dua kalimat syahadat tidaklah
membatalkan pengetahuan global dan pengamalan globalnya tersebut. Seperti
telah diuraikan dala pembahasan "Kebodohan sebagai udzur dalam
pengkafiran bagian 2". (Fatawa wa Rasail Syaikh Abdur Razzaq Al-Afifi,
1/172)
***
Jika
keenam perkara yang telah disepakati oleh para ulama di atas telah jelas dan
bisa dipahami, maka perlu diketahui bahwa rincian-rincian perkara yang
membatalkan tauhidul ibadah menjadi lahan perbedaan pendapat para ulama tentang
berlaku atau tidak berlakunya udzur kebodohan pada perkara-perkara rincian
tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di depan, hal itu bukan karena mereka
berselisih pendapat tentang kebodohan sebagai sebuah udzur syar'i. Melainkan
karena mereka berselisih bahwa jika seorang muslim memiliki kesungguhan untuk
menuntut ilmu syar'i, apakah masih mungkin ia tidak mengetahui rincian-rincian
perkara tersebut?
Sebagian
ulama berpendapat ketidak tahuan terhadap rincian-rincian perkara tersebut
masih mungkin terjadi pada diri seorang muslim yang memiliki kesungguhan dalam
menuntut ilmu syar'i, sehingga mereka memasukkan rincian-rincian perkara
tersebut ke dalam kategori perkara-perkara khafiyah yang berlaku padanya
udzur kebodohan.
Sebagian
ulama lainnya berpendapat ketidak tahuan terhadap rincian-rincian perkara
tersebut tidak mungkin bisa dibayangkan terjadi pada diri seorang muslim yang
memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu syar'i, sehingga mereka memasukkan rincian-rincian
perkara tersebut ke dalam kategori perkara-perkara zhahirah yang tidak
berlaku padanya udzur kebodohan.
Dalam hal
yang mereka perselisihkan ini, terdapat satu syarat yang mereka sepakati
bersama yaitu masalah at-tamakkun minal 'ilmi (memiliki kemampuan meraih
ilmu). Maksud dari at-tamakkun minal 'ilmi adalah ilmu syar'i mudah
didapatkan dan ia bisa mendapatkan ilmu syar'i tersebut setelah memiliki usaha
sungguh-sungguh untuk mencarinya. Di atas syarat inilah para ulama menilai
apakah seorang muslim termasuk teledor dari menuntut ilmu syar'i ataukah tidak
teledor dari menuntut ilmu syar'i?
Untuk itu
para ulama mengaitkan pendapat mereka dalam masalah ini dengan syarat ini.
Mereka berusaha menentukan batasan dan aturan yang jelas dari syarat ini dengan
cara menyebutkan contoh-contoh dan keadaan-keadaan di mana seorang muslim
memiliki kemampuan untuk mempelajari dan mendapatkan ilmu syar'i, juga
contoh-contoh dan keadaan-keadaan di mana seorang muslim tidak memiliki
kemampuan untuk mempelajari dan mendapatkan ilmu syar'i.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Di antara jawaban mereka adalah sesungguhnya hujah Allah dengan
rasul-rasul-Nya telah tegak dengan adanya kemampuan mendapatkan ilmu. Maka
bukan menjadi syarat tegaknya hujah Allah adalah orang-orang yang didakwahi
mengetahui hujah tersebut. Oleh Karena itu berpalingnya orang-orang kafir dari
mendengarkan dan mentadaburi Al-Qur'an tidak menjadi penghalang tegaknya hujah
Allah atas diri mereka. Demikian juga berpalingnya orang-orang kafir dari mendengarkan
riwayat yang diceritakan dari para nabi dan (berpalingnya orang-orang kafir
dari) membaca hadits-hadits yang di riwayatkan dari para nabi, tidak
menghalangi tegaknya hujah, karena adanya kemampuan untuk mendapatkan
ilmu." (Ar-Raddu 'alal Manthiqiyyin, hlm. 99 karya syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah)
Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah berkata:
"Sesungguhnya hujah Allah telah tegak atas diri seorang hamba dengan
diutusnya rasul dan diturunkannya kitab suci, sampainya hal itu kepadanya, dan
adanya kemampuan dirinya untuk mengetahuinya; baik ia mengetahui maupun ia
tidak mengetahui. Maka setiap hamba yang memiliki kemampuan untuk mengetahui
apa-apa yang Allah perintahkan dan apa-apa yang Allah larang, lalu ia
meremehkan (tidak serius mencarinya) dan tidak mengetahuinya, berarti hujah
Allah telah tegak atas dirinya."(Madarijus Salikin, 1/217 karya imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).
Dari
penjelasan para ulama bisa dipahami bahwa:
1. Dhabith
(standar penilaian) kemampuan untuk mendapatkan ilmu adalah setiap orang yang
memiliki kemampuan untuk meraih ilmu dengan cara bertanya kepada ulama atau
dengan cara menelaah buku-buku ilmu syar'i, maka ia dianggap telah memiliki
kemampuan untuk mendapatkan ilmu. (Lihat Majmu' Fatawa, 12/478-479 dan
20/59, At-Tasyri' Al-Jinai Al-Islami, 1/430 dan Syarh Muhammad Khalil Harras
'Ala Al-Qasidah An-Nuniyah li-Ibni Qayyim Al-Jauziyah, 2/263-264)
2.
Sebagian ulama mempersyaratkan orang yang bertanya kepada ulama atau orang yang
menelaah buku-buku ilmu syar'i tersebut dapat memahami ilmu (hujjah) atas hal
yang ia tanyakan atau ia telaah.
3. Dari
adanya persyaratan dapat memahami ilmu (memahami hujjah) ini, para ulama
berbeda pendapat tentang klasifikasi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
mendapatkan ilmu.
a.
Kelompok ulama yang mempersyaratkan dapat memahami ilmu (memahami hujah)
mengklasifikasikan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu
menjadi dua golongan:
- Orang
yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu.
- Orang
yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan cara bertanya kepada
ulama, namun ia tidak bisa memahami ilmu yang disampaikan oleh ulama tersebut.
b.
Kelompok ulama yang tidak mempersyaratkan dapat memahami ilmu (memahami hujah)
mengklasifikasikan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu
menjadi satu golongan saja, yaitu orang yang tidak mampu untuk meraih ilmu.
Seperti orang yang hidup di puncak pegunungan atau hidup di daerah pedalaman
yang jauh dari ulama, atau orang yang belum lama masuk Islam.
Kelompok
ulama ini mengkategorikan orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu
dengan cara bertanya kepada ulama, namun ia tidak bisa memahami ilmu yang
disampaikan oleh ulama tersebut, ke dalam kategori orang yang memiliki
kemampuan untuk mendapatkan ilmu. Alasannya, sekedar sampainya ilmu kepadanya
telah menyebabkan tegaknya hujah atas dirinya. (Masalatul Udzri bil-Jahli fi
Masailil Aqidah, hlm. 41-42)
4. Para
ulama mencontohkan orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu adalah
orang yang hidup di tengah kaum muslimin dan banyak ulama dan juru dakwah di
tengah mereka, atau di hadapannya ada banyak buku ilmu syar'i karya para ulama
dan ia bisa menelaahnya. (At-Tasyri' Al-Jinai Al-Islami, 1/430 dan Fatawa
Syaikh Bin Bazz, 2/528-529).
5. Pada
contoh kasus no. 4 di atas, kelompok ulama yang berpendapat tidak bisa
dibayangkan adanya unsur kebodohan dalam perkara-perkara rincian makna dua
kalimat syahadat dan tidak dipersyaratkan adanya kemampuan memahami ilmu
(memahami hujah) pada persyaratan adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu;
mereka berpendapat bahwa orang yang tidak tahu tersebut tidak mendapatkan udzur
atas ketidak tahuannya, karena ketidak tahuan tersebut pasti terjadi dengan
adanya unsur keteledoran dan tiadanya kesungguhan untuk bertanya kepada ulama.
Sekiranya ia mau bertanya kepada ulama dan ulama tersebut menyampaikan jawaban
kepadanya, niscaya ilmu telah sampai kepadanya dan hujjah telah tegak atas
dirinya. Jika ulama tersebut telah membacakan ayat-ayat yang melarang syirik (dengan
terjemahan bahasa sehari-hari yang ia pakai), maka hujjah telah tegak
atas dirinya, baik ia bisa memahami kandungan makna ayat-ayat tersebut maupun
ia tidak bisa memahami kandungan maknanya.
6. Pada
contoh kasus no. 4 di atas, kelompok ulama yang berpendapat bisa terjadi
kebodohan dalam perkara-perkara rincian makna dua kalimat syahadat dan
dipersyaratkan adanya kemampuan memahami ilmu (memahami hujah) pada persyaratan
adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu; mereka berpendapat bahwa orang yang tidak
mengetahui tersebut bisa mendapat udzur jika ia telah bersungguh-sungguh
mencari ilmu atau bertanya kepada ulama, dan ia menghadapi banyak syubhat yang
membuatnya tidak mampu mendapatkan ilmu.
Status
seseorang yang hidup di tengah kaum muslimin tidak semata menjadikan
persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar'i telah terealisasi
pada dirinya. Status seseorang yang hidup di tengah kaum muslimin dianggap
merealisasikan persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar'i
apabila; (1) perkara yang tidak diketahuinya tersebut adalah perkara yang
ilmunya sudah menyebar luas secara merata di tengah kaum muslimin, sehingga
keseluruhan atau mayoritas kaum muslimin telah mengetahuinya baik dari kalangan
ulama maupun kalangan awam. (Lihat Ar-Risalah, hlm. 357, karya imam
Asy-Syafi'i)
Atau (2)
ulama dan juru dakwah yang mengajarkan perkara tersebut di tengah masyarakat
berjumlah banyak dan memadai.
Adapun
jika mayoritas kaum muslimin di lingkungan kehidupannya hidup dalam kebodohan
terhadap ilmu syar'i, ajaran-ajaran kenabian sudah sangat pudar di tengah
mereka, dan tidak terdapat ulama atau juru dakwah dalam jumlah yang memadai
yang mengajarkan perkara tersebut, maka persyaratan memiliki kemampuan untuk
mendapatkan ilmu syar'i dianggap belum terpenuhi. Sehingga udzur kebodohan
berlaku untuk dirinya. (Lihat Majmu' Fatawa, 11/407 dan 35/165-166)
7. Di
antara keadaan-keadaan yang persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan
ilmu syar'i dianggap belum terpenuhi adalah:
- Orang
yang belum lama masuk Islam dan belum memiliki kemampuan untuk mengetahui
rincian detail ajaran Islam
- Orang
yang hidup di puncak gunung atau daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan
sarana ilmu syar'i
- Orang
yang masuk Islam di negara kafir (darul kufri), sebab negara kafir merupakan
tempat di mana rincian hukum-hukum Islam tidak diketahui secara luas oleh
mayoritas penduduknya. Pembahasan no. 7 ini telah diuraikan dalam kajian Kebodohan
Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran bagian 2. (Lihat Majmu' Fatawa, 3/231,
11/407 dan Fatawa Syaikh Bin Bazz, 2/529)
8. Para
ulama juga menyebutkan salah satu bentuk pengecualian dari seseorang yang hidup
di daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan sarana ilmu syar'i atau daerah
kafir yang jauh dari negeri Islam.
Pengecualian
tersebut adalah jika seseorang hidup di negeri kafir yang jauh dari negeri
Islam, lalu ia melakukan salah satu bentuk kesyirikan, kemudian timbul
keragu-raguan pada dirinya tentang kebenaran apa (agama, keyakinan) yang selama
ini ia lakukan tersebut, maka ia wajib berhijrah (meninggalkan negerinya dan
mendatangi negeri Islam) untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut dari
dirinya. Jika ia tidak meninggalkan negerinya dan mendatangi negeri Islam, maka
ia berdosa karena melakukan keteledoran dan tidak sungguh-sungguh mencari ilmu
syar'i. Ia berdosa karena keteledoran tersebut, sebab pada dirinya ada faktor
yang menuntut dirinya untuk mencari ilmu syar'i, yaitu keragu-raguan atas
kebenaran apa yang selama ini ia lakukan. Dalam kasus ini, kebodohan tidak
menjadi udzur bagi dirinya karena ia termasuk golongan yang difirmankan oleh
Allah Ta'ala:
إِنَّ
الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ
كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ
أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di
negeri." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa' [4]: 97)
(Al-Udzru bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 43)
***
Dari
uraian di atas menjadi jelas bahwa kebodohan yang diperselisihkan oleh para
ulama apakah menjadi udzur dalam pengkafiran atau tidak menjadi udzur, adalah
satu bentuk perkara saja yaitu perkara seorang muslim yang hidup di sebuah
negeri kaum muslimin yang negeri tersebut didominasi oleh kesyirikan, bid'ah
dan kebatilan, sedangkan kebodohan terhadap ajaran-ajaran Islam yang benar
menyebar luas di kalangan mayoritas umat Islam di negeri tersebut. Muslim ini
memiliki pengetahuan global (al-ilmu al-ijmali) dan pengamalan global (al-'amal
al-ijmali) terhadap makna dua kalimat syahadat, namun ia melakukan sebuah
perbuatan syirik karena faktor ketidak tahuan terhadap sebagian rincian
pembatal-pembatal tauhid:
1.
Sementara di tengah kaum muslimin lingkungan kehidupannya tidak terdapat
seorang ulama atau juru dakwah yang memperingatkan akan kesyirikan perbuatan
yang ia lakukan tersebut.
2. Atau
di tengah mereka ada ulama atau juru dakwah yang memperingatkan kesyirikan
tersebut, namun muslim ini belum mendengarkan peringatan tersebut atau
peringatan tersebut terbatas pada segelintir umat Islam sehingga tidak sampai
kepada dirinya dan mayoritas kaum muslimin lainnya.
3. Atau
tengah mereka ada ulama atau juru dakwah yang memperingatkan kesyirikan
tersebut, dan muslim ini telah mendengarkan peringatan tersebut, namun ia juga
mendapatkan pengajaran dari mayoritas ulama atau juru dakwah yang membolehkan
perbuatan yang ia lakukan tersebut bahkan mengajarkan bahwa perbuatan yang ia
lakukan tersebut adalah ibadah yang diperintahkan syariat. Muslim ini telah
mendengar peringatan ulama atau juru dakwah, namun syubhat-syubhat yang ia
terima dari mayoritas ulama dan juru dakwah lainnya begitu kuat sehingga ia
tidak bisa membedakan pendapat mana yang benar dan pendapat mana yang salah.
Adapun
orang yang belum lama masuk Islam dan belum mengetahui rincian ajaran Islam,
atau orang yang hidup di daerah pedalaman yang jauh dari negeri Islam dan tidak
mengalami keraguan apapun akan kebenaran apa yang ia lakukan, atau orang yang
masuk Islam di negeri kafir, maka semua ulama sepakat menyatakan kebodohan
menjadi udzur baginya. Ia dianggap memiliki udzur karena syarat taklif
(pembebanan dengan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan syariat Islam)
belum terpenuhi pada dirinya, yaitu ia tidak memiliki kemampuan untuk
mendapatkan ilmu atau ia tidak memiliki faktor yang menuntut dirinya untuk
mencari ilmu.
(Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7/113 dan Syarhu Kasyfi Syubuhat, hlm. 38 karya syaikh
Muhammad Shalih Al-Utsaimin)
Jika
penjelasan masalah ini telah bisa dipahami, maka perlu diketahui bahwa perkara
kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah sah atau tidak sah
menjadi udzur dalam pengkafiran adalah kasus seorang muslim yang hidup di
tengah kaum muslimin, di mana lingkungan kaum muslimin tersebut didominasi oleh
syirik, bid'ah, khurafat dan kebodohan. Lalu muslim ini melakukan sebuah
kesyirikan karena ketidak tahuan atas rincian perkara-perkara yang membatalkan
tauhid. Sementara muslim ini memiliki pengetahuan global dan pengamalan global
terhadap pokok makna dua kalimat syahadat.
Para
ulama berbeda pendapat apakah udzur kebodohan berlaku atas muslim seperti ini?
Perbedaan pendapat ini telah disebutkan oleh syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Bazz seperti dikutip oleh murid beliau, syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr
dalam bukunya Syarh Syuruth Ash-Shalah wa Arkaniha wa Wajibatiha, syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhu Kasyfi Asy-Syubuhat, syaikh
Muhammad bin Abdullah Mukhtar dalam Al-Udzru bil Jahli di Masailil Aqidah
Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, dan lain-lain.
1.
Kelompok ulama yang tidak menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus
tersebut. Argumentasi mereka adalah dalil-dalil tentang keharaman syirik sangat
jelas dalam Al-Qur'an dan as-sunnah, sehingga orang yang tidak mengetahuinya
hanya memiliki dua kemungkinan:
- Ia
adalah orang yang teledor dan tidak memiliki kesungguhan untuk mencari ilmu
syar'i.
- Ia
adalah orang yang berpura-pura tidak tahu, dan melakukan kesyirikan tersebut
secara sengaja dari lubuk hatinya dengan niat untuk kafir.
Pendapat
ini dipegangi oleh sejumlah ulama generasi terdahulu (mutaqaddimin) seperti
imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dan sejumlah ulama belakangan
(mutaakhirin), seperti imam Al-Qarrafi Al-Maliki dan mayoritas ulama dakwah
Nejed. Sebagian ulama belakangan seperti syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan
bin Muhammad bin Abdul Wahhab dan syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthain
bahkan mengklaim tercapainya ijma' atas tidak berlakunya udzur kebodohan dalam
kasus ini.
2.
Kelompok ulama yang menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus tersebut.
Argumentasi
mereka adalah dalil-dalil keharaman syirik terkadang menjadi samar dan tidak
diketahui oleh sebagian mukallaf sekalipun mereka sudah bersungguh-sungguh
mencari ilmu syar'i. Hal itu disebabkan oleh dominasi kebodohan dan banyak atau
kuatnya syubhat-syubhat yang menghalangi sebagian mukallaf dari memahami dalil-dalil
syar'i tersebut menurut pemahaman yang benar.
Pendapat
ini dipegangi oleh sebagian ulama terdahulu seperti imam Ibnu Al-Arabi
Al-Maliki dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri, dan sejumlah ulama belakangan seperti
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ash-Shan'ani,
Asy-Syaukani, Al-Alusi dan Muhammad Basyir As-Sahsawani. Di kalangan ulama
kontemporer, pendapat ini antara lain diikuti oleh imam Al-Mu'allimi Al-Yamani,
syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr,
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain.
Adapun
ijma' yang diklaim oleh sebagian ulama kelompok pertama di atas adalah tidak
seluruhnya benar. Klaim ijma' tersebut benar apabila dibawa kepada kasus tidak
mengetahui Allah, kasus seperti itu telah menjadi kesepakatan ulama (seperti
telah dibahas para pembahasan Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran
bagian 1).
Atau
klaim ijma' itu benar apabila dibawa pada kasus zaman tertentu, yaitu abad-abad
awal Islam di mana perkara-perkara tersebut sangat jelas diketahui oleh semua
umat Islam baik ulama maupun awam, dan tidak ada kerancuan-kerancuan
(syubhat-syubhat) yang merasuki kemurnian dan kejelasan ajaran-ajaran Islam.
Adapun
pada kasus yang kita bicarakan menjadi ajang perbedaan pendapat di atas yaitu
muslim yang mengetahui dan mengamalkan makna dua kalimat syahadat secara global
namun tidak mengetahui sebagian rincian perkara yang membatalkan tauhid, karena
tidak ada ulama yang memberi pengajaran, atau tidak ada sarana mencari ilmu
syar'i, atau ada ulama yang memberi pengajaran kepadanya namun ia menghadapi
banyak syubhat dari ulama lain sehingga ia tidak bisa membedakan antara
pendapat yang benar dan pendapat yang salah: maka terjadinya perbedaan pendapat
di kalangan ulama sejak zaman imam Ath-Thabari (abad 4 H), Ibnu Al-Arabi
Al-Maliki dan Ibnu Hazm Al-Andaluzi (abad 5 H) merupakan bukti belum
tercapainya ijma' pada kasus yang tengah kita bicarakan ini. Seandainya telah
benar-benar terjadi ijma' yang diklaim tersebut, tentulah tidak boleh ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam sejak dahulu (abad 4 H) sampai
sekarang (abad 15 H). (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah
Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 45-47).
Inilah
uraian secara global para ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Adapun
dalil-dalil masing-masing kelompok dan pernyataan-pernyataan mereka, insya
Allah akan dibahas dalam artikel-artikel berikutnya. Wallahu a'lam
bish-shawab.
Bersambung,
insya Allah…
Serial Kajian Takfir
Mu'ayyan # 9: Dalil-dalil Syar'i Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran
(bagian 4)
Muhib
Al-Majdi
Kamis, 15
November 2012 05:35:21
(Arrahmah.com) – Dalam artikel "Dalil-dali Syar'i Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran
bagian 3", kita telah menguraikan dalil pertama dari hadits shahih
yang menjadi landasan pendapat kelompok ulama yang memberlakukan udzur
kebodohan dalam perkara-perkara (kufur akbar, syirik akbar dan tauhid) yang
diperselisihkan. Pada artikel "Dalil-dali Syar'i Kebodohan Sebagai
Udzur Dalam Pengkafiran bagian 4" ini, kita akan menguraikan lebih
lanjut dalil-dalil syar'i dari hadits shahih yang menjadi landasan pendapat
mereka.
***
[2] Dalil-dalil dari As-sunnah
Hadits
kedua:
قَالَتْ
عَائِشَةُ: لَمَّا كَانَتْ لَيْلَتِي الَّتِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِيهَا عِنْدِي، انْقَلَبَ فَوَضَعَ رِدَاءَهُ، وَخَلَعَ نَعْلَيْهِ،
فَوَضَعَهُمَا عِنْدَ رِجْلَيْهِ، وَبَسَطَ طَرَفَ إِزَارِهِ عَلَى فِرَاشِهِ،
فَاضْطَجَعَ فَلَمْ يَلْبَثْ إِلَّا رَيْثَمَا ظَنَّ أَنِّي قَدْ رَقَدْتُ
فَأَخَذَ رِدَاءَهُ رُوَيْدًا، وَانْتَعَلَ رُوَيْدًا، وَفَتَحَ الْبَابَ
فَخَرَجَ، ثُمَّ أَجَافَهُ رُوَيْدًا فَجَعَلْتُ دِرْعِي فِي رَأْسِي،
وَاخْتَمَرْتُ وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِي، ثُمَّ انْطَلَقْتُ عَلَى أَثَرِهِ، حَتَّى
جَاءَ الْبَقِيعَ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ ثُمَّ انْحَرَفَ، فَأَسْرَعَ فَأَسْرَعْتُ، فَهَرْوَلَ فَهَرْوَلْتُ،
فَأَحْضَرَ فَأَحْضَرْتُ، فَسَبَقْتُهُ، فَدَخَلْتُ فَلَيْسَ إِلَّا أَنْ
اضْطَجَعْتُ فَدَخَلَ، فَقَالَ: مَا لَكِ يَا عَائِشُ؟ حَشْيَاءَ رَابِيَةٍ،
قَالَتْ قُلْتُ: لَا شَيْءَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لَتُخْبِرِنِّي أَوْ
لَيُخْبِرَنِّي اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ، قَالَتْ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِي
أَنْتَ وَأُمِّي فَأَخْبَرَتْهُ، قَالَ: فَأَنْتِ السَّوَادُ الَّذِي رَأَيْتُ
أَمَامِي، قُلْتُ: نَعَمْ. فَلَهَزَنِي فِي ظَهْرِي لَهْزَةً،
أَوْجَعَتْنِي،وَقَالَ: أَظَنَنْتِ أَنْ يَحِيفَ عَلَيْكِ اللهُ وَرَسُولُهُ،
قَالَتْ: مَهْمَا يَكْتُمِ النَّاسُ يَعْلَمْهُ اللهُ، قَالَ: نَعَمْ، فَإِنَّ
جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حِينَ رَأَيْتِ، فَنَادَانِي فَأَخْفَاهُ مِنْكِ،
فَأَجَبْتُهُ فَأَخْفَيْتُهُ مِنْكِ، وَلَمْ يَكُنْ لِيَدْخُلَ عَلَيْكِ، وَقَدْ
وَضَعْتِ ثِيَابَكِ، وَظَنَنْتُ أَنَّكِ قَدْ رَقَدْتِ، فَكَرِهْتُ أَنْ
أُوقِظَكِ، وَخَشِيتُ أَنْ تَسْتَوْحِشِي، فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ جَلَّ وَعَزَّ
يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ، فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ، قَالَتْ
فَكَيْفَ أَقُولُ: يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: قُولِي " السَّلَامُ عَلَى، أَهْلِ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ
الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا، وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ
لَلَاحِقُونَ "
Dari
'Aisyah berkata: "Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa salam berada di
rumah pada malam giliranku, maka beliau membalikan badannya, kemudian meletakan
selendangnya dan melepas kedua sandalnya dan meletakannya di samping kakinya,
beliau membentangkan ujung-ujung kain sarungnya di atas tempat tidurnya
kemudian berbaring. Belum lama beliau berbaring dan beliau menyangka aku sudah
tertidur, maka beliau mengambil selendangnya pelan-pelan, kemudian memakai
sendalnya pelan-pelan, kemudian membuka pintu dan keluar kemudian menutupnya
kembali pelan-pelan.
Maka aku
memakai pakaian panjangku dari atas kepalaku, aku kenakan kain penutup kepalaku
dan aku menyelimuti badanku dengan sarungku, kemudian aku mengikuti jejak
beliau, sampai beliau tiba di kuburan Baqi'. Kemudian beliau melakukan shalat
dan memanjangkan shalatnya. Beliau lalu mengangkat kedua tangannya (berdoa)
sebanyak tiga kali, lalu beliau kemudian beliau pergi dan bergegas, maka akupun
bergegas. Beliau berlari kecil, maka aku pun berlari kecil. Kemudian beliau
berlari kencang, maka aku pun berlari kencang dan aku bisa mendahului beliau.
Kemudian aku masuk ke dalam rumah.
Belum
lama aku berbaring, beliau telah masuk ke dalam rumah dan bertanya, "Ada
apa denganmu tadi wahai 'Aisyah, engkau seperti orang yang berprasangka tidak
baik?" Saya menjawab, "Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah."
Beliau berkata, "Kamu beritahu kepadaku atau Allah Yang Maha Halus dan
Maha Mengetahui Yang akan memberitahuku." Maka saya pun menjawab,
"Baiklah, saya akan beritahukan kepada Anda, ayah dan ibuku sebagai
tebusannya."
Lalu
Rasulullah bertanya, "Apakah kamu yang berpakaian hitam di depanku
tadi?" Aku menjawab, "Ya." Maka beliau menepuk dadaku satu
tepukan yang membuatku merasa sakit, dan beliau berkata, "Apakah engkau
mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan berlaku tidak adil kepadamu?"
Maka saya bertanya, "Meskipun manusia menyembunyikan (sesuatu dalam
hatinya), apakah Allah tetap mengetahuinya?"
Beliau
menjawab: "Ya, karena sesungguhnya Jibril alaihi salam datang kepadaku
ketika engkau melihat, kemudian Jibril memanggilku dan meminta supaya aku tidak
memberitahukan kepadamu, dan aku penuhi permintaannya maka aku tidak
memberitahukannya kepadamu, karena Jibril alaihis salam tidak akan masuk ke
dalam rumah karena engkau telah melepas pakaianmu. Aku mengira kalau engkau
telah tertidur dan aku tidak senang membangunkanmu, karena khawatir membuatmu
tidak nyaman. Kemudian Jibril berkata kepadaku: "Sesungguhnya Rabbmu
menyuruhmu untuk mendatangi penduduk (orang-orang Islam yang telah dimakamkan
di pemakaman) Baqi' guna memintakan ampun bagi mereka."
Aku
bertanya, "Apa yang harus aku baca untuk mendoakan mereka, wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Katakan:
(السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا
وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ)
"Semoga
keselamatan senantiasa dilimpahkan kepada kalian, penduduk kuburan ini dari
kalangan kaum mukminin dan muslimin, semoga Allah merahmati orang-orang
terdahulu dan orang-orang belakangan dari golongan kami, dan sesungguhnya kami
benar-benar akan menyusul kalian." (HR. Muslim no. 974, An-Nasai
no. 3963 dan Ahmad no. 25855)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Inilah 'Aisyah ummul mukminin bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
salam apakah Allah mengetahui apa yang disembunyikan manusia? Maka jawab Nabi:
"Ya." Ini menunjukan bahwa (sebelumnya) 'Aisyah belum mengetahui hal
tersebut, dan saat Aisyah belum mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu yang disembunyikan manusia maka status Aisyah bukanlah orang kafir.
Meskipun mengakui hal tersebut (bahwa Allah Maha Mengetahui segala hal yang
disembunyikan oleh manusia) setelah penegakan hujjah adalah termasuk ashlul
iman (pokok keimanan) dan mengingkari ilmu Allah terhadap segala
sesuatu sama halnya seperti mengingkari qudrah Allah terhadap segala
sesuatu. Demikianlah, meskipun Aisyah termasuk orang yang pantas mendapat
celaan dari dosa, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa salam memukul
dadanya dan berkata: "Apakah engkau khawatir jika Allah dan rasul-Nya
tidak berlaku adil?"
Pokok (keimanan)
ini telah dibahas panjang lebar bukan di tempat ini saja. Maka telah jelas
bahwa ucapan (semacam perkataan Aisyah) ini adalah kekafiran, akan tetapi
mengkafirkan orang yang mengucapkannya tidak boleh serta merta dilakukan sampai
datang kepadanya ilmu sehingga dengannya tegak hujjah dimana orang yang
meninggalkan hujah tersebut bisa menjadi orang kafir."(Majmu'ul Fatawa
11/412-413)
Hadits
ketiga:
عَنْ
عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا
جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ مُصَدِّقًا فَلَاجَّهُ رَجُلٌ فِي صَدَقَتِهِ
، فَضَرَبَهُ أَبُو جَهْمٍ ، فَشَجَّهُ ، فَأَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالُوا : الْقَوَدَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لَكُمْ كَذَا
وَكَذَا " فَلَمْ يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا "
فَلَمْ يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَرَضُوا ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنِّي خَاطِبٌ
الْعَشِيَّةَ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ " فَقَالُوا :
نَعَمْ ، فَخَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
" إِنَّ هَؤُلَاءِ اللَّيْثِيِّينَ أَتَوْنِي يُرِيدُونَ الْقَوَدَ ،
فَعَرَضْتُ عَلَيْهِمْ كَذَا وَكَذَا فَرَضُوا ، أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا :
لَا ، فَهَمَّ الْمُهَاجِرُونَ بِهِمْ ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُفُّوا عَنْهُمْ ، فَكَفُّوا ، ثُمَّ
دَعَاهُمْ فَزَادَهُمْ ، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " فَقَالُوا : نَعَمْ
، قَالَ : " إِنِّي خَاطِبٌ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ
" قَالُوا : نَعَمْ ، فَخَطَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا : نَعَمْ
Dari
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam
mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah sebagai pegawai pengumpul zakat. Seorang
laki-laki mendebatnya dalam pengambilan zakat, maka Abu Jahm memukulnya
sehingga kepalanya terluka. Kaum orang tersebut datang kepada nabi SAW dan
berkata: "Wahai Rasulullah, kami meminta hukuman yang setimpal!" Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Bagi kalian tebusan sekian dan
sekian." Namun mereka tidak rela dengan tawaran tebusan.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Bagi kalian tebusan sekian dan
sekian (jumlah yang lebih besar dari tawaran pertama, pent)." Namun mereka
tidak rela dengan tawaran tebusan.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Bagi kalian tebusan sekian dan
sekian (jumlah yang lebih besar dari tawaran kedua, pent)." Barulah mereka
rela dengan tawaran tebusan tersebut.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Aku akan menyampaikan khutbah pada
sore ini kepada masyarakat dan aku akan memberitahukan kerelaan kalian ini
kepada mereka." Mereka menjawab, "Ya, kami rela."
Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam menyampaikan khutbah,
"Sesungguhnya orang-orang dari Bani Laits ini datang kepadaku dan meminta
pelaksanaan hukuman yang setimpal. Maka aku menawarkan kepada mereka tebusan
sejumlah sekian dan sekian, lalu aku tanyakan kepada mereka: 'Apakah kalian
rela?' Mereka menjawab: 'Tidak'.
Mendengar
hal itu, kaum muhajirin ingin menghajar orang-orang Bani Laits tersebut, namun
beliau Shallallahu 'alaihi wa salam memerintahkan mereka untuk menahan diri,
maka mereka pun menahan diri. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda,
"Aku kemudian menaikkan tawaran tebusan kepada mereka sekian dan sekian.
Aku tanyakan kepada mereka: 'Apakah kalian rela?' Mereka menjawab 'Ya'. Maka
aku katakan: "Aku akan menyampaikan khutbah kepada masyarakat dan
memberitahukan kerelaan kalian ini kepada mereka. Apakah kalian rela?"
Mereka menjawab, 'Ya'. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam menyampaikan
khutbah dan beliau bertanya kepada mereka, "Apakah kalian telah
rela?" Mereka menjawab: 'Ya'." (HR. Abu Daud no. 4534, An-Nasai
no. 4778, Ibnu Majah no. 2638, Ahmad no. 25958, Abdur Razzaq no. 18032, Ibnu
Hibban no. 4487, Al-Baihaqi no. 16022, Ibnu Abi 'Ashim, Ibnu Al-Jarud, Ishaq
bin Rahawaih, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 10/410. Sanadnya shahih menurut
syarat Bukhari dan Muslim)
Hadits
ini berkaitan dengan salah satu pokok agama Islam (ashlu dien Islam) yaitu
syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Dua
kalimat syahadat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Syahadat asyhadu
an laa ilaaha illa Allah adalah tauhid ibadah dan syahadat asyhadu
anna Muhammad rasulullah adalah tauhid risalah wal mutaba'ah.
Keislaman seorang hamba tidak akan sah dengan tauhid ibadah semata, atau
tauhid risalah wal mutaba'ah semata. Keislaman seorang hamba baru akan
sah apabila kedua tauhid tersebut dipadukan dan dilaksanakan.
Imam Ibnu
Hazm al-Andalusi
berkata: "Hadits ini menyebutkan udzur bagi orang yang bodoh, dan bahwa ia
tidak keluar dari Islam yang sekiranya hal itu dilakukan oleh seorang ulama yang
telah tegak hujah atas dirinya, niscaya ia telah kafir. Karena orang-orang Bani
Laits tersebut telah mendustakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam, dan
'sekedar' mendustakan beliau Shallallahu 'alaihi wa salam merupakan perbuatan
kekafiran tanpa ada perselisihan pendapat lagi. Namun karena mereka bodoh dan
orang-orang Badui (hidup di daerah terpencil jauh dari lingkungan ilmu, pent),
maka mereka diberi udzur karena kebodohan mereka, sehingga mereka tidak
kafir." (Al-Muhalla, 10/410-411 karya imam Ibnu Hazm Al-Andalusi)
Barangkali
perkataan imam Ibnu Hazm al-Andalusi ini perlu penjelasan lebih lanjut agar
mudah dipahami. Penjelasannya sebagai berikut, di antara konskuensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah adalah menjadikan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa salam sebagai pemberi keputusan dalam segala persoalan yang
diperselisihkan, tidak merasa berat dengan keputusan beliau, dan menerima
keputusan beliau dengan penuh lapang dada. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh
Allah Ta'ala,
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi
Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa' [4]: 65)
Sebab
turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih adalah sebagai
berikut:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ حَدَّثَهُ:
أَنَّ رَجُلًا مِنَ الأَنْصَارِ خَاصَمَ الزُّبَيْرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِرَاجِ الحَرَّةِ، الَّتِي يَسْقُونَ بِهَا
النَّخْلَ، فَقَالَ الأَنْصَارِيُّ: سَرِّحِ المَاءَ يَمُرُّ، فَأَبَى عَلَيْهِ؟
فَاخْتَصَمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ: «أَسْقِ يَا زُبَيْرُ،
ثُمَّ أَرْسِلِ المَاءَ إِلَى جَارِكَ»، فَغَضِبَ الأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ: أَنْ
كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: «اسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ احْبِسِ المَاءَ حَتَّى
يَرْجِعَ إِلَى الجَدْرِ»، فَقَالَ الزُّبَيْرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي لَأَحْسِبُ
هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ فِي ذَلِكَ: {فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} [النساء: 65] "
Dari
Abdullah bin Zubair bahwasanya seorang sahabat Anshar bersengketa dengan Zubair
bin Awwam RA di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam tentang irigasi
air dari bukit batu luar Madinah yang menjadi pengairan ladang korma. Sahabat
Anshar itu berkata: "Biarkan air mengalir begitu saja, tapi dia (Zubair)
tidak mau."
Keduanya
pun bersengketa di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam. Maka Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda kepada Zubair: "Airilah ladangmu
wahai Zubair, lalu alirkan air ke ladang tetanggamu ini!" Sahabat Anshar
itu marah dan berkata, "Wahai Rasulullah, Anda memutuskan begitu karena ia
adalah anak dari bibi Anda?"
Muka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pun berubah merah mendengar ucapan itu,
maka beliau bersabda, "Wahai Zubair, airilah ladangmu, lalu tahanlah air
sampai sebatas pembatas ladangmu!" Zubair bin Awwam berkata: "Demi
Allah, aku tidak meyakini ayat ini turun kecuali berkenaan dengan kasus
itu." (HR. Bukhari no. 2359, Muslim no. 2357, Abu Daud no. 3637,
Tirmidzi no. 1367, An-Nasai no. 5407 dan Ibnu Majah no. 4585)
Dalam
menafsirkan ayat di atas, imam Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibnu Taimiyah Al-Harrani,
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Asy-Syaukani dan lain-lain
menjelaskan bahwa Allah SWT bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Maha Suci bahwa
seseorang tidak beriman sehingga ia melakukan tiga syarat: (1) mengembalikan segala
persoalan yang diperselisihkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam,
(2) tidak merasa berat hati dengan keputusan beliau, dan (3) tunduk sepenuhnya
kepada beliau dengan menerima keputusan beliau sepenuh penerimaan.
Imam Ibnu
Hazm Al-Andalusi berkata:
"Allah
menyebut tindakan menjadikan nabi SAW sebagai hakim (pemberi keputusan) adalah
keimanan dan Allah memberitahukan bahwa tidak ada iman tanpa adanya perbuatan
tersebut (menjadikan nabi SAW sebagai pemberi keputusan, pent) dengan disertai
tidak adanya kesempitan dalam hati dengan keputusan beliau. Dengan demikian
sahlah secara yakin bahwasanya iman itu adalah amal perbuatan, keyakinan hati,
dan perkataan; karena menjadikan Rasul sebagai hakim adalah amal perbuatan, dan
hal itu tak mungkin kecuali disertai dengan ucapan dan tanpa adanya perasaan
sempit di hati yang merupakan sebuah keyakinan." (Ibnu Hazm
al-Andalusi, Ad-Durah fi Maa Yajibu I'tiqaduhu hal. 338)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Setiap
orang yang keluar dari sunah Rasulullah dan syariatnya, maka Allah telah
bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Suci bahwa orang tersebut tidak beriman sampai
ia ridha dengan keputusan Rasulullah dalam setiap hal yang menjadi persoalan di
antara mereka baik urusan dunia maupun akhirat, dan sampai tidak tersisa lagi
dalam hati mereka rasa sempit atas keputusan hukum beliau. Dalil-dalil
Al-Qur'an yang menunjukkan hal itu sangat banyak. Hal itu juga diajarkan oleh
sunnah Rasulullah SAW dan sunnah khulafaur rasyidin." (Ibnu Taimiyah,
Majmu' Fatawa, 28/431)
Imam Ibnu
Qayim Al-Jauziyah berkata:
"Allah
SWT bersumpah dengan Dzat-Nya Yang Maha Suci, dengan sebuah sumpah yang
dikuatkan oleh penafian (peniadaan) sebelum sumpah (Maka demi Rabbmu, mereka
tidak beriman …pent) atas tiadanya iman bagi makhluk sampai mereka
menjadikan Rasul sebagai hakim (pemberi keputusan) dalam segala persoalan yang
diperselisihkan di antara mereka, baik masalah pokok maupun cabang, baik
masalah hukum-hukum syar'i maupun hukum-hukum ma'ad (di akhirat).
Allah SWT
tidak menetapkan adanya iman para hamba-Nya meskipun mereka telah menjadikan
Rasulullah SAW sebagai hakim, sehingga hati mereka merasa sempit, maksudnya
hati mereka tidak merasa sesak (berat). Hati mereka harus merasa lapang
selapang-lapangnya terhadap keputusan Rasulullah SAW dan menerimanya dengan
sepenuh hati.
Meski
semua hal itu telah mereka kerjakan, namun Allah masih belum menetapkan adanya
keimanan pada diri mereka sampai mereka menerima keputusan beliau dengan ridho
dan taslim (penyerahan diri) tanpa adanya sikap menentang dan
berpaling." (Ibnu Qayim al-Jauziyah, At-Tibyan fi Aqsami Al-Qur'an,
hlm. 430)
Imam Ibnu
Katsir Ad-Dimasyqi
berkata mengenai ayat ini:
"Allah
Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya Yang Maha Mulia dan Maha Suci bahwasanya
seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh
urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara
lahir dan batin." (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, 2/210-211)
Imam
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata:
"Dalam
ancaman yang keras ini ada hal yang membuat kulit merinding dan hati bergetar
ketakutan, karena syarat pertama, sesungguhnya Allah bersumpah dengan
nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan huruf peniadaan (Maka demi Rabbmu, mereka
tidak akan beriman …). Allah meniadakan iman dari mereka ---sedangkan iman
adalah harta modal pokok para hamba Allah yang shalih--- sehingga mereka
mengerjakan 'ghayah' yaitu menjadikan rasul sebagai hakim pemberi keputusan (sehingga
mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan…pent).
(Syarat
kedua) Allah
tidak mencukupkan dengan tindakan itu saja, karena Allah lalu berfirman, (…kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu). Selain
menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, Allah masih menggabungkan syarat
lain, yaitu tidak adanya kesempitan dada, artinya keberatan dalam hati. Jadi
menjadikan nabi sebagai pemberi keputusan dan tunduk saja tidak cukup sampai
hal itu muncul dari lubuk hatinya dengan sikap hati yang ridha, tenang, sejuk,
dan senang.
(Syarat
ketiga) Allah
belum mencukupkan dengan (kedua syarat) ini saja, namun Allah menambahkan lagi
syarat yang lain, yaitu firman-Nya, "dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." Maksudnya adalah mereka tunduk kepadanya dan menaatinya
secara lahir dan batin.
Allah
belum mencukupkan dengan (ketiga syarat) itu saja, namun Allah masih
menambahkan dengan menyebut masdar sebagai penguat 'tasliman'.
Maka tidak ada iman bagi seorang hamba sampai ia mau menjadikan rasul sebagai
pemberi keputusan, lalu ia tidak merasakan kesempitan dalam hati atas keputusan
nabi, dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syariatnya sepenuh
penyerahan diri, tanpa dicampuri oleh penolakan dan penyelisihan terhadapnya."
(Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 1/610-611)
Dalam
hadits Aisyah di atas, penduduk muslim suku Al-Laits telah melakukan syarat
pertama, yaitu menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam sebagai
pemberi keputusan dalam perkara yang mereka perselisihkan. Pegawai zakat yang
beliau kirim telah melakukan pemukulan sampai melukai wajah (kepala) korban,
namun karena korban juga punya andil kesalahan dengan mendebat pegawai zakat
maka beliau Shallallahu 'alaihi wa salam memutuskan ganti rugi materi, bukan
hukuman qisash (pemukulan sampai melukai wajah/kepala).
Dua kali
penduduk muslim suku Al-Laits tersebut menolak keputusan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa salam tersebut. Berarti mereka tidak melaksanakan dua syarat dalam
QS. An-Nisa' (4): 65, sehingga mereka belum beriman. Inilah kurang lebih maksud
dari perkataan imam Ibnu Hazm Al-Andalusi bahwa mereka mendustakan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam. Namun karena unsur kebodohan, maka mereka
dimaafkan dan tidak divonis musyrik ataupun kafir. Wallahu A'lam bish-shawab
Hadits
keempat:
Dalil
lainnya antara lain hadits Hudzaifah bin Yaman RA:
عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، حَتَّى
لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلَا صَلَاةٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ،
وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ، فَلَا يَبْقَى فِي
الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ
وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ، لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُهَا " فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا
تُغْنِي عَنْهُمْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ،
وَلَا صِيَامٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ،
ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ،
ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: «يَا صِلَةُ، تُنْجِيهِمْ
مِنَ النَّارِ» ثَلَاثًا
Dari
Hudzaifah bin Yaman RA berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam
bersabda: "Islam akan pudar sebagaimana corak pakaian pudar,
sampai-sampai tidak diketahui lagi apa itu shiyam, shalat, nusuk (haji atau
penyembelihan) dan sedekah (zakat). KItab Allah benar-benar akan diangkat pada
suuatu malam, sehingga tidak tersisa satu ayat pun di muka bumi. Yang tersisa
hanyalah kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua. Mereka mengatakan: 'Kami
mendapati orang-orang tua kami mengucapkan kalimat ini, Laa Ilaaha Illa
Allah, maka kami pun ikut-ikutan mengucapkannya."
Shilah
(tabi'in perawi hadits) bertanya, "Apa manfaatnya bagi mereka ucapan Laa
Ilaaha Illa
Allah, sementara mereka tidak mengenal apa itu shalat, shiyam, haji, dan
zakat?" Mendengar ucapan itu, Hudzaifah berpaling. Shilah
mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun setiap kali ditanya, Hudzaifah selalu
memalingkan mukanya. Pada pertanyaan yang ketiga, Hudzaifah menghadapkan
wajahnya kepada Shilah dan menjawab, "Wahai Shilah, kalimat Laa Ilaaha
Illa Allah akan menyelamatkan mereka." Hudzaifah mengucapkannya
sebanyak tiga. (HR. Ibnu Majah no. 4049 dan Al-Hakim no. 8460 dan 8636.
Al-Hakim menshahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh Al-Albani
menshahihkannya dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/127 dan Shahih
Al-Jami' Ash-Shaghir, 6/339)
Hadits di
atas berkenaan dengan suasana akhir zaman menjelang datangnya kiamat, pada
waktu tersebut Al-Qur'an diangkat kembali ke langit dan masyarakat tidak
mengetahui lagi hukum-hukum yang zhahir dan mutawatir seperti shalat, zakat dan
shaum. Mereka hanya mengetahui dua kalimat syahadat yang mereka warisi secara
turun-temurun dari orang tua mereka.
Meski
demikian, para ulama Islam menjadikan hadits tersebut sebagai udzur dengan
kebodohan. Sisi kesamaan hadits tersebut dengan orang bodoh yang kebodohannya
diakui oleh syariat (al-jahl al-mu'tabar) adalah pada sebagian tempat
atau zaman, kebodohan begitu mendominasi dan cahaya ajaran kenabian melemah,
sehingga banyak hukum-hukum Islam yang zhahir dan mutawatir tidak mereka
ketahui, namun mereka masih memiliki keislaman secara global.
Shalat,
zakat dan shaum, merupakan sebagain hukum yang zhahir dan mutawatir,
mengingkarinya merupakan perbuatan kufur akbar yang menyebabkan pelakunya kafir
dan murtad. Namun hukum kafir tersebut tidak dijatuhkan begitu saja apabila di
sebuah tempat atau zaman, individu masyarakatnya didominasi oleh kebodohan yang
diakui oleh syariat (kebodohan yang disertai usaha mencari ilmu, bukan
kebodohan karena berpaling, menentang atau menyombongkan diri dari ilmu).
Maka
dalam kondisi tersebut kebodohan menjadi udzur yang menghalangi jatuhnya vonis
kafir atau murtad dari individu tersebut. Dan telah dijelaskan bahwa pendapat
yang benar, antara syirik akbar dan kufur akbar sebenarnya tidak ada perbedaan,
sebagaimana dijelaskan oleh imam Asy-Syafi'i, Ibnu Hazm Azh-Zhahiri dan para
ulama lainnya. Dengan demikian hadits tersebut juga berlaku untuk perkara
syirik akbar yang ilmunya tidak diketahui oleh seorang muslim yang sudah
berusaha mencari ilmu dan petunjuk.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Banyak
manusia yang hidup pada tempat-tempat dan zaman-zaman yang padanya telah pudar
banyak ilmu-ilmu kenabian, sehingga tidak tersisa seorang yang menyampaikan
al-Qur'an dan as-sunnah yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya. Maka manusia
tidak mengetahui banyak ajaran yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya, dan di
sana juga tidak ada seseorang yang menyampaikannya kepadanya. Maka orang
seperti ini tidak kafir.
Oleh
karenanya para ulama sepakat bahwa orang yang hidup di daerah terpencil yang
jauh dari para ulama dan orang yang beriman, sementara ia belum lama masuk
Islam, lalu ia mengingkari sebagian hukum yang zhahir mutawatir ini, maka ia
tidak divonis kafir sampai dijelaskan kepadanya ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam.
Oleh karena itu disebutkan dalam hadits:
"Suatu
zaman akan datang kepada manusia, pada waktu itu mereka tidak mengetahui
shalat, zakat, shaum, maupun haji. Hanya kakek yang jompo dan nenek yang jompo
yang mengatakan: "Kami mendapati nenek moyang kami mengatakan 'Laa Ilaaha
Illa Allahu'." Ditanyakan kepada sahabat Hudzaifah bin Yaman (yang
meriwayatkan hadits ini, pent): "Apa manfaat Laa Ilaaha Illa Allahu bagi
mereka?" Hudzaifah menjawab: "Ia akan menyelamatkan mereka dari
neraka." (Majmu' Fatawa, 11/407-408)
Bersambung,
insya Allah…
(muhib
almajdi/arrahmah.com)
No comments:
Post a Comment