Monday, November 19, 2012

Serial kajian tentang takfir muayyan



Serial kajian tentang takfir muayyan #1: Antara orang kafir asli dan muslim yang melakukan syirik
Muhib Al-Majdi
Rabu, 23 Mei 2012 10:31:47
(Arrahmah.com) – Salah satu perkara penting yang harus dicamkan sebelum kita membahas permasalahan takfir (mengkafirkan) adalah kesadaran bahwa kaedah-kaedah takfir yang digali oleh para ulama Islam dari dalil-dalil syar'i, sesungguhnya dibuat untuk diterapkan kepada orang yang secara sah telah masuk Islam, kemudian terjatuh dalam ucapan atau perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Adapun orang-orang yang belum pernah secara sah masuk agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, maka kepada mereka tidak diperlukan kaedah-kaedah takfir. Apapun agama dan keyakinannya, selama secara sah belum pernah masuk agama Islam, maka ia dihukumi non muslim dan kafir. Baik ia seorang penganut atheisme, komunisme, animisme, dinamisme, politheisme, Hindu, Budha, Sinto, Majusi, Konghucu, aliran kebatinan, Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan lain sebagainya.
Hal ini perlu dicamkan, mengingat sekelompok ulama menyamaratakan antara orang-orang kafir asli dengan orang-orang yang secara sah telah masuk Islam namun terjatuh dalam sebagian ucapan atau perbuatan pembatal keislaman. Menurut sekelompok ulama tersebut, asalkan seorang yang secara sah telah masuk Islam tersebut melakukan syirik akbar, maka ia divonis musyrik. Tanpa mau melihat rincian kondisi orang yang secara sah telah masuk Islam tersebut, jenis pembatal keislaman yang ia lakukan, kondisi waktu dan tempat ia hidup, dan faktor-faktor lain yang melingkupinya.
Sekelompok ulama tersebut berdalil dengan sejumlah ayat Al-Qur'an, hadits, dan ijma' para ulama yang berbicara tentang orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah memeluk agama Islam. Dalil-dalil tersebut menegaskan orang-orang kafir asli tersebut divonis musyrik, meskipun dakwah rasul atau ilmu kebenaran belum sampai kepada mereka. Mereka lantas membuat analogi; jika orang yang belum sampai kepadanya dakwah saja langsung divonis musyrik saat melakukan syirik akbar, apalagi orang Islam yang melakukan syirik akbar setelah zaman diutusnya Rasulullah SAW dan diturunkannya Al-Qur'an?
Di antara dalil yang mereka sebutkan adalah:
(1) Firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ (137)
Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An'am [6]: 137)
(2) Firman Allah SWT:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ (6)
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 6)
(3) Firman Allah SWT:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (113)
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam. (QS. At-Taubah [9]: 113)
(4) Firman Allah SWT:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ (1)
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. Al-Bayyinah [98]: 1)
(5) Firman Allah SWT:
وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ (24)
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu setan menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. (QS. An-Naml [27]: 24)
وَصَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ (43)
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. (QS. An-Naml [27]: 43)
(6) Firman Allah SWT:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. (QS. Yusuf [12]: 39-40)
(7). Ayat dan hadits yang menyebutkan Ahlul Kitab melakukan syirik sekalipun hujah belum sampai kepada mereka. Allah berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan pembuat aturan hukum) selain Allah dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka." (QS. At-Taubah [9]: 31)
Dalam hadits shahabat Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Adi bin Hatim yang saat itu beragama Nasrani datang kepada Nabi SAW. Ia mendengar Nabi SAW membaca ayat ini, maka ia membantah, "Kami tidak beribadah kepada para pendeta dan ahli ibadah kami."
Nabi SAW balik bertanya, "Bukankah para pendeta dan ahli ibadah kalian mengharamkan hal yang Allah halalkan maka kalian ikut-ikutan mengharamkannya; dan mereka menghalalkan hal yang Allah haramkan maka kalian ikut-ikutan menghalalkannya?"
Adi bin Hatim menjawab, "Ya, begitu." Beliau SAW bersabda, "Itulah bentuk ibadah kepada para pendeta dan ahli ibadah." (HR. Ath-Thabari, Tirmidzi, Al-Baghawi dan lainnya)
(8) Ijma' ulama. Syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: "Bahkan ahlul fatrah yang belum sampai kepada mereka risalah (dakwah rasul) dan Al-Qur'an serta meninggal di atas kejahiliyahan tidaklah disebut kaum muslimin menurut ijma' dan tidak dimintakan ampunan Allah untuk mereka. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang apakah mereka diazab di akhirat?"(Aqidatul Muwahhidin war Raddu ‘ala adh-Dhullal wal Mubtadi'in, hlm. 171 karya Abdullah bin Sa'di al-Ghamidi al-Abdali)
***
Jika kita cermati ayat-ayat, hadits, dan ijma' yang disebutkan di atas, kita mendapati semuanya berkenaan dengan orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah memeluk Islam. Dalam menghukumi mereka secara lahiriah sebagai orang-orang kafir, kita tidak perlu membahas penghalang-penghalang pengkafiran seperti kebodohan (al-jahl), ketiadaan maksud (al-khahta'), kekeliruan memahami dalil (at-ta'wil), atau ijtihad. Kekafiran mereka telah disepakati dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Adapun ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits shahih telah menegaskan keimanan dan keislaman setiap hamba yang mengimani secara global rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima. Yaitu seorang hamba yang mengucapkan dua kalimat syahadat, meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan Yang berhak disembah, meyakini tidak ada tuhan selain-Nya yang berhak disembah, meyakini Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan rasul, mengimani Al-Qur'an dan kitab-kitab suci terdahulu, mengimani pada nabi dan rasul, mengimani hari akhir, mengimani takdir, melaksanakan ibadah hati secara global (takut kepada Allah, cinta kepada Allah, berharap kepada Allah, sabar, syukur, ridha kepada takdirnya, dan lain-lain), melakukan ibadah lisan secara global (membaca Al-Qur'an, berdzikir, berdoa, mengucapkan perkataan yang baik dan lain-lain), dan mengamalkan ibadah anggota badan secara global (melaksanakan shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, dan lain-lain).
Dalil-dalil dari Al-Qur'an tentang hal itu antara lain adalah:
(1) Firman Allah SWT:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Baqarah [2]: 3-5)
 (2) Firman Allah SWT:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…"  (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
(3) Firman Allah SWT:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285)
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah [2]: 285)
(4) Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (136)
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa' [4]: 136)
 (5) Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (152)
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa' [4]: 152)
(6) Firman Allah SWT:
هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (3)
Untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. (QS. An-Naml [27]: 152)

Dalil-dalil dari hadits shahih antara lain adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " «بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ» "
(7) Dari Ibnu Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Islam dibangun di atas lima dasar; bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan." (HR. Bukhari no. 8, Muslim no. 21, Tirmidzi no. 2609, dan An-Nasai no. 5001)
حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ،،
(8) Dari Umar RA berkata, "Pada suatu hari kami tengah duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, sama sekali tidak nampak tanda bekas perjalanan jauh pada dirinya, dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Laki-laki itu duduk di hadapan Nabi SAW, merapatkan kedua lututnya kepada kedua lutut beliau, dan meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua paha beliau.
Laki-laki itu berkata, "Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Islam!" Maka Rasulullah SAW bersabda, "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika engkau memiliki kemampuan." Laki-laki itu berkata, "Engkau benar." Umar berkata, "Maka kami heran kepadanya. Sebab dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan jawabannya."
Laki-laki itu berkata lagi, "Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Iman!" Maka Rasulullah SAW bersabda, "Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang baik maupun buruk." Laki-laki itu berkata, "Engkau benar." (HR. Muslim no. 8, Abu Daud no. 4695, dan An-Nasai no. 4990)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ، فَيَسْأَلَهُ، وَنَحْنُ نَسْمَعُ، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَكَ، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ، وَخَلَقَ الْأَرْضَ، وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا، وَلَيْلَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي أَمْوَالِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: ثُمَّ وَلَّى، قَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ»
(9) Dari Anas bin Malik RA berkata, "Kami dilarang menanyakan sesuatu perkara pun kepada Rasulullah SAW, sehingga kami senang apabila ada seorang Arab badui yang cerdas datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW dan kami bisa mendengarkannya. Pada suatu hari seorang Arab badui datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami dan memberitahukan kepada kami bahwa Allah telah mengutusmu." Rasulullah SAW menjawab, "Benar begitu."
Laki-laki badui itu bertanya, "Siapakah yang menciptakan langit?" Beliau menjawab, "Allah." Laki-laki badui itu bertanya, "Siapakah yang menciptakan bumi?" Beliau menjawab, "Allah." Laki-laki badui itu bertanya, "Siapakah yang menancapkan gunung-gunung dengan segala isinya?" Beliau menjawab, "Allah."
Laki-laki badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah menciptakan langit, bumi, dan menegakkan gunung-gunung. Benarkah Allah telah mengutusmu?" Beliau menjawab, "Ya, benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa kami wajib melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari-semalam?" Beliau menjawab, "Benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?" Beliau menjawab, "Benar."
Laki-laki badui itu bertanya, "Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa ada kewajiban zakat dalam harta kami?" Beliau menjawab, "Benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?" Beliau menjawab, "Benar."
Laki-laki badui itu bertanya, "Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa dalam setahun, kami wajib melaksanakan shaum Ramadhan?" Beliau menjawab, "Benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?" Beliau menjawab, "Benar."
Laki-laki badui itu bertanya, "Utusanmu memberitahukan kepada kami wajib melaksanakan haji ke baitullah jika memiliki kemampuan?" Beliau menjawab, "Benar." Laki-laki badui itu bertanya, "Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?" Beliau menjawab, "Benar."
Laki-laki badui itu kemudian berpaling dan berkata, "Demi Allah Yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahi dari hal-hal itu dan aku juga tidak akan menguranginya." Maka beliau bersabda, "Jika ia berkata jujur, sungguh ia benar-benar akan masuk surga."
(HR. Muslim no. 10 dan Tirmidzi no. 619)
Imam Bukhari meriwayatkannya dengan lafal sebagai berikut:
عَنْ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ، دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ، فَأَنَاخَهُ فِي المَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ: أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ؟ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ، فَقُلْنَا: هَذَا الرَّجُلُ الأَبْيَضُ المُتَّكِئُ. فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: يَا ابْنَ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَجَبْتُكَ». فَقَالَ الرَّجُلُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فِي المَسْأَلَةِ، فَلاَ تَجِدْ عَلَيَّ فِي نَفْسِكَ؟ فَقَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ» فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ إِلَى النَّاسِ كُلِّهِمْ؟ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنَ السَّنَةِ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِنَا فَتَقْسِمَهَا عَلَى فُقَرَائِنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». فَقَالَ الرَّجُلُ: آمَنْتُ بِمَا جِئْتَ بِهِ، وَأَنَا رَسُولُ مَنْ وَرَائِي مِنْ قَوْمِي، وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ أَخُو بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ
Dari Anas bin Malik RA berkata, "Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW di dalam masjid, tiba-tiba seorang laki-laki datang dengan mengendarai seekor unta. Ia menderumkan untanya dan menambatkannya di tiang masjid. Ia lantas bertanya, "Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad?" Saat itu beliau SAW sedang duduk bersandar di tengah kami, maka kami berkata, "Beliau adalah laki-laki berkulit putih yang sedang duduk bersandar ini."
Laki-laki itu berkata, "Wahai cucu Abdul Muthalib." Beliau SAW menjawab, "Ya, saya jawab panggilanmu." Laki-laki itu bertanya kepada beliau, "Aku akan bertanya kepadamu dengan sungguh-sungguh, apakah engkau tidak akan marah kepadaku?" Beliau menjawab, "Tanyakanlah apa yang hendak engkau tanyakan!"
Laki-laki itu bertanya kepada beliau, "Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu dan Tuhan orang-orang sebelummu. Apakah Allah telah mengutusmu kepada semua manusia?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami shalat lima kali sehari-semalam? Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum bulan (Ramadhan) ini dalam satu tahun?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara orang-orang miskin di tengah kami?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu berkata, "Aku beriman kepada ajaran yang engkau bawa. Aku adalah utusan kaumku, namaku Dhimam bin Tsa'labah, saudara dari marga Sa'ad bin Bakr." (HR. Bukhari no. 63, Ibnu Majah no. 1402, Ahmad no. 12719, dan lain-lain)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَصْحَابِهِ جَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ قَالَ: أَيُّكُمُ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟ قَالُوا: هَذَا الْأَمْغَرُ الْمُرْتَفِقُ - قَالَ حَمْزَةُ -: الْأَمْغَرُ الْأَبْيَضُ مُشْرَبٌ حُمْرَةً، فَقَالَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشْتَدٌّ عَلَيْكَ فِي الْمَسْأَلَةِ، قَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ»، قَالَ: أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ، وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، وَرَبِّ مَنْ بَعْدَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تُصَلِّيَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْ أَمْوَالِ أَغْنِيَائِنَا فَتَرُدَّهُ عَلَى فُقَرَائِنَا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ يَحُجَّ هَذَا الْبَيْتَ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَإِنِّي آمَنْتُ وَصَدَّقْتُ وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ
(10) Dari Abu Hurairah RA berkata, "Ketika Nabi SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui sambil bertanya, "Siapakah di antara kalian cucu Abdul Muthalib?" Mereka menjawab, "Inilah dia, orang yang berkulit kuning kemerah-merahan dan berbadan tegap ini." Laki-laki itu berkata, "Aku akan bertanya kepadamu dengan sungguh-sungguh." Beliau menjawab, "Tanyakanlah apa yang hendak engkau tanyakan!"
Laki-laki itu bertanya kepada beliau, "Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu dan Tuhan orang-orang sesudahmu. Apakah Allah telah mengutusmu kepada semua manusia?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kamu melaksanakan shalat lima kali sehari-semalam?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara orang-orang miskin di tengah kami?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum satu bulan (Ramadhan) ini dari jumlah dua belas bulan (dalam satu tahun)?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu bertanya lagi, "Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan agar orang yang mampu menunaikan haji ke baitullah?" Beliau menjawab, "Demi Allah, benar."
Laki-laki itu berkata, "Aku beriman kepadamu dan aku membenarkan. Aku adalah Dhimam bin Tsa'labah." (HR. An-Nasai no. 2094 dengan sanad yang kuat)
عَنْ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِأَرْبَعٍ: حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، بَعَثَنِي بِالْحَقِّ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ "
(11) Dari Ali bin Abi Thalib RA dari Nabi SAW bersabda, "Seorang hamba tidak akan beriman sehingga ia mengimani empat perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, Allah mengutusku dengan kebenaran; mengimani kebangkitan setelah kematian dan mengimani takdir." (HR. Tirmidzi no. 2145, Ibnu Majah no. 81, Ahmad no. 758 dan Al-Hakim no. 92, sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi)
عَنِ الشَّرِيدِ، أَنَّ أُمَّهُ أَوْصَتْ أَنْ يُعْتِقُوا عَنْهَا رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: عِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ نُوبِيَّةٌ، فَأُعْتِقُهَا عَنْهَا؟ فَقَالَ: " ائْتِ بِهَا ". فَدَعَوْتُهَا، فَجَاءَتْ، فَقَالَ لَهَا: " مَنْ رَبُّكِ؟ " قَالَتْ: اللهُ، قَالَ: " مَنْ أَنَا؟ " قَالَتْ: رَسُولُ اللهِ. قَالَ: " أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ "
(12) Dari Syarid bin Suwaid ats-Tsaqafi RA bahwasanya ibunya berwasiat agar (anak-anaknya) memerdekakan seorang budak mukminah atas namanya. Syarid bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu, dan ia berkata, "Saya memiliki seorang budak wanita berkulit hitam legam. Apakah aku bisa memerdekakannya atas nama ibuku?" Beliau SAW bersabda, "Bawalah budak itu kepadaku!" Syarid berkata: "Aku pun memanggil budakku, maka ia datang." Beliau SAW bertanya kepada budak perempuan itu, "Siapa Rabbmu?" Ia menjawab, "Allah." Beliau SAW bertanya lagi kepada budak perempuan itu, "Siapa saya ini?" Ia menjawab, "Rasulullah." Maka beliau SAW bersabda, "Merdekakanlah budak ini, karena ia adalah seorang budak perempuan mukminah." (HR. Abu Daud no. 3283, Ahmad no. 17945 dan 19466, Ad-Darimi no. 2393, An-Nasai, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dengan sanad hasan. Hadits yang semakna diriwayatkan juga dari Mu'awiyah bin Hakam as-Sulami RA oleh Muslim, Abu Daud dan An-Nasai. Hadits yangs semakna juga diriwayatkan dari Abu Hurairah RA oleh Abu Daud dan Ahmad).
Dalil dari ijma':
(13) Imam Abu Bakar bin Mundzir berkata:
أجمع كل من أحفظ عنه من أهل العلم على أن الكافر إذ قال: أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، وأن كل ما جاء به محمد حق، وأبرأ إلى الله من كل دين يخالف دين الإسلام - وهو بالغ صحيح يعقل - أنه مسلم، فإن رجع بعد ذلك فأظهر الكفر كان مرتداً، يجب عليه ما يجب على المرتد.
"Seluruh ulama yang saya ketahui telah bersepakat bahwa seorang kafir jika mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, ia bersaksi bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah kebenaran, dan ia berlepas diri kepada Allah dari setiap agama yang menyelisihi agama Islam, sedangkan ia adalah seorang yang telah berusia baligh dan berakal sehat, maka ia berstatus MUSLIM. Jika ia kembali setelah itu dengan melakukan kekafiran secara terang-terangan, maka ia berstatus murtad, wajib diperlakukan atasnya hukuman atas orang murtad." (Dar'u Ta'arudh al-Aql wan Naql, 8/7 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
(14) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وهذا مما اتفق عليه أئمة الدين، وعلماء المسلمين، فإنهم مجمعون على ما علم بالاضطرار من دين الرسول، أن كل كافر فإنه يدعى إلى الشهادتين، سواء كان معطلاً، أو مشركاً، أو كتابياً، وبذلك يصير الكافر مسلماً، ولا يصير مسلماً بدون ذلك.
Hal ini merupakan perkara yang telah disepakati oleh para imam dien dan ulama kaum muslimin, karena mereka semua telah bersepakat bahwa termasuk perkara yang ma'lum min dien ar-rasul bidh-dharurah (perkara yang telah pasti menjadi bagian agama Islam, perkara yang telah diketahui oleh semua muslim, baik kalangan ulama maupun orang awam, sebagai ajaran Islam—pent) bahwa setiap orang kafir mesti diajak kepada dua kalimat syahadat, baik ia seorang atheis, musyrik, maupun ahli kitab. Dengan dua kalimat syahadat itulah seorang kafir menjadi seorang muslim, dan tanpanya ia tidak akan menjadi seorang muslim." (Dar'u Ta'arudh al-Aql wan Naql, 8/7)
Beliau juga berkata:
واتفق المسلمون على أن الصبي إذا بلغ مسلماً، لم يجب عليه عقب بلوغه تجديد الشهادتين
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa seorang anak kecil jika mencapai usia baligh (dewasa) sebagai seorang muslim, maka ia tidak wajib memperbaharui (mengulangi) pengucapan dua kalimat syahadat setelah usia baligh." (Dar'u Ta'arudh al-Aql wan Naql, 8/8)
(15) Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلماً، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال: لا إله إلا الله، لما رفع عليه السيفَ، واشتدَّ نكيرُه عليه
Sudah termasuk perkara yang ma'lum min ad-dien bidh-dharurah bahwa Nabi SAW menerima dua kalimat syahadat semata dari setiap orang yang datang kepada beliau untuk masuk Islam, melindungi darahnya (nyawanya) dengan dua kalimat syahadat tersebut dan menjadikannya sebagai seorang muslim. Beliau SAW mengingkari Usamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah saat Usamah mengangkat pedang ke arahnya, dan pengingkaran beliau SAW kepadanya sangat keras. (Jami'ul ‘Ulum wal Hikam, 1/239)
***
Dari dalil-dalil Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' di atas nampak jelas bahwa menyamakan begitu saja status seorang muslim yang terjatuh dalam sebagian rincian tauhid-syirik karena faktor kebodohan (al-jahl) atau ketiadaan maksud (al-khatha' = intifa' al-qasd), atau salah memahami dalil syar'i (at-ta'wil) dengan status kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah atau orang-orang kafir asli lainnya tidaklah tepat.
Sebagian ulama yang menyamakan status keduanya berargumen, kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah bukanlah orang kafir asli. Mereka juga berstatus muslim, karena mereka adalah anak-keturunan nabi Ibrahim dan Ismail AS dan mengklaim mengamalkan ajaran nabi Ibrahim. Meski demikian, mereka tetap divonis musyrik walau belum sampai hujah kepada mereka, dan meskipun mereka masih mengamalkan sebagian syariat nabi Ibrahim seperti haji, umrah, thawaf, menyembelih korban, dan lain-lain.
Argumen sebagian ulama tersebut tidak lain adalah sebuah qiyas (analogi) yang keliru dan tidak tepat, karena menyelisihi dalil-dalil syar'i. Antara seorang muslim yang memiliki komitmen global dengan Islam dan iman namun terjatuh dalam sebagian rincian tauhid-syirik, dengan orang-orang musyrik Arab zaman jahiliyah terdapat perbedaan-perbedaan yang pokok dan mendasar. Perbedaan tersebut sudah termasuk pokok tauhid, bukan lagi rincian tauhid. Di antaranya perbedaan pokok dan mendasar tersebut adalah:
(1) Orang-orang musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Mereka meyakini ada Tuhan-Tuhan lain selain Allah yang juga memiliki hak untuk disembah. Dalilnya antara lain adalah firman Allah:  
{إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35)}
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. (QS. Ash-Shafat [37]: 35)
{أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) }
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. (QS. Shad [38]: 5)

(2) Orang-orang musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah Tuhan Yang Maha Esa. Mereka meyakini bahwa Allah seperti makhluk, memiliki anak dan istri. Mereka bahkan meyakini bahwa Allah memiliki banyak anak perempuan. Dalilnya antara lain adalah firman Allah:
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ (57) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)
Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl [16]: 57-59)
 أَفَأَصْفَاكُمْ رَبُّكُمْ بِالْبَنِينَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِنَاثًا إِنَّكُمْ لَتَقُولُونَ قَوْلًا عَظِيمًا
Maka apakah patut Rabb kalian memilihkan bagi kalian anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat?  Sesungguhnya kalian benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosa syiriknya). (QS. Al-Isra' [17]: 40)
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak."
Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS. Maryam [19]: 88-93)
 فَاسْتَفْتِهِمْ أَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُونَ (149) أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ (150) أَلَا إِنَّهُمْ مِنْ إِفْكِهِمْ لَيَقُولُونَ (151) وَلَدَ اللَّهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (152) أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ (153) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (154)
Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka: "Apakah untuk Rabbmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: "Allah beranak." Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. Apakah Rabba memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki? Apakah yang terjadi pada kalian? Bagaimana (caranya) kalian menetapkan? (QS. Ash-Shafat [37]: 149-154)
 {وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ (15) أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُمْ بِالْبَنِينَ (16) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (17) أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ (18) وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ (19) وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (20)}
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya.  Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kalian anak-anak laki-laki? Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira (lahirnya bayi perempuan, pent) dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan memakai perhiasan (anak perempuan, pent) sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Dan mereka berkata: "Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)." Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (QS. Az-Zukhruf [43]: 15-20)
 أَمْ لَهُ الْبَنَاتُ وَلَكُمُ الْبَنُونَ
Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kalian anak-anak laki-laki? (QS. Ath-Thur [52]: 39)
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al- Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. (QS. An-Najm [53]: 19-23)
 {إِنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى}
Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. (QS. An-Najm [53]: 27)
Allah memperingatkan konskuensi dari keyakinan syirik mereka tersebut dengan firman-Nya,
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS. Al-Anbiya' [21]: 22)
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Sekiranya ada tuhan beserta-Nya, niscaya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian tuhanyang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Al-Mu'minun [23]: 91-92)

 (3) Orang-orang musyrik Arab pada zaman jahiliyah meyakini bahwa Allah memiliki istri dari golongan jin. Dari perkawinan Allah dan jin wanita lahirlah anak-anak perempuan yaitu para malaikat. Demikianlah keyakinan kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah. Naudzu billah min dzalik. Dalilnya adalah firman Allah,
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَباً وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan sesungguhnya jin-jin yang jahat mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka). (QS. Ash-Shafat [37]: 158)
Di antara pendapat para ulama sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in tentang makna ayat ini adalah:
  • Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Musuh-musuh Allah (kaum musyrikin, pent) meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Iblis adalah dua orang bersaudara."
  • Adh-Dhahak bin Muzahim berkata, "Orang-orang Quraisy mengatakan ‘Sesungguhnya Iblis adalah saudara Ar-Rahman'."
  • Mujahid bin Jabr, Qatadah bin Da'amah as-Sadusi, dan Abdurrahman bin Zaid berkata, "Orang-orang musyrik Quraisy mengatakan ‘Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah'. Maka Abu Bakar ash-Shidiq bertanya kepada mereka, ‘Kalau begitu siapa ibu-ibu mereka?' Orang-orang musyrik Quraisy menjawab, "Mereka adalah anak-anak perempuan dari jin-jin wanita."
  • Al-Kalbi berkata, "Orang-orang kafir Quraisy mengatakan ‘Allah menikah dengan jin, maka lahirlah para malaikat'."
  • Athiyah Al-Aufi berkata, "Mereka (orang-orang musyrik, pent) mengatakan ‘Allah menikah dengan wanita mulia dari bangsa jin." (Lihat: Jami'ul Bayan fi Ta'wil Ayyil Qur'an (Tafsir ath-Thabari) 21/120-121; Tafsir Ibnu Abi Hatim, 10/3231; Bahrul ‘Ulum (Tafsir as-Samarqandi), 3/154; Tafsir an-Nukat wal ‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), 5/71; Ma'alim at-Tanzil (Tafsir al-Baghawi), 7/63; dan Tafsir Al-Qur'an al-Azhim (Tafsir Ibnu Katsir), 7/42)
(4) Orang-orang musyrik Arab pada zaman jahiliyah secara sadar mengakui bahwa Allah memiliki sekutu-sekutu, meskipun sekutu-sekutu tersebut tidak memiliki kekuasaan mutlak seperti kekuasaan Allah yang mutlak. Di antara dalilnya adalah hadits shahih:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَيْلَكُمْ، قَدْ قَدْ» فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ، يَقُولُونَ هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, "Orang-orang musyrik (pada saat haji atau umrah, pent) mengumandangkan talbiyah: Labbaika laa syariika laka (Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu)." Maka Rasulullah SAW berkomentar, "Celaka kalian, sudah cukup begitu saja, sudah cukup begitu saja!" Namun orang-orang musyrik melanjutkan talbiyah mereka dengan mengucapkan: illa syarikan huwa laka, tamlikuhu wa maa malaka (kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa). Mereka mengumandangkan talbiyah ini sambil berthawaf mengelilingi Ka'bah." (HR. Muslim no. 1185)
Talbiyah syirik ini telah mereka lakukan sejak zaman jahiliyah sebelum Rasulullah SAW dilahirkan dan diutus kepada mereka. Sebagaimana ditegaskan oleh hadits shahih,
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ بَعْدَ إِسْمَاعِيلَ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَكَانَ الشَّيْطَانُ يُحَدِّثُ النَّاسَ بِالشَّيْءِ يُرِيدُ أَنْ يَرُدَّهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ حَتَّى أَدْخَلَ عَلَيْهِمْ فِي التَّلْبِيَةِ:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ... لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ
إِلَّا شَرِيكٌ هُوَ لَكَ ... تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ
قَالَ: فَمَا زَالَ حَتَّى أَخْرَجَهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى الشِّرْكِ.
Dari Anas bin Malik RA berkata: "Masyarakat sepeninggal nabi Ismail berada dalam agama Islam. Maka setan datang kepada masyarakat membisikkan kepada mereka suatu hal dengan tujuan mengeluarkan mereka dari Islam. Sampai akhirnya setan berhasil memasukkan ucapan (syirik) dalam talbiyah mereka:
Labbaika Allahumma labbaika
Labbaika laa syariika laka
illa syarikan huwa laka
tamlikuhu wa maa malaka
(Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu,
aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu
kecuali sekutu yang Engkau miliki
Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa)
Setan senantiasa mengajarkan hal itu kepada mereka sehingga akhirnya ia bisa mengeluarkan mereka dari Islam kepada kesyirikan.
(HR. Al-Bazzar. Al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma' az-Zawaid wa Mamba' al-Fawaid, 3/223, mengatakan: Para perawinya adalah para perawi kitab Ash-Shahih).

Para pakar sejarah telah sepakat meriwayatkan talbiyah syirik ini telah dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman jahiliyah. Imam As-Suhaili dan pakar sejarah lainnya menegaskan bahwa talbiyah syirik ini pertama kali dilakukan oleh Amru bin Luhay al-Khuza'i, pemimpin Makah dari suku Khuza'ah. Pakar sejarah imam Ibnu Ishaq menegaskan talbiyah ini diucapkan oleh suku Kinanah dan Quraisy. (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/188 karya Ibnu Katsir)
***
Orang yang memiliki komitmen global kepada rukun iman dan rukun Islam seperti ini telah menyandang nama muslim dan mukmin. Terlebih jika ia lahir dari keluarga muslim dan memasuki usia baligh sebagai seorang yang memiliki komitmen global kepada rukun iman dan rukun Islam. Maka secara nama, ia menyandang status muslim dan mukmin.
Persoalan timbul ketika ia melakukan syirik akbar atau kufur akbar pada perkara yang sifatnya perincian tauhid dan iman, bukan pokok tauhid dan iman. Pokok tauhid misalnya rukun iman yang enam dan dua rukun Islam pertama (dua kalimat syahadat dan shalat wajib lima waktu). Contoh dari cabang perincian tauhid misalnya, tatacara berdoa kepada Allah; bolehkah dengan perantaraan kemuliaan Nabi SAW dan orang shalih? Contoh lainnya adalah salah satu sifat Allah; al-hukmu (memutuskan hukum dan perundang-undangan).
Apakah ia langsung divonis musyrik tanpa meneliti faktor syarat-syarat pengkafiran dan mawani' takfir (penghalang-penghalang pengkafiran)? Ataukah ia tidak divonis musyrik karena telah memiliki nama muslim dan mukmin, sehingga yang dilakukan terhadapnya adalah penelitian ada atau tidaknya syarat-syarat pengkafiran dan penghalang-penghalang pengkafiran; jika syarat-syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalang-penghalang pengkafiran tidak ada, maka ia divonis kafir/murtad?
Hal inilah yang insya Allah akan kita bahas pada kajian selanjutnya. Wallahu a'lam bish-shawab
Bersambung, insya Allah….
http://static.arrahmah.net/images/_t/r_w_285/stories/2012/05/kafir-muayyan.png(muhib almajdi/arrahmah.com)


Serial kajian tentang takfir muayyan #2: Mengenal kaedah umum takfir mu’ayyan
Muhib Al-Majdi
Rabu, 30 Mei 2012 09:58:54
(Arrahmah.com) - Apabila seseorang secara sah telah masuk Islam dan memiliki komitmen global kepada Islam, kemudian ia mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan yang membatalkan keislamannya ---bisa berupa syirik akbar, kufur akbar, atau sebab lainnya--- maka ia divonis kafir alias murtad apabila telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir) dan tiada penghalang-penghalang pengkafiran (mawani' takfir).
Masalah mengkafirkan seseorang yang secara sah telah masuk Islam karena melakukan salah satu pembatal keislaman, pada dasarnya mencakup dua aspek. Pertama, aspek akidah berkenaan dengan dalil-dalil syar'i yang menyatakan sebuah keyakinan, ucapan, atau perbuatan sebagai pembatal keislaman. Hal ini dibahas dalam buku-buku akidah pada bab pembatal-pembatal keislaman (nawaqidhul Islam).
Kedua, aspek fiqih berkenaan dengan proses pengadilan (al-qadha') yang mengkaji realita pelaku ucapan atau perbuatan yang membatalkan keislaman tersebut. Hal ini dibahas dalam buku-buku fiqih pada bab kemurtadan (ar-riddah) dan peradilan (al-qadha').
 ***
Dua Macam Pengkafiran
Oleh karenanya di kalangan ulama dikenal dua istilah pengkafiran; takfir ‘am atau takfir nau' dan takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan.
(1) Takfir ‘Am atau Takfir Nau' atau Takfir Muthlaq
Takfir ‘am atau takfir' nau' atau Takfir Muthlaq adalah menilai sebuah keyakinan (amalan hati), ucapan (amalan lisan), atau perbuatan (amalan anggota badan) sebagai pembatal keislaman. Hal yang dihukumi adalah ucapan atau perbuatan yang nampak, sehingga pengkafiran diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan lepas tanpa memerlukan kajian tentang syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir) dan penghalang-penghalang pengkafiran (mawani' takfir).
Contoh dari takfir ‘am atau takfir nau' adalah ucapan para ulama: "Barangsiapa mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk maka ia telah kafir", atau "Barangsiapa menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati atau mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati maka ia telah kafir", atau "Barangsiapa melakukan perbuatan sihir maka ia telah kafir", atau ‘Barangsiapa meninggalkan shalat wajib sampai keluar waktunya secara sengaja, maka ia telah kafir".
(2) Takfir ‘Ain atau Takfir Mu'ayyan
Adapun takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan adalah menjatuhkan vonis kafir murtad terhadap seorang muslim yang terbukti secara sah mengucapkan ucapan atau melakukan perbuatan yang membatalkan keislaman. Hal yang dihukumi adalah sosok muslim tertentu, bukan semata ucapan atau perbuatan yang ia lakukan. Dalam hal ini, dilakukan kajian tentang syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir) dan penghalang-penghalang pengkafiran (mawani' takfir).
a. Jika syarat-syarat pengkafiran telah terpenuhi sementara penghalang-penghalang kekafiran tidak ada, maka muslim tersebut divonis kafir alias murtad. Kepadanya diminta untuk bertaubat. Jika ia mau bertaubat, maka ia menjadi seorang muslim kembali. Namun apabila ia tidak mau bertaubat, niscaya kepadanya diterapkan hukum-hukum Islam atas diri orang murtad.
b. Jika syarat-syarat pengkafiran belum terpenuhi atau terdapat penghalang-penghalang pengkafiran, maka muslim tersebut tidak divonis kafir alias murtad. Apabila telah ditegakkan hujah kepadanya, dihilangkan syubhat yang ada pada dirinya, dan seluruh penghalang pengkafiran tidak ada pada dirinya namun ia tetap melakukan kekufuran tersebut, maka ia harus divonis murtad.
Contoh takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan adalah pernyataan para ulama: "Lia Aminuddin telah murtad karena mengklaim sebagai nabi dan menerima wahyu dari malaikat Jibril", atau "Nashr Hamid Abu Zaid telah murtad karena menyatakan Al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) bukan wahyu Allah!", atau "Ulil Abshar Abdalla telah murtad karena menyatakan semua agama baik dan benar", atau "Musdah Mulia telah murtad karena menghalalkan homoseksual dan lesbian"dan lain-lain.
***
Takfir ‘am tidak selalu berkonskuensi takfir mu'ayyan
Dari dalil-dalil syar'i dan praktek para ulama salaf, para ulama ahlus sunnah wal jama'ah kemudian menyimpulkan sebuah kaedah: Takfir ‘am atau takfir nau' tidak selalu berkonskuensi takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan. Takfir ‘am atau takfir nau' baru berkonskuensi takfir ‘ain atau takfir mu'ayyan ketika telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada penghalang-penghalang pengkafiran pada diri seorang muslim yang mengucapkan ucapan atau melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Di antara dalil Al-Qur'an, as-sunnah dan ijma' ulama yang menjadi landasan kaedah ini adalah:
(1). Firman Allah SWT,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (niscaya dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar." (QS. An-Nahl [16]: 106)
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sahabat Ammar bin Yasir RA yang disiksa dengan sadis oleh kaum musyrik Quraisy. Dalam penyiksaan yang biadab itu, bapaknya yang bernama Yasir RA dan ibunya yang bernama Sumayyah RA gugur sebagai syahid. Karena tidak kuat lagi menanggung beratnya siksaan, akhirnya Ammar bin Yasir menuruti paksaan orang-orang musyrik Quraisy untuk mengucapkan perkataan kekafiran, yaitu mengakui berhala-berhala Quraisy sebagai Tuhan yang berhak disembah dan mendustakan kenabian Nabi Muhammad SAW. Setelah menuruti paksaan tersebut, kaum musyrik Quraisy menghentikan siksaan dan melepaskan Ammar.
Ammar menyesali peristiwa itu dan mengadukannya kepada Nabi SAW sembari menangis. Nabi SAW bertanya kepada Ammar, "Bagaimana dengan perasaan hatimu?" Ammar menjawab, "Tetap tentram dalam keimanan." Nabi SAW bersabda, "Jika mereka kembali menyiksamu, maka lakukan seperti yang kau lakukan sebelumnya (menuruti paksaan mereka)!" (Lihat: Jami'ul Bayan fi Ta'wil Ayyil Qur'an (Tafsir Ath-Thabari) 17/304-305, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (Tafsir Ibnu Katsir) 4/605, Ma'alim At-Tanzil (Tafsir Al-Baghawi) 5/45-46, Al-Jami' li-Ahkam Al-Qur'an (Tafsir Al-Qurthubi) 10/180-181, Fathul Qadir (Tafsir Asy-Syaukani) 3/235 dan Mahasinut Ta'wil (Tafsir Al-Qasimi), 6/412) 
Imam Al-Qurthubi berkata: "Para ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa dipaksa untuk melakukan kekafiran sampai ia mengkhawatirkan akan dibunuh, maka ia tidak berdosa jika melakukan kekafiran selama hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka istrinya tidak diceraikan dari dirinya dan ia tidak divonis kafir." (Al-Jami' li-Ahkam Al-Qur'an, 10/182 dan Fathul Qadir, 3/235)
Imam Ibnu Katsir berkata: "Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa seseorang yang dipaksa untuk melakukan kekafiran, maka ia boleh menuruti paksaan itu demi mempertahankan nyawanya, dan boleh juga baginya menolak meskipun berakibat ia dibunuh seperti Bilal RA yang menolak paksaan mereka, meskipun mereka menimpakan siksaan apapun kepadanya." (Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, 4/606 dan Mahasinut Ta'wil, 6/413)

(2) Firman Allah SWT, 
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru (khilaf) padanya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33]: 5)
Dan hadits shahih, 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Dari Anas bin Malik Ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah lebih senang dengan taubat seorang hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada Allah, daripada kegembiraan salah seorang di antara kalian yang mengendarai untanya di sebuah padang pasir, tiba-tiba untanya terlepas darinya dengan membawa lari makanan dan minumannya. Ia putus asa dari untanya, maka ia mendatangi sebatang pohon dan berbaring di bawah naungannya dalam keadaan putus asa dari untanya. Ketika ia dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba untanya berada di hadapannya, berdiri di sisinya, maka ia segera memegang tali kekang untanya. Ia begitu gembira sampai mengucapkan, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu." Ia keliru mengucapkan kalimat karena terlalu gembira. (HR. Muslim no. 2747)
Perkataan ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu' merupakan syirik akbar. Namun orang tersebut tidak dikafirkan karena pada dirinya terdapat penghalang kekafiran, yaitu kekeliruan atau keseleo lidah, mengucapkan perkataan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh hatinya (al-khatha').
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata:
"Allah SWT telah memberi udzur kepada orang yang terlalu larut dalam kegembiraan karena mendapatkan kembali untanya yang terlepas di daerah yang bisa membinasakan dirinya (padang pasir tanpa makanan dan minuman, pent) setelah ia putus asa darinya. Ia sampai mengatakan, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu." Allah tidak menjadikan orang tersebut kafir, karena ia keliru mengucapkan kalimat oleh faktor kegembiraan yang sangat." (Syifa'ul ‘Alil fi Masailil Qadha' wal Qadar wal Hikmah wat Ta'lil, 1/138)
Beliau juga berkata:
"Di antara kaedah ilmu yang terdapat dalam hadits ini adalah sebuah lafal yang terucap melalui lisan seorang hamba secara keliru karena kegembiraan yang sangat, atau kemarahan yang sangat, dan lain sebagainya, niscaya ia tidak dihukum karena ucapan tersebut. Oleh karena itu, orang tersebut tidak menjadi kafir dengan perkataannya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu." (Madarijus Salikin Syarh Manazilis Sairin, 1/226)

(3) Hadits tentang Qudamah bin Mazh'un RA yang menghalalkan khamr karena salah memahami dalil (salah ta'wil).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi'ah bahwa khalifah Umar bin Khatab mengangkat seorang veteran perang Badar, Qudamah bin Mazh'un RA yang juga paman Abdullah bin Umar RA dan Hafshah bin Umar RA (dari jalur ibu) sebagai gubernur Bahrain. Qudamah bin Mazh'un meminum khamr sampai mabuk. Ia dilaporkan kepada khalifah Umar bin Khathab, dan terdapat tiga orang saksi atas hal itu yaitu Jarud kepala suku Abdul Qais, Abu Hurairah RA dan Hindun binti Walid istri Qudamah bin Mazh'un.
Ketika disidang, Qudamah bin Mazh'un mengakui telah meminum khamr. Namun Qudamah bin Mazh'un menganggap khamr halal baginya, dengan dalil firman Allah SWT, 
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (93)  
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]: 93)
Maka Umar bin Khathab berkata:
أَخْطَأْتَ التَّأْوِيلَ , إِنِ اتَّقَيْتَ اللهَ اجْتَنَبْتَ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْكَ
"Engkau telah keliru memahami ayat (ta'wil). Jika engkau bertakwa kepada Allah, niscaya engkau menjauhi apa yang Allah haramkan kepadamu."
Dengan kesepakatan sahabat, Qudamah bin Mazh'un RA akhirnya dijatuhi hukuman cambuk.
(HR. Abdur Razzaq no. 17076, Al-Baihaqi no. 17516 dan Ibnu Syabah dalam Tarikh al-Madinah)
Qudamah bin Mazh'un RA adalah seorang sahabat senior dari kalangan muhajirin dan termasuk veteran Badar. Ia bukan orang yang baru saja masuk Islam. Ia tidak hidup di daerah pelosok pedalaman yang jauh dari ilmu dan para ulama, justru ia hidup di negara Islam, bahkan di salah satu kota besar dalam wilayah khilafah Islamiyah rasyidah. Ia bukan orang bodoh dan awam, karena ia adalah seorang gubernur, dan Umar bin Khathab mengedepankan orang-orang berilmu sebagai para pejabat negara. Di zaman ia hidup terdapat ribuan ulama, baik dari kalangan sahabat senior, sahabat junior, maupun tabi'in senior.
Qudamah bin Mazh'un RA meminum khamr dan menganggap khamr itu halal baginya. Ia tahu dalil keharaman khamr yaitu QS. Al-Maidah [5]: 90-91, namun ia meyakini dirinya dikecualikan dari keharaman tersebut karena salah memahami QS. Al-Maidah [5]: 93. Menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah kufur akbar yang membatalkan keislaman. Untuk itu, ia diadili oleh Umar bin Khathab. Umar menjelaskan kepadanya kekeliruannya dalam memahami QS. Al-Maidah [5]: 93. Karena ia mengakui perbuatannya meminum khamr dan ada beberapa saksi yang bersaksi di pengadilan Umar, maka ia pun dihukum cambuk.
Seandainya setelah proses pengadilan dan penegakan hujah yang membantah kekeliruannya dalam memahami QS. Al-Maidah [5]: 93 tersebut, Qudamah masih meyakini kehalalan khamr, tentulah para sahabat bersepakat atas kemurtadan Qudamah, karena syarat-syarat pengkafiran telah terpenuhi dan penghalang-penghalang pengkafiran tidak ada lagi pada dirinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Demikian pula orang yang mengingkari pengharaman sesuatu hal dari hal-hal yang keharamannya telah sangat jelas (zhahirah) lagi sangat terkenal (mutawatirah) seperti perbuatan-perbuatan keji, kezaliman, ucapan dusta, khamr dan lain sebagainya, atau ia keliru sehingga ia meyakini bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dari pengharaman khamr seperti kekeliruan orang-orang yang diminta bertaubat oleh Umar, dan orang-orang yang seperti mereka; maka mereka harus diminta untuk bertaubat dan kepada mereka ditegakkan hujah. Jika setelah itu mereka masih saja terus-menerus (menghalalkan khamr, pent) maka mereka telah kafir pada saat tersebut, adapun sebelum itu mereka tidak divonis kafir. Sebagaimana para sahabat tidak memvonis kafir Qudamah bin Mazh'un dan kawan-kawannya (yang menghalalkan khamr sebelum dihilangkan syubhatnya, pent) saat mereka keliru dalam melakukan ta'wil." (Majmu' Fatawa, 7/610)
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali berkata:
"Telah diriwayatkan bahwa Qudamah bin Mazh'un RA meminum khamr karena menghalalkannya, maka Umar bin Khathab menerapkan hukuman had (cambuk) kepadanya dan tidak mengkafirkannya. Demikian juga Abu Jandal bin Suhail RA dan sekelompok orang yang bersamanya meminum khamr di Syam dan menghalalkannya, mereka berdalil dengan firman Allah,
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]: 93)
Mereka tidak dikafirkan, namun mereka diberi penjelasan tentang keharaman khamr, maka mereka bertaubat, sehingga ditegakkan hukuman had atas mereka. Maka kepada orang-orang yang keadaannya seperti mereka ditetapkan juga hukum yang sama dengan mereka. Demikian juga setiap orang yang tidak mengetahui sesuatu hal yang ia memang mungkin untuk tidak mengetahuinya, maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia diberi penjelasan tentangnya, syubhat hilang dari dirinya, lalu ia menghalalkannya setelah semua (proses penjelasan ilmu dan penghilangan syubhat, pent) tersebut." (Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 9/12)
Seperti dijelaskan dalam kitab-kitab hadits dan sejarah, Abu Jandal bin Suhail RA adalah seorang sahabat muhajirin yang melarikan diri dari kota Makah pada masa berlakunya perjanjian Hudaibiyah. Ia bukan orang yang baru masuk Islam. SeteIah Rasulullah SAW wafat, Abu Jandal tinggal di Syam, salah satu wilayah khilafah Islamiyah rasyidah yang dipenuhi oleh ratusan ulama dari generasi shahabat dan tabi'in.
Ia meminum khamr dan menghalalkan khamr, ini merupakan kekafiran dan pembatal keislaman. Namun karena ia melakukannya atas dasar salah memahami ayat Al-Qur'an (ta'wil), maka ia tidak dikafirkan sampai dijelaskan kepadanya pemahaman yang benar dan dihilangkan syubhat. Jika setelah proses penjelasan kebenaran dan penghilangan syubhat tersebut ia tetap saja menghalalkan khamr, niscaya ia akan divonis kafir oleh seluruh ulama.
(4)- Hadits tentang Khawarij yang menghalalkan pembunuhan dan perampokan terhadap kaum muslimin karena keliru memahami dalil (salah ta'wil).
Membunuh dan merampok adalah kejahatan yang keharamannya telah disepakati, sangat jelas (zhahirah) dan sangat terkenal (mutawatirah). Semua kaum muslimin, baik ulama maupun awam sudah memahami keharamannya. Menghalalkan pembunuhan dan perampokan adalah sebuah kufur akbar yang membatalkan keislaman. Ini adalah takfir ‘am atau takfir nau'. Meski demikian, tidak serta merta hukum kafir murtad karena melakukan penghalalan membunuh dan merampok ini bisa diterapkan kepada, misalnya, personil-personil kelompok Khawarij karena adanya penghalang kekafiran pada diri mereka yaitu salah ta'wil.
Kelompok Khawarij atau Haruriyah semula adalah anggota pasukan khalifah Ali bin Abi Thalib RA dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Mereka menuduh Ali bin Abi Thalib dan pasukannya yang setia sebagai orang kafir, karena meminta keputusan perkara kepada manusia pada peristiwa perundingan (tahkim) dengan pasukan Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Daumatul Jandal. Mereka memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju perundingan damai antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Mereka meyakini Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy'ari RA dan seluruh sahabat dan tabi'in yang terlibat dalam perang Shiffin dan tahkim di Daumatul Jandal telah kafir, karena berhukum kepada manusia, padahal menetapkan hukum hanyalah milik Allah, dan merampas hak menetapkan hukum adalah syirik akbar, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah. (QS. Yusuf [12] 40)
Ali bin Abi Thalib mengomentari cara Khawarij memahami ayat tersebut dengan berkata, "Kalimat kebenaran namun dimaksudkan untuk kebatilan."
Sebagaimana disebutkan oleh riwayat-riwayat yang sangat terkenal dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab sejarah, Ibnu Abbas RA diutus oleh Ali bin Abi Thalib RA untuk berdialog dengan kelompok Khawarij Haruriyah dan menghilangkan syubhat mereka. Dari 12000 personil Khawarij pimpinan Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, Zaid bin Hushain ath-Thai, Syuraih bin Aufa, Harqush bin Zuhair, Abdullah bin Syajarah as-Sulami dan Dzu Tsadyain, sebanyak 8000 orang bertaubat dan keluar dari kelompok Khawarij. Namun 4000 personil lainnya bersama para pemimpinnya tetap memegang teguh prinsip mereka; mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy'ari, Aisyah, Thalhah bin Ubaidullah, Zubair bin Awwam, Amar bin Yasir, dan seluruh sahabat yang terlibat dalam perang Jamal dan perang Shiffin.
Kelompok Khawarij lantas membunuh Abdullah bin Khabab bin Arts dan istrinya yang sedang hamil, dan merampas hartanya, karena keduanya tidak mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Ali bin Abi Thalib meminta mereka yang terlibat dalam pembunuhan dan perampokan keji itu untuk menyerahkan diri. Namun mereka semua mengaku sebagai pelakunya dan menolak menyerahkan diri. Maka Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin memerangi kelompok Khawarij hingga mereka bisa dikalahkan.
Kelompok Khawarij menghalalkan pembunuhan terhadap umat Islam di luar kelompoknya, bahkan terhadap para sahabat Muhajirin dan Anshar yang telah diridhai Allah. Allah SWT berfirman, 
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah [9]: 100)
Sebagian shahabat bahkan telah dipastikan oleh Nabi SAW sebagai ahli surga, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidullah, Zubair bin Awwam, dan lain-lain. Khawarij juga menghalalkan perampokan terhadap harta kaum muslimin di luar kelompoknya. Khawarij hidup di negeri Islam, bahkan di ibukota jantung Khilafah Islamiyah Rasyidah yaitu Kufah, bukan di pelosok pedalaman terpencil yang jauh dari ilmu. Khawarij hidup di zaman negeri kaum muslimin dipenuhi oleh ribuan ulama dari generasi sahabat dan tabi'in. Khawarij bukan orang yang baru saja masuk Islam. Mereka tahu pasti dalil keharaman membunuh seorang mukmin dan merampas harta seorang mukmin, karena Khawarij adalah orang-orang yang sangat tekun membaca Al-Qur'an dan mereka paham bahasa Arab, selain juga mereka hidup bersama Ali bin Abi Thalib dan ratusan ulama sahabat dalam barisan Ali.
Kepada 4000 pengikutnya, para pemimpin Khawarij mengajarkan doktrin kehalalan nyawa dan harta Ali bin Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa al-Asy'ari, dan ribuan sahabat dan tabi'in yang terlibat perang Jamal, perang Shifin, dan perundingan damai di Daumatul Jandal. Menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah kufur akbar, dan menaati aturan para pemimpin yang menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah syirik akbar.
Meski demikian, khalifah Ali bin Abi Thalib, ribuan sahabat dan tabi'in yang bersamanya tidak memvonis Khawarij sebagai orang-orang musyrik, kafir, dan murtad. Hal itu karena pada diri mereka terdapat sebuah penghalang pengkafiran, yaitu salah memahami dalil (at-ta'wil). Khawarij memahami dalil secara keliru sehingga meyakini Ali bin Thalib dan seluruh sahabat yang terlibat dalam perang Jamal, perang Siffin, dan perundingan damai di Daumatul Jandal sebagai orang kafir, sehingga nyawa dan hartanya halal.
Di antara dalil tentang hal itu adalah hadits-hadits shahih berikut, 
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: " كُنْتُ عِنْدَ عَلِيٍّ حِينَ فَرَغَ مِنْ قِتَالِ أَهْلِ النَّهْرَوَانِ، فَقِيلَ لَهُ: أَمُشْرَكُونَ هُمْ؟ قَالَ: مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا. فَقِيلَ: فَمُنَافِقُونَ ؟ قَالَ: الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا. قِيلَ: فَمَا هُمْ؟ قَالَ: قَوْمٌ بَغَوْا عَلَيْنَا فَقَاتَلْنَاهُمْ ".
Dari Thariq bin Syihab berkata, "Saya menyertai Ali bin Abi Thalib RA setelah usai perang melawan kelompok Khawarij di Nahrawan. Ali bin Abi Thalib ditanya, "Apakah mereka itu orang-orang musyrik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka justru lari menjauhi syirik." Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, "Apakah mereka itu orang-orang munafik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja." Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, "Kalau begitu, mereka itu apa?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita memerangi mereka." (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta'zhim Qadris Shalat no. 506) 
عَنْ حَكِيمِ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: قَالُوا لِعَلِيٍّ حِينَ قَتَلَ أَهْلَ النَّهْرَوَانِ: أَمُشْرِكُونَ هُمْ؟ قَالَ: مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا. قِيلَ: فَمُنَافِقُونَ؟ قَالَ: الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا. قِيلَ: فَمَا هُمْ؟ قَالَ: قَوْمٌ حَارَبُونَا فَحَارَبْنَاهُمْ وَقَاتَلُونَا فَقَاتَلْنَاهُمْ
Dari Hakim bin Jabir berkata, "Orang-orang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib RA ketika ia memerangi kelompok Khawarij di Nahrawan, "Apakah mereka itu orang-orang musyrik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka justru lari menjauhi syirik." Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, "Apakah mereka itu orang-orang munafik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja." Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, "Kalau begitu, mereka itu apa?"  Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka adalah sebuah kaum yang memerangi kita maka kita pun memerangi mereka, dan mereka membunuhi kita maka kita pun membunuhi mereka." (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta'zhim Qadris Shalat no. 508) 
عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ ، قَالَ : قَالَ رَجُلٌ : مَنْ يَتَعَرَّفُ الْبُغَاةَ يَوْمَ قُتِلَ الْمُشْرِكُونَ ؟ يَعْنِي أَهْلَ النَّهْرَوَانِ ، فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ : " مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا ، قَالَ : فَالْمُنَافِقُونَ ؟ قَالَ : الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ، قَالَ : فَمَا هُمْ ؟ قَالَ : قَوْمٌ بَغَوْا عَلَيْنَا فَنُصِرْنَا عَلَيْهِمْ .
Dari Syaqiq bin Salamah berkata, "Seorang berkata, "Siapakah yang mencari tahu tentang para pembangkang pada hari kaum musyrikin dibunuh?" Kaum musyrikin yang ia maksudkan adalah kelompok Khawarij di Nahrawan. Maka Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka justru lari menjauhi syirik." Orang itu bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, "Apakah mereka itu orang-orang munafik?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja." Orang itu bertanya lagi kepada Ali bin Abi Thalib lagi, "Kalau begitu, mereka itu apa?" Ali bin Abi Thalib menjawab, "Mereka adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita diberi kemenangan atas mereka." (HR. Al-Baihaqi dalam as-sunan al-kubra no. 25213)
Setelah menyebutkan hadits Thariq bin Syihab dan Hakim bin Jabir di atas, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Hadits yang pertama dan hadits ini sangat tegas bahwa Ali bin Abi Thalib mengucapkan perkataan tersebut berkenaan dengan Khawarij Haruriyah penduduk Nahrawan, dimana telah sangat masyhur hadits-hadits shahih dari Nabi SAW yang mencela mereka dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Mereka mengkafirkan Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan orang-orang yang memberikan loyalitas kepada keduanya (mengakui kekhilafahan keduanya). Siapa saja yang tidak bersama mereka, niscaya menurut mereka adalah orang kafir, negerinya dianggap sebagai negeri kafir, karena negeri Islam menurut mereka hanyalah negeri yang mereka tempati.
Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dan lainnya berkata: "Khawarij telah bersepakat dalam mengkafirkan Ali bin Abi Thalib RA."Meski demikian, Ali bin Abi Thalib baru memerangi mereka ketika mereka telah memulai peperangan, di mana mereka membunuh Abdullah bin Khabab. Ali meminta mereka untuk menyerahkan kepadanya pembunuhnya, namun mereka menjawab, "Kami semua yang telah membunuhnya." Mereka juga merampok hewan gembalaan masyarakat. Oleh karenanya, Ali bin Abi Thalib berkomentar tentang mereka, "Mereka adalah sebuah kaum yang memerangi kita maka kita pun memerangi mereka, dan mereka membunuhi kita maka kita pun membunuhi mereka." Ali juga berkomentar, "Mereka adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita memerangi mereka."
Para sahabat dan ulama setelah generasi mereka telah bersepakat untuk memerangi mereka (Khawarij), karena mereka bertindak aniaya terhadap seluruh kaum muslimin yang tidak menyetujui pendapat (keyakinan) mereka. Mereka memulai peperangan terhadap kaum muslimin, dan kejahatan mereka tidak bisa ditolak kecuali dengan memerangi mereka. Maka mereka lebih berbahaya terhadap kaum muslimin daripada para pembegal (perampok), karena tujuan para pembegal adalah harta, jika mereka diberi harta maka mereka tidak akan memerangi. Lagipula, para pembegal hanya mengincar sebagian orang saja.
Adapun Khawarij memerangi masyarakat atas dasar agama sampai masyarakat meninggalkan ajaran yang telah tetap berdasar Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' shahabat, kepada bid'ah yang diada-adakan oleh Khawarij dengan ta'wil mereka yang batil dan pemahaman mereka yang rusak terhadap Al-Qur'an. Meski demikian, Ali RA menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin, bukan orang-orang kafir, bukan pula orang-orang munafik." (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 5/243-244)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:
"Perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya tentang kelompok Khawarij mengindikasikan bahwa Khawarij bukanlah orang-orang kafir seperti orang-orang yang keluar dari pokok Islam. Pendapat inilah yang diriwayatkan dengan tegas dari para ulama seperti imam Ahmad dan lainnya." (Majmu' Fatawa, 28/516)
Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata:
"Sudah dikenal luas bahwa termasuk akidah Khawarij adalah mengkafirkan banyak para shahabat RA dan generasi sesudah mereka, menghalalkan darah (nyawa) mereka dan harta mereka, dan Khawarij meyakini membunuh mereka adalah amalan shalih untuk mendekatkan diri kepada Rabb mereka. Meski demikian, para ulama fiqih (fuqaha') tidak memvonis Khawarij sebagai orang-orang kafir, karena mereka melakukan ta'wil." (Al-Mughni Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, 9/12)

(5) Dalil dari ijma' shahabat dan tabi'in
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Hakekat perkara dalam hal itu adalah terkadang sebuah pendapat (keyakinan) merupakan sebuah kekafiran, maka disebutkan secara lepas (muthlaq) tentang kekafiran orangnya, dengan mengatakan: Barangsiapa mengatakan begini, maka dia telah kafir. Namun individu tertentu yang mengucapkan perkataan (kekafiran) tersebut tidaklah divonis telah kafir sampai tegak atasnya hujah yang telah kafir orang yang meninggalkan hujah tersebut…
Pendapat-pendapat yang menyebabkan pelakunya telah kafir, terkadang seseorang belum sampai kepadanya nash-nash (dalil-dalil syar'i) yang menyebabkannya mengetahui kebenaran; terkadang nash-nash itu sudah sampai kepadanya namun menurutnya nash-nash tersebut tidak shahih, atau juga ia belum mampu memahami nash-nash tersebut, atau terkadang ia mendapati syubhat-syubhat yang dengannya Allah memberinya udzur.
Maka barangsiapa dari golongan kaum beriman, ia berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mencari kebenaran dan ia keliru, niscaya Allah mengampuni kekeliruannya siapapun ia, baik dalam perkara-perkara ilmu maupun perkara-perkara amal. Inilah yang diyakini oleh para shahabat Nabi SAW dan seluruh ulama Islam, mereka tidak membagi-bagi perkara-perkara agama menjadi perkara-perkara pokok (ushul) yang mengingkarinya menyebabkan kekafiran dan perkara-perkara cabang (furu') yang mengingkarinya tidak menyebabkan kekafiran.
Celaan secara lepas tidak mesti berkonskuensi celaan terhadap orang tertentu yang memiliki penghalang berlakunya celaan tersebut atas dirinya. Demikian pula dengan pengkafiran secara lepas (takfir muthlaq) dan ancaman secara lepas. Oleh karena itu, celaan secara lepas di dalam Al-Qur'an dan as-sunnah bersyarat dengan terpenuhinya syarat-syarat dan tiadanya penghalang-penghalang…
Saya telah menjelaskan kepada mereka bahwa telah diriwayatkan dari para ulama salaf dan para imam tentang pengkafiran secara lepas terhadap orang yang mengatakan begini dan begitu. Riwayat tersebut benar, namun ada perbedaan antara (pengkafiran) secara lepas dan (pengkafiran) terhadap individu tertentu; barangsiapa mengatakan begini maka baginya begini. Hal itu seperti perkataan para ulama salaf: barangsiapa mengatakan begini maka ia telah begini. Kemudian individu tertentu (yang mengatakan hal tersebut) bisa saja terbebas dari ancaman tersebut; dengan bertaubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapus keburukan-keburukan, atau musibah-musibah yang menggugurkan dosa-dosa, atau syafa'at yang diterima." (Majmu' Fatawa, 3/230, 10/329, dan 23/41) 
***
Kaedah Umum Takfir Mu'ayyan
Berdasar dalil-dalil Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' salaf; secara umum para ulama merumuskan kaedah-kaedah umum takfir mu'ayyan sebagai berikut:
1. Bersikap hati-hati dan teliti sebelum mengkafirkan seorang individu tertentu (mu'ayyan)
2. Telah terpenuhi syarat pengkafiran pada perbuatan individu tertentu tersebut, yaitu:
  • Ucapan dan perbuatan yang dilakukan individu tertentu tersebut jelas-jelas menunjukkan sebuah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam dan tidak mengandung kemungkinan lain, misalnya kemungkinan ‘sekedar' bid'ah, dosa besar, atau kufur asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam.
  • Dalil-dalil syar'i secara tegas telah menunjukkan kekafiran ucapan atau perbuatan tersebut.
3. Telah terpenuhi syarat pengkafiran pada diri individu tertentu tersebut, yaitu:
  • Pelaku adalah seorang mukallaf, yaitu berusia baligh dan berakal sehat.
     
  • Telah tegak hujah (sampainya ilmu atau dakwah kebenaran) kepadanya dan tidak ada lagi syubhat yang menimpanya.
     
  • Pelaku melakukannya secara sadar dan sengaja, bukan karena ketidak sengajaan dan ketiadaan niat.
     
  • Pelaku melakukannya secara sukarela dan atas keinginannya sendiri, bukan karena paksaan yang disertai siksaan keji yang diluar batas kemampuannya.
4. Tidak ada penghalang-penghalang pengkafiran pada diri individu tertentu tersebut, yaitu:
  • Kebodohan (al-jahlu)
     
  • Kekeliruan atau ketidak sengajaan (al-khatha' atau intifa' al-qasdi)
     
  • Salah memahami dalil (at-ta'wilu)
     
  • Paksaan yang disertai siksaan (al-ikrahu)
     
  • Ijtihad
5. Kekafiran individu tertentu tersebut telah terbukti secara sah, dengan adanya bukti-bukti atau kesaksian dua orang saksi yang adil.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut secara luas dapat kita temukan dalam buku-buku tulisan para ulama. Insya Allah pada kajian berikutnya akan diberikan penjelasan yang lebih memadai tentang kaedah-kaedah di atas. Wallahu a'lam bish-shawab.

Bersambung, insya Allah... 
(muhib almajdi/arrahmah.com)


Serial kajian tentang takfir muayyan #3: Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran (1)?
Muhib Al-Majdi
Jum'at, 8 Juni 2012 22:40:35
http://static.arrahmah.net/images/_t/r_w_285/stories/2012/06/WR_uzur-jahil.png
(Arrahmah.com) – Salah satu udzur dalam pengkafiran yang mendapat bahasan luas dari para ulama Islam adalah kebodohan. Apakah yang dimaksud dengan kebodohan dalam masalah pengkafiran? Bagaimanakah kedudukannya dalam syariat? Adakah klasifikasi dan tingkatannya? Adakah dalil-dalil syar'i atas hal itu? Bagaimana contoh penerapan ulama terhadapnya?
Beberapa permasalahan inilah yang akan diuraikan dalam artikel kali ini dan artikel-artikel selanjutnya, insya Allah.
***
Definisi Kebodohan (Al-Jahlu)
Dalam bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan memiliki beberapa pengertian:
a. Tidak mengetahui sesuatu hal, disebut juga al-jahl al-basith (kebodohan sederhana). Contoh: seseorang tidak mengetahui hukum shalat tarawih.
b. Meyakini dan memahami sesuatu hal yang bertolak belakang dengan realita sebenarnya, disebut juga al-jahl al-murakkab (kebodohan ganda). Contoh: seseorang meyakini hukum shalat tarawih adalah farhu ‘ain.
c. Mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak seharusnya diucapkan atau dilakukan, meskipun ia mengetahui kekeliruannya. Contoh: Seseorang sudah mengetahui shalat lima waktu itu wajib, namun ia tidak melaksanakannya dengan alasan malas atau sibuk. Atau seseorang sudah tahu berzina itu haram, namun ia masih juga berzina. Orang seperti ini disebut orang bodoh, meskipun ia seorang ulama atau profesor doktor yang mumpuni ilmunya.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, "Kebodohan itu ada dua macam: (1) tidak mengetahui kebenaran yang bermanfaat dan (2) tidak mengamalkan tuntutan dari kebenaran yang bermanfaat. Keduanya adalah kebodohan menurut tinjauan bahasa, syariat, dan realita (hakekat). Nabi Musa AS berkata,
{أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ}
 "Aku berlindung kepada Allah dari termasuk golongan orang-orang bodoh." (QS. Al-Baqarah [2]: 67) Maksudnya adalah berlindung dari termasuk golongan orang-orang yang mengolok-olok. Beliau mengucapkan hal ini sebagai jawaban dari perkataan kaumnya,
أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
"Apakah engkau menjadikan kami sebagai bahan olok-olokan?"(QS. Al-Baqarah [2]: 67)
Nabi yang Shiddiq (terpercaya) Yusuf AS berkata, 
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku (untuk berzina).  Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka berzina) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf [12]: 33) Maksudnya tentulah aku termasuk golongan orang-orang yang melanggar apa yang Engkau haramkan.
Allah SWT berfirman,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan, (QS. An-Nisa' [4]: 17)
Imam Qatadah berkata, "Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa segala hal yang dengannya Allah dimaksiati adalah sebuah kebodohan."
Ulama lain berkata, "Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa siapa pun yang melakukan kemaksiatan kepada Allah adalah orang yang bodoh." (Madarijus Salikin Syarh Manazilus Sairin, 1/467 karya imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Dalam bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan (al-jahlu) adalah lawan kata dari pengetahuan (al-ilmu), juga lawan kata dari sifat santun dan kemampuan mengendalikan diri (al-hilmu). Orang yang mudah marah, tidak sabaran, gegabah, tidak bijaksana dan emosional dalam bahasa Arab dan syariat Islam juga disebut orang bodoh, meskipun ia adalah seorang ulama atau professor doktor yang mumpuni ilmunya. Pengertian ini antara lain disebutkan dalam firman Allah SWT,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (QS. Al-Furqan [25]: 63)
Dan dalam sabda Rasulullah SAW,
إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنِ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
Jika salah seorang di antara kalian melakukan shaum pada suatu hari, maka janganlah ia berkata jorok dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencaci maki dirinya atau mengganggunua, hendaklah ia menjawab, "Aku sedang shaum, aku sedang shaum." (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi berkata, "Hadits ini melarang dari ar-rafats yaitu perkataan yang kotor dan perkataan yang keji, (dan melarang dari al-jahl). Al-Jahl memiliki makna yang dekat dengan ar-rafats, yaitu tidak bijaksana dan tidak tepat dalam berbicara atau berbuat." (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8/28, karya imam An-Nawawi)
***
Definisi Kebodohan terhadap perkara-perkara akidah
Yang dimaksud dengan kebodohan terhadap perkara-perkara akidah adalah:
a. Seorang mukallaf tidak mengetahui sebuah perkara akidah yang merupakan pokok urusan dalam agama Islam, seperti tidak mengenal Allah, atau tidak mengetahui Allah semata Tuhan Yang berhak diibadahi.
b. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian rincian ibadah sehingga ia menujukan sebagian rincian ibadah tersebut kepada selain Allah.
c. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian nama Allah atau sebagian sifat-Nya.
d. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian permasalahan lain yang berkaitan dengan keimanan. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I'tiqad Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 18 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
***
Antara Jahl Ikhtiyari dan Jahl Idhtirari
Para ulama menyebutkan bahwa kebodohan bisa dikelompokkan menjadi dua:
Pertama, al-jahl al-ikhtiyari
Al-Jahl Al-Ikhtiyari adalah kebodohan yang terjadi karena keteledoran, kemalasan, dan keengganan seorang mukallaf untuk mencari ilmu. Mukallaf dalam hal ini melakukan kesalahan, yaitu malas dan tidak bersungguh-sungguh mencari ilmu tentang akidah dan tauhid. Ia dianggap berpaling dari dalil kebenaran (hujah), sehingga ulama sepakat bahwa ia tidak diberi udzur atas kebodohannya.
Kebodohan ini disebut ikhtiari (atas pilihan dan kehendak sendiri), karena mukallaf memiliki kemampuan untuk menghilangkan kebodohan dirinya dengan cara menuntut ilmu. Sikap dirinya yang tidak menuntut ilmu merupakan pilihan sikapnya sendiri, seakan-akan ia memilih kebodohan dengan tetap mempertahankan kebodohannya dan tidak hendak menghilangkannya. (Kasyrul Asrar, 4/533 karya Al-Bazdawi dan Al-Furuq, 2/149-150 karya Al-Qarafi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Sesungguhnya udzur dalam masalah keyakinan maksudnya bukanlah untuk dipertahankan, justru wajib untuk menghilangkannya sesuai kemampuan. Kalau tidak begitu, tentulah tidak wajib menerangkan (mengajarkan) ilmu dan  tentulah lebih baik membiarkan manusia di atas kebodohan mereka, serta tentulah tidak mengungkapkan dalil-dalil dalam perkara-perkara yang samar lebih baik daripada menjelaskannya." (Majmu' Fatawa, 20/279-280)
Kedua, al-jahl al-idhtirari
Al-jahl al-idhtirari adalah kebodohan yang dialami oleh seorang mukallaf, sementara ia memiliki keinginan kuat untuk mencari ilmu dan petunjuk kebenaran. Kebodohan jenis ini terjadi karena tidak adanya kemampuan dan kemudahan untuk mencari ilmu. Kebodohan seperti ini memiliki pengaruh terhadap hukum dengan menggugurkan hukuman atas orang yang keliru. Allah SWT berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
Allah SWT telah mengangkat dari seorang muslim (dosa dan hukuman) yang terjadi karena kekeliruan, kelupaan, dan sesuatu yang berada di luar kesanggupannya. (At-Tasyri' Al-Jinai Al-Islami, 1/431 karya syaikh Abdul Qadir Audah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang mulia yang bersungguh-sungguh (ulama mujtahid) dalam mencari ilmu sesuai apa yang ia dapatkan pada zaman dan pada tempat ia hidup, jika tujuannya adalah mengikuti Rasulullah SAW sesuai kemampuannya, adalah lebih layak jika Allah menerima kebaikan-kebaikannya, memberinya pahala atas kesungguhannya dan tidak menghukumnya atas kekeliruannya, sebagai realisasi dari firman-Nya,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
(Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (QS. Al-Baqarah [2]: 286) (Majmu' Fatawa, 20/165-166 dan Dar'u Ta'arudh Al-Aql wan Naql, 2/315)
Dari penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan:
a. Jika kebodohan terjadi karena adanya unsur keteledoran dan tiadanya kesungguhan untuk menuntut ilmu padahal ada kemampuan mencari ilmu, maka kebodohan tersebut tidak menjadi udzur.
 b. Adapun jika kebodohan terjadi meski telah ada kemauan dan usaha sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, maka kebodohan tersebut menjadi udzur.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, "Ulama umat Islam telah sepakat bahwa kebodohan terhadap perkara-perkara agama yang bersifat qath'i dan telah menjadi ijma' serta merupakan perkara yang telah pasti sebagian bagian ajaran dien Islam (ma'lum minad dien bi dharurah, perkara agama yang telah diketahui oleh semua umat Islam baik ulama maupun orang awam), seperti tauhid, kebangkitan, rukun Islam, haramnya zina dan khamr, bukanlah menjadi udzur bagi orang yang teledor (tidak sungguh-sungguh) dalam mencarinya (mempelajarinya) padahal faktor-faktor pendukung mencari ilmu terpenuhi. Adapun orang yang tidak teledor, seperti orang yang belum lama masuk Islam, atau orang yang hidup di puncak gunung ---misalnya--- di mana ia tidak menemukan ulama sebagai tempat belajar, maka ia mendapat udzur." (Majmu' Bidh'i Rasail Diniyah fil Aqaid Al-Islamiyah, hlm. 41 pada bagian footnote)
Imam Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimi Al-Yamani berkata, "Demikian pula barangsiapa mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkomitmen dengan Islam, namun ia tidak mengetahui makna kedua kalimat syahadat secara terperinci, maka keislamannya diteriman. Namun ia tidak diberi udzur jika ia melakukan hal yang membatalkan syahadat. Kecuali jika ia belum lama masuk Islam dan belum memiliki kemampuan untuk belajar, dan ketika dijelaskan kepadanya bahwa ucapannya atau perbuatannya menyelisihi syahadat sehingga ia berhenti darinya…Dan ketahuilah bahwasanya ‘baru masuk Islam' itu tidak memiliki batasan tertentu, tetapi standar penilaiannya adalah teledor (tidak sungguh-sungguh) atau tidak teledor dalam mencari ilmu. Barangsiapa tidak teledor dari mencari ilmu, maka ia diberi udzur. Adapun barangsiapa teledor, maka ia tidak diberi udzur." (Raf'ul Isytibah ‘an Ma'nal Ibadah wal Ilah, hlm. 52 karya Imam Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimi Al-Yamani)
Imam Al-Qarafi Al-Maliki berkata, "Kaedah syariat menunjukkan bahwa setiap kebodohan yang bisa ditolak maka tidak menjadi alasan bagi orang yang bodoh. Karena sesungguhnya Allah telah mengutus para rasul-Nya kepada makhluk-Nya dengan risalah-risalah-Nya, dan Allah mewajibkan mereka semua untuk mempelajari risalah-risalah-Nya tersebut, kemudian (Allah mewajibkan mereka semua untuk) mengamalkannya. Mengilmui dan mengamalkannya adalah dua kewajiban. Maka barangsiapa tidak belajar dan tidak mengamalkan serta ia tetap berada dalam kebodohannya, niscaya ia telah melakukan dua kemaksiatan karena ia meninggalkan dua kewajiban." (Al-Furuq, 4/264 karya imam Al-Qarafi) 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun masalah pengkafiran, pendapat yang benar adalah (pendapat yang menyatakan bahwa) barangsiapa dari umat nabi Muhammad SAW yang berijtihad dan menginginkan kebenaran lalu ia keliru, maka ia tidak menjadi kafir, bahkan kekeliruannya dimaafkan. Dan barangsiapa telah jelas baginya ajaran Rasulullah SAW kemudian ia menentang Rasulullah SAW setelah jelas baginya petunjuk dan ia mengikuti jalan selain orang-orang mukmin, maka ia adalah orang yang kafir. Adapun barangsiapa mengikuti hawa nafsunya dan teledor dalam mencari ilmu serta berbicara tanpa landasan ilmu, maka ia adalah pelaku kemaksiatan dan orang yang berdosa. Kemudian, terkadang ia menjadi orang fasik. Dan terkadang ia memiliki kebaikan-kebaikan yang lebih unggul daripada keburukan-keburukannya."(Majmu' Fatawa, 12/180)
Imam Ibnu Al-Lahham Al-Hambali berkata, "Orang yang bodoh terhadap sebuah hukum hanya diudzur apabila ia tidak teledor dan tidak meremehkan upaya mempelajari hukum tersebut. Adapun jika ia teledor atau meremehkan, maka secara pasti ia tidak diudzur."(Al-Qawa'id wal Fawaid Al-Ushuliyah, hlm. 58 karya imam Ibnu Al-Lahham Al-Hambali)
Inilah sebagian perkataan para ulama tentang pembagian kebodohan kepada kebodohan yang diberi udzur dan kebodohan yang tidak diberi udzur. Dari uraian mereka menjadi jelas bahwa standar penilaian sebuah kebodohan sebagai udzur atau bukan udzur adalah:
a. Setiap kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan ada kemampuan untuk belajar: bukanlah udzur.
b. Setiap kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan tidak ada kemampuan untuk belajar: adalah udzur.
***
Kedudukan masalah ini dalam agama Islam
Masalah kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak menjadi udzur merupakan permasalahan fiqih, bukan termasuk pokok-pokok masalah akidah. Permasalahan kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak menjadi udzur dibahas dalam bab kemurtadan (ar-riddah) pada buku-buku fiqih. Sebab tujuan pembahasan tersebut adalah mencari kepastian apakah hujah telah tegak atau belum tegak atas diri mukallaf yang bodoh terhadap sebuah permasalahan tertentu dalam bidang akidah. Barangsiapa tidak mengetahui hukum permasalahan tersebut dan ia bukan orang yang teledor atau lalai dalam menuntut ilmu, maka ia dianggap memiliki udzur. Sebaliknya, barangsiapa tidak mengetahui hukum permasalahan tersebut karena ia teledor atau lalai dalam menuntut ilmu, maka ia dianggap tidak memiliki udzur.
Hal yang lain yang menunjukkan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan cabang fiqih, bukan permasalahan pokok-pokok akidah adalah permasalahan ini adalah cara dan sarana untuk mengetahui nama-nama dalam agama (al-asma', seperti nama: muslim, mukmin, fasik, musyrik, kafir, atau murtad--pent) dan hukum-hukum dalam agama (al-ahkam, seperti: terjaganya nyawa, harta dan kehormatan atau halalnya nyawa, harta, dan kehormatan; bisa mewarisi dan diwarisi atau tidak bisa mewarisi dan diwarisi; boleh menikahi dan dinikahi atau tidak boleh menikahi dan dinikahi---pent).
Karena memvonis seorang muslim dengan vonis kafir, misalnya, karena ia melakukan sebuah kekufuran, menuntut penelitian dan pengkajian tentang kondisi muslim tersebut. Apakah ia memiliki udzur kebodohan karena ia telah berusaha mencari ilmu kebenaran namun tidak mendapatkannya, dan ia bukan orang yang teledor atau meremehkan kewajiban menuntut ilmu? Ataukah ia tidak memiliki udzur kebodohan karena ia meremehkan atau teledor dari kewajiban menuntut ilmu, padahal ia memiliki kesempatan dan kemampuan? Apakah ia memiliki udzur dipaksa yang disertai siksaan keras (al-ikrah) ataukah tidak? Apakah ia memiliki udzur salah memahami dalil (at-ta'wil) ataukah tidak? Apakah ia memiliki udzur kekeliruan dan tiadanya maksud (al-khatha' atau intifa' al-qasd) ataukah tidak?
Dengan demikian, permasalahan ini termasuk permasalahan sarana (al-wasail), bukan termasuk permasalahan tujuan dan pokok urusan akidah (al-maqashid dan al-ushul) sehingga orang yang berbeda pendapat tidak divonis sesat, ahli bid'ah, fasik atau kafir. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I'tiqad Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 22-23)
Dengan demikian, permasalahan ini juga termasuk perkara ijtihadiyah, karena permasalahan meremekan atau tidak meremehkan, teledor atau tidak teledor, tidaklah memiliki batasan yang tegas dan baku untuk setiap individu mukallaf. Ia bisa berbeda-beda sesuai perbedaan individu, tempat, dan zaman, sehingga pendapat para ulama pun bisa berbeda-beda dalam menentukannya. (Lihat Naqdhu Asas At-Taqdis hlm. 5 dan Bughyatul Murtaad hlm. 311, keduanya karya Ibnu Taimiyah Al-Harrani dan Thariqul Hijratain wa Babus Sa'adatain, hlm. 611-612 karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Oleh karenanya, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan syaikh Athiyatullah Al-Libi menegaskan bahwa masalah ini termasuk permasalahan fiqih. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata,
"Perbedaan pendapat dalam masalah udzur dengan kebodohan adalah seperti perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah fiqih ijtihadiyah lainnya. Dan terkadang perbedaan tersebut hanya berupa perbedaan lafal dalam sebagian kesempatan guna menerapkan hukum atas seorang individu tertentu. Maksudnya, semua pihak sepakat bahwa perkataan (keyakinan) ini adalah kekafiran, atau perbuatan ini adalah kekafiran, atau meninggalkan perkara ini adalah kekafiran. Namun apakah hukum (vonis kafir) ini telah sesuai untuk seorang individu tertentu karena telah terpenuhinya faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent) pada dirinya dan tiadanya penghalang pada dirinya; ataukah hukum tersebut tidak sesuai sesuai untuk seorang individu tertentu tersebut karena belum terpenuhinya beberapa faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent) pada dirinya atau adanya beberapa penghalang pada dirinya?" (Syarhu Kasyfi Syubuhat, hlm. 37 karya syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Saat membahas beberapa catatan penting seputar permasalahan udzur dengan kebodohan, syaikh Athiyatullah Al-Libi berkata, "Pertama, ketahuilah bahwa masalah ini termasulah masalah ijtihad yang caranya adalah istinbath (penyimpulan hukum) dan cara mengetahuinya adalah penggalian makna dalil, karena ia bukanlah masalah yang telah disebutkan dalilnya secara nash dalam syariat. Wallahu a'lam.
Perkataan kami bahwa permasalahan ini tidak disebutkan dalilnya secara nash dalam syariat bermakna tidak ada nash terhadap masalah ini secara umum dan sebagai sebuah kaedah, misalnya. Hal ini tidak menegasikan bahwa di dalam nash-nash firman Allah dan sabda Rasulullah SAW terdapat hal yang menunjukkan udzur bagi seseorang tertentu pada suatu keadaan tertentu atau keadaan-keadaan lain. Kemudian nash-nash tersebut yang menuat penunjukan-penunjukan tersebut dipakai dan dijadikan dalil oleh para ulama fiqih, dan dalam mengambil kesimpulan hukum (istimbath) dari keseluruhan (penujukan-penunjukan nash tersebut) terjadilah perbedaan pendapat.
Kedua, oleh karena itu berbeda-berbeda pemahaman para ulama dan beragam ijtihad mereka, dan dalam masalah tersebut muncul pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda yang insya Allah akan kami isyaratkan, seperti halnya masalah-masalah ijtihad dan perbedaan pendapat lainnya.
Kelima, Ketahuilah bahwa masalah ini termasuk masalah fiqih (dengan pengertiannya secara istilah yaitu mengetahui hukum-hukum syariat dalam perkara-perkara ‘amaliyah yang disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci). Hal itu karena masalah ini adalah ‘amaliyah dan cara mengetahuinya adalah dengan menggali penunjukan dalil (istidlal) dan menggali kesimpulan hukum (istinbath) seperti yang tadi kami sebutkan.
Ia berupa fatwa atau keputusan hakim, dan menurut para ulama masalah ia masuk dalam masalah kemurtadan (ar-ridah), yaitu sebuah bab dalam ilmu fikih. Hal ini tidak berarti masalah ini tidak disebutkan dalam pembahasan ilmu akidah dan tauhid, karena tidak samar lagi bahwa masalah ini memiliki kaitan yang erat dengan akidah dan tauhid. Hal ini termasuk bagian dari masuknya satu permasalahan ke dalam beberapa cabang ilmu. Selain itu, setiap hukum syar'i ‘amali memiliki kaitan dengan akidah, yaitu meyakini hukum tersebut. Namun masalah ini lebih spesifik dengan bab fiqih seperti telah saya sebutkan. Baik anda menganggapnya sebagai bagian dari ilmu ini (fiqih) atau ilmu itu (akidah dan tauhid), ia tetap saja termasuk masalah ijtihad." (Fatwa syaikh Athiyatullah Al-Libi, dimuat dalam situs ana al-muslim)
***
Kebodohan terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur
Kebodohan terhadap tauhid dan masalah-masalah akidah tidaklah satu tingkatan, melainkan bertingkat-tingkat. Oleh karenanya ia terbagi menjadi tiga bagian:
a. kebodohan yang disepakati oleh ulama sebagai udzur.
b. kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur.
c. kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama sebagai udzur atau bukan udzur.
Pembagian ini disebabkan karena sebagian kebodohan terjadi karena ada unsur keteledoran atau meremehkan dari mencari ilmu sehingga ia disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur. Sebagian kebodohan terjadi meskipun mukallaf telah berusaha untuk mencari ilmu, sehingga ia disepakati oleh ulama sebagai udzur. Ada juga sebagian kebodohan yang berada di antara kedua keadaan tersebut, sehingga diperselisihkan oleh para ulama menjadi udzur atau bukan udzur. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 26)
Kebodohan terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur adalah kebodohan yang kembalinya kepada tidak mengetahui secara global (al-ilmu al-ijmali) makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah SAW, karena pengetahuan secara global terhadap makna dua kalimat syahadat adalah syarat sah syahadat.
Kebodohan seperti itu hanya terjadi karena adanya unsure meremehkan atau teledor dari kewajiban menuntut ilmu. Sebagian ulama bahkan berpendapat kebodohan seperti itu tidak ada sama sekali, karena hujah (bukti-bukti dan dakwah kebenaran) atas masalah tersebut telah tegak atas setiap individu.
Para ulama menyebutkan di antara bentuk-bentuk kebodohan yang disepakati tidak menjadi   udzur adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengetahui hakekat dakwah Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Maka ia memperbolehkan beribadah kepada selain Allah atau ia meyakini ada sesuatu makhluk selain Allah yang berhak diibadahi, atau meyakini dan menamakan sesuatu makhluk sebagai Allah (Tuhan) yang berhak diibadahi. Kebodohan seperti ini menurut kesepakatan ulama tidak menjadi udzur. Pelakunya menurut kesepakatan ulama adalah orang kafir murtad dan tidak diberi udzur atas kebodohannya.
Contoh:
  •  Seorang muslim yang terkena virus sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) sehingga ia meyakini semua agama baik dan benar. Keyakinan ini berarti mengakui adanya makhluk selain Allah yang berhak diibadahi. Sebab agama selain Islam beribadah kepada selain Allah dan menuhankkan selain Allah. Orang Hindu beribadah kepada para dewa. Orang Budha beribadah kepada manusia (Sidharta Gautama), orang Sinto beribadah kepada matahari. Orang Kristen beribadah kepada Isa bin Maryam, Maria, dan Roh Kudus Yesus. Orang Konghucu beribadah kepada patung-patung dewa. Dan seterusnya. Meyakini semua agama baik dan benar berarti membenarkan peribadatan orang-orang kafir tersebut kepada makhluk selain Allah. Maka ia telah murtad menurut kesepakatan ulama dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
     
  • Para filosof yang meyakini makhluk selain Allah boleh diibadahi. Seperti Fakhruddin Ar-Razi, seorang filosof, ulama tafsir dan fiqih yang mengarang buku As-Sirru Al-Maktum fis Sihri wa Mukhathabatin Nujum, di mana ia membolehkan bahkan menganggap baik peribadatan kepada matahari, bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya. Buku tersebut ia tulis sebagai hadiah bagi ibu dari penguasa Daulah Syiah Khawarizm Syah, sultan Alauddin Muhammad bin Laksy bin Jalaluddin Khawarizm Syah. Para ulama sepakat memvonis dirinya murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi dirinya (Majmu' Fatawa, 13/180-181 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
     
  • Kelompok Babiyah, sempalan dari Syi'ah Rafidhah. Pengikut aliran ini meyakini bahwa Mirza Ali Muhammad Ridha asy-Syirazi yang berjuluk al-Bab adalah pencipta segala sesuatu dengan kalimatnya, dialah awal dari segala sesuatu. Mereka meyakini Budha adalah agama yang benar, Konghucu adalah agama langit, Zeroaster adalah agama yang lurus, para tokoh India, Cina dan Persia adalah para nabi.
     
  • Kelompok Syi'ah Saba'iyah menurut kesepakatan ulama adalah orang-orang murtad karena mereka dengan terang-terangan meyakini dan mengakui khalifah Ali bin Abi Thalib RA adalah Rabb yang menciptakan dan memberi mereka rizki. Ali bin Abi Thalib RA  telah memerintahkan mereka untuk bertobat, namun mereka tetap bersikeras di atas keyakinan mereka. Maka Ali bin Abi Thalib menghukum mati mereka dengan dibakar di gerbang masuk kota Kindah, Irak pada masa kekhalifahannya. Hadits tentang peristiwa tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Thahir Al-Mukhlis dari Syarik Al-Amiri dengan sanad hasan (Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 12/270 karya imam Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Jika seorang muslim meyakini seorang makhluk sebagai Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, mengatur alam semesta, menghidupkan atau mematikan maka berarti ia mengakui adanya Ilah dan Rabb selain Allah. Ulama sepakat menyatakan orang seperti ini kafir murtad dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
  • Kelompok Syi'ah Isma'iliyah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang tidak memiliki sifat kesempurnaan apapun. Mereka meyakini bahwa Allah menciptakan makhluk pertama yang memiliki sifat kesempurnaan, yaitu Al-‘Aql Al-Awwal atau Al-‘Aql Al-Kulli (akal pertama atau akal yang menyeluruh). Mereka meyakini Al-Aql Al-Awwal adalah Maha Esa, Maha Kekal, dan Maha menciptakan seluruh makhluk lainya. Mereka juga meyakini bahwa para imam kelompok Syi'ah Isma'iliyah adalah cahaya Allah, wajah Allah, pinggang Allah, dzat yang akan melakukan perhitungan amal manusia pada hari kiamat dan memasukkan manusia ke surga atau neraka, Dzat Yang Maha Esa, Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba, jalan yang lurus, Al-Qur'an yang mulia, dan sifat-sifat ke-Tuhanan lainnya. Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki kedudukan di atas seluruh nabi dan wali, sebab Ali bin Abi Thalib adalah Dzat Yang Maha Esa (Al-Fardhu Al-Ahad), Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba (Ash-Shamad), tiada sekutu baginya dan tiada seorang makhluk pun yang setara dengannya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 86-89 dan 102-105 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Kelompok Syiah Isma'iliyah berhasil mendirikan sebuah negara di Maghrib (Tunisia) kemudian menaklukkan Mesir. Mereka menamakan negaranya secara palsu Daulah Fathimiyah, sedangkan para ulama Islam menamakannya Daulah Ubaidiyah. Para ulama Islam telah sepakat para penguasa Daulah Ubaidiyah adalah orang-orang kafir murtad. (Siyar A'lam An-Nubala', 15/154-156 karya imam Adz-Dzahabi, Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, 3/30 karya qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahsibi, dan Majmu' Fatawa, 35/138-139 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
  • Kelompok Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syi'ah Isma'iliyah, memiliki keyakinan yang sama dengan Syi'ah Isma'iliyah. Perbedaannya, kelompok Qaramithah secara terang-terangan menerapkan akidah dan agama Syi'ah Isma'iliyah di negara yang mereka kuasai yaitu Bahrain pada abad 3 dan 4 Hijriyah. Sementara Daulah Ubaidiyah tidak bisa sepenuhnya menerapkan akidah dan agama Syi'ah Ismailiyah di wilayah kekuasaannya, Mesir, karena mayoritas penduduknya adalah ahlus sunnah yang memusuhi Syi'ah Ismailiyah. Sesuai arahan dari raja Daulah Ubaidiyah, Ubaidullah Al-Mahdi kepada raja Qaramithah, Sulaiman bin Said Al-Janabi (Abu Sa'id Al-Janabi), kelompok Qaramithah menerapkan agama Syi'ah Isma'iliyah secara terang-terangan karena kekuatan yang mereka miliki.
Kepada masyarakat, Qaramithah menerapkan doktrin bahwa Al-Aql Al-Awwal atau Al-Aql Al-Kulli adalah Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha menciptakan seluruh makhluk. Mereka meyakini Imam (pemimpin kelompok Qaramithah) adalah penampakan dari Tuhan. Oleh karena itu kelompok Qaramtihah meyakini segala bentuk ibadah dan sifat kesempurnaan harus ditujukan kepada Imam, sebagai hijab dan bab (penghubung dan perantara) dengan Tuhan Yang di langit. ((Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 159-161 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib).
Para ulama Islam sepakat bahwa kelompok Qaramithah adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
  • Kelompok Nushairiyah, sebuah kelompok sempalan dari Syi'ah Isma'iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu mereka beribadah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka juga meyakini ketuhanan tiga unsur; Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Abdillah SAW, dan Salman Al-Farisi.
Mereka meyakini Allah secara berturut-turut menampakkan diri-Nya dalam wujud manusia agar dikenali dan diibadahi oleh umat manusia. Menurut keyakinan mereka, Allah menampakkan diri-Nya dalam wujud; Habil putra Adam, kemudian pada diri Syits, kemudian pada diri Sam putra Nuh, kemudian pada diri Ismail putra Ibrahim, kemudian pada diri Harun saudara Musa, kemudian pada diri Sham'un Ash-Shafa yang di kalangan umat Nasrani disebut Petrus, dan terakhir pada diri Ali bin Abi Thalib.
Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib secara batin adalah Tuhan yang berhak disembah (Ilah) dan secara lahir adalah imam, ia tidak beranak dan tidak diperanakkan, kekal selamanya tidak pernah mati dan tidak pernah dibunuh, tidak makan dan tidak minum, dan ia mengangkat Muhammad bin Abdullah SAW sebagai juru bicara. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 341-354 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Maka ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
  • Kelompok Druz, sebuah kelompok sempalan dari Syi'ah Isma'iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Al-Hakim bi Amrillah (Abu Ali Al-Manshur bin Nizar Al-Aziz billah Al-Ubaidi, 375-411 H), raja ketiga Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari penguasaan Mesir dan raja keenam Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari pendirian negara di Tunisia. Mereka meyakini Al-Hakim bi Amrillah adalah Rabb dan Ilah (Tuhan Yang berhak untuk diibadahi). Mereka meyakini Allah mengambil jasad manusia sebagai penampakan di muka bumi, yaitu Allah menampakkan dirinya di dunia dalam jasad Al-Hakim bi Amrillah agar seluruh umat manusia mengenal dan beribadah kepadanya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 223-238 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Al-Hakim bi Amrillah sendiri juga mengklaim dirinya adalah Tuhan yang berhak diibadahi, walaupun akhirnya ia mencabut klaimnya atas saran para penasehatnya karena khawatir pemberontakan rakyat Mesir terhadapnya. (At-Tarikh Al-Islami, 28/283 dan Siyar A'lam An-Nubala', 15/173-177 keduanya karya imam Adz-Dzahabi
Maka ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.

2. Meyakini ada sebagian manusia yang tidak wajib beribadah kepada Allah. Seorang yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib beribadah kepada Allah atau tidak memiliki kewajiban melaksanakan perintah syariat Islam dan meninggalkan larangan syariat Islam, maka para ulama telah sepakat bahwa ia kafir murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku baginya. Contoh:
  • Kelompok sufi ekstrim yang berpendapat bahwa seorang sufi yang telah menggapai tingkatan (maqam) ma'rifah telah gugur atasnya kewajiban-kewajiban agama, sehingga ia tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Seperti kelompok Hululiyah, Ittihadiyah, dan Wihdatul Wujud dengan tokohnya seperti Al-Hallaj, Muhyiddin Ibnul Arabi, Ibnu Faridh, At-Tilmisani, Ash-Shadr Al-Qaunawi, Ibnu Sab'in, Syamsuddin At-Tibrizi, syaikh Siti Jenar, dan lain-lain.
     
  • Kelompok Nushairiyah yang meyakini bahwa para imam dan pemimpin kelompok mereka telah gugur atas diri mereka kewajiban-kewajiban agama, sehingga mereka tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam (seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain) telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri mereka.
     
  • Kelompok Druz yang meyakini bahwa rukun Islam yang lima telah gugur atas diri para imam dan anggota kelompok mereka, sehingga mereka tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam (seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain) telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri mereka. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 276-284)

3. Tidak mengetahui bahwa Allah dan Rasulullah SAW itu dua hal yang berbeda karena nama keduanya disejajarkan dalam dua kalimat syahadat.
Imam Abu Abdillah Mayarah Muhammad bin Ahmad Al-Maliki (wafat  1072 H) dalam bukunya Ad-Durru Ats-Tsamin fi Syarh Al-Mursyid Al-Mu'in menyebutkan bahwa para ulama Bijayah di Magrib (Tunisia) pada abad 11 Hijriyah berkumpul dan melakukan kajian. Di antara permasalahan yang mereka kaji adalah bagaimana pendapat para ulama tentang seseorang yang melakukan amalan-amalan kebaikan bersama masyarakat, namun ia tidak mengetahui benar atau salahnya amalan tersebut, ia tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illa Allah, ia tidak membedakan antara Allah dan Rasul-Nya SAW karena (lafal Allah dan Rasulullah SAW, pent) disejajarkan dalam dua kalimat syahadat?
Para ulama Bijayah menjawab, "Hal ini tidak terjadi kecuali pada penduduk pedalaman (badui) di mana tidak ada ilmu pada mereka." Sebagian ulama saat itu bertanya, "Jika demikian keadaannya, apakah ia memiliki bagian dalam Islam?" Para ulama yang hadir semuanya menjawab bahwa orang itu dan orang yang sepertinya tidak memiliki bagian apapun dalam Islam."
Imam Muhammad bin Ismail bin Al-Amir Ash-Shan'ani mengomentari, "Jawaban yang mereka fatwakan tersebut sangat jelas, tidak mungkin ada dua orang yang berselisih pendapat tentangnya." (Tathirul I'tiqad ‘an Adranil Ilhad, hlm. 74 karya imam Ash-Shan'ani dan Taisirul 'Azizil Hamid Syarh Kitab Tauhid, hlm. 60 karya syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab)

4. Tidak mengetahui bahwa Dzat Allah dan sifat-Nya berbeda dengan dzat makhluk-Nya atau meyakini Dzat Allah bersatu dengan dzat makhluk-Nya atau meyakini Dzat Allah bersemayam dalam dzat makhluk-Nya. Ulama sepakat menyatakan muslim yang memiliki keyakinan seperti ini telah murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku untuk dirinya.
Contoh:
  • Kelompok Nushairiyah yang meyakini Dzat Allah bersemayam dalam diri Ali bin Abi Thalib RA. Mereka meyakini bahwa setelah Ali bin Abi Thalib meninggalkan jasad manusianya, ia bersemayam pada bulan atau matahari. Oleh karena itu sebagian kelompok Nushairiyah beribadah kepada bulan (disebut juga kelompok Shimaliyah), dan sebagian kelompok Nushairiyah lainnya beribadah kepada matahari (disebut juga kelompok Kalaziyah). (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 323)
     
  • Kelompok Druz yang meyakini Dzat Allah bersemayam dalam diri raja daulah Ubaidiyah Mesir, Al-Hakim bi Amrillah. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 323)
     
  • Kelompok Satria Piningit Weteng Buwono yang meyakini manunggaling wujud (Allah menitis pada jasad pemimpin kelompok ini, yaitu Agus Imam Sholichin) sehingga meyakini tidak ada kewajiban shalat kepada Allah SWT.
     
  • Kelompok sufi ekstrim yang meyakini Allah bersatu dengan jasad makhluk, seperti aliran Ittihadiyah, Al-Hululiyah, dan Wihdatul Wujud. Kelompok  Ittihadiyah meyakini ada dua Dzat yang bersatu yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk. Kelompok Hululiyah meyakini ada dua dzat, yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk, lalu Dzat Allah menempati jasad makhluk-Nya sehingga kedua dzat itu menyatu, namun kedua dzat itu bisa berpisah kembali. Kelompok Wihdatul Wujud meyakini bahwa hanya ada satu dzat, Dzat Allah adalah juga dzat makhluk, sehingga semua makhluk di alam semesta ini adalah Dzat Allah itu sendiri. (At-Takfir wa Dhawabituhu, hlm. 57-58 karya syaikh Safar Al-Hawali)
Qadhi Abu Yusuf meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata, "Tidak ada udzur bagi seorang pun atas kebodohannya (ketidak tahuannya) tentang Sang Penciptanya, karena kewajiban seluruh makhluk adalah mengenal Rabb SWT dan mengesakan-Nya, berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan bumi, penciptaan dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang lain. Adapun perintah-perintah agama, maka barangsiapa belum mengetahuinya dan ilmunya belum sampai kepada dirinya, maka hujah secara hukum belum tegak atas dirinya." (Badai'u ash-Shanai' fi Tartibis Syarai', 9/521 karya imam ‘Alauddin Al-Kasani Al-Hanafi)
Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri berkata, "Adapun orang yang mengatakan bahwa Allah adalah si fulan yaitu seseorang tertentu, atau ia menyatakan bahwa Allah bersemayam (menyatu) dengan jasad seorang makhluk-Nya, atau ia menyatakan sepeninggal Nabi Muhammad SAW ada seorang nabi selain Isa bin Maryam, niscaya tidak ada dua orang pun yang berselisih dalam mengkafirkan orang tersebut, karena secara sah hujah atas setiap masalah tersebut telah tegak atas setiap orang." (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa' wan Nihal, 3/293 karya Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri)
Imam Al-Anshari Muhammad bin Nizhamuddin Al-Hindi Al-Hanafi saat menjelaskan tentang kebodohan yang bisa menjadi udzur dan kebodohan yang tidak biisa menjadi udzur, mengatakan, "Kebodohan yang tidak bisa menjadi udzur dalam keadaan apapun, tidak di dunia tidak pula di akhirat, dan tidak menjadi syubhat pula, adalah seperti kebodohan orang kafir terhadap Dzat Allah dan Rasul-Nya, karena bukti-bukti yang menunjukkan atas keesaan (Allah), sifat-sifat (Allah), dan kerasulan baik berupa alam semesta maupun mu'jizat (para nabi dan rasul, pent) sangat jelas. Sehingga ia telah termasuk perkara dharuriyat (kepastian) yang sangat terang, maka mengingkari perkara-perkara yang telah pasti (dharuriyat) adalah kesombongan, sehingga tidak diperhitungkan dan tidak dijadikan udzur."(Fawatihur Rahmaut Syarh Musallam Ats-Tsubut karya imam Al-Anshari Al-Hanafi, dalam catatan pinggir Al-Musthasfa fi Ushulil Fiqh, 2/387)

5. Tidak mengetahui bahwa nabi Muhammad bin Abdullah SAW adalah penutup seluruh nabi dan rasul, dan syariat beliau adalah syariat terakhir untuk seluruh manusia dan jin sampai hari kiamat. Ulama sepakat bahwa seorang muslim yang mengklaim dirinya sebagai nabi sepeninggal Rasulullah SAW atau ia membenarkan klaim kenabian seseorang sepeninggal Rasulullah SAW, maka orang tersebut telah kafir murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku atas dirinya.
Contoh:
  • Pengikut agama Salamullah yang membenarkan klaim Lia ‘Eden' Aminuddin bahwa malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepadanya.
     
  • Pengikut agama Ahmadiyah atau Qadiyaniyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang menerima wahyu dari Allah dan memiliki kitab suci tersendiri yaitu At-Tadzkirah.
     
  • Kelompok Nushairiyah meyakini pendiri kelompok mereka, Muhammad bin Nushair An-Numairi (mati tahun 270 H), adalah nabi yang menerima wahyu Allah. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 261-266)
     
  • Kelompok Druz yang meyakini tokoh kelompok mereka Hamzah bin Ali bin Ahmad Az-Zuzuni (mati tahun 431 H) adalah nabi yang menunjukkan umat manusia untuk beribadah kepada Al-Hakim bi Amrillah, sekaligus sebagai malaikat yang menurunkan wahyu Al-Qur'an kepada nabi Muhammad SAW, penghapus syariat seluruh nabi, yang mematikan dan membangkitkan seluruh manusia, bahkan Tuhan sebab ia adalah Al-Aql Al-Kulli. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 261-266)
     
  • Ahmad Mushaddiq yang mengklaim dirinya adalah nabi yang menerima wahyu dari Allah setelah bertapa di gunung Bunder dan para pengikutnya yang membenarkan ajarannya.
     
  • Mirza Ali Mohammad Ridha Ash-Shirazi. Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah yang mengklaim sebagai nabi, dihukum mati oleh pemerintah Iran tahun 1843.
     
  • Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat di Chicago.
 ***
Inilah sebagian bentuk kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur bagi seorang muslim. Dalil-dalil dari Al-Qur'an, as-sunnah, dan ijma' atas hal-hal di atas sudah sangat terkenal dan dipaparkan panjang lebar oleh para ulama dalam buku-buku akidah. 
Insya Allah pada kajian selanjutnya kita akan membahas kebodohan yang disepakati oleh ulama menjadi udzur bagi seorang muslim dan kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah menjadi udzur atau bukan. Wallahu a'lam bish-shawab.

Bersambung, insya Allah ….
(muhib almajdi/arrahmah.com)



Serial kajian tentang takfir muayyan #4: Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran (2)?
Muhib Al-Majdi
Ahad, 24 Juni 2012 20:58:29
http://static.arrahmah.net/images/_t/r_w_285/stories/2012/06/uzur-jahl2.jpg
(Arrahmah.com) – Pada bahasan sebelumnya telah diuraikan beberapa bentuk kebodohan yang disepakati oleh para ulama tidak bisa menjadi udzur dalam pengkafiran. Dalam bentuk-bentuk kebodohan tersebut, seorang muslim yang melakukan syirik akbar atau kufur akbar tetap divonis murtad. Adapun dalam bahasan kali ini, kita akan menguraikan bentuk-bentuk kebodohan yang disepakati oleh para ulama bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Di antara bentuk kebodohan yang disepakati oleh para ulama bisa menjadi udzur dalam pengkafiran adalah sebagai berikut:
Pertama, kebodohan terhadap perkara-perkara tauhid yang hukumnya dalam Al-Qur’an dan as-sunnah samar-samar dan tidak diketahui oleh banyak kaum muslimin, terutama masyarakat awamnya, sedangkan perkara-perkara tauhid tersebut tidak menyebabkan peribadatan kepada selain Allah dan pembatalan terhadap kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah terakhir.
Contohnya adalah:
(1). Ketidak tahuan terhadap sebagian nama dan sifat Allah. Sekalipun perkara tersebut merupakan bagian sangat penting dalam perkara tauhid sehingga diistilahkan dengan tauhid al-asma’ was shifat, namun nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah sangatlah banyak. Jika seorang muslim tidak mengetahui sebagian nama Allah atau sebagian sifat-Nya, maka ketidak tahuannya tersebut merupakan udzur bagi dirinya.
(2). Keyakinan kelompok-kelompok bid’ah yang menyelisihi keyakinan kelompok ahlus sunnah wal jama’ah dalam perkara al-asma’ dan al-ahkam. Di antara kelompok bid’ah yang menyelisihi keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah adalah seperti Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Syi’ah Zaidiyah (bukan Syiah Itsna ‘Asyariyah dan Syi’ah Ismailiyah, karena keduanya adalah kelompok murtad), Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Al-Asma’ adalah istilah-istilah dalam agama, seperti iman, kufur, nifaq, mukmin, muslim, kafir, musyrik, murtad, fasiq, dan lain-lain. Adapun al-Ahkam adalah hukum-hukum dalam agama, seperti hukum-hukum bagi orang muslim; dilindungi nyawa, harta, dan kehormatannya, berhak didoakan, berhak diwarisi dan mewarisi, halal sembelihannya, halal dinikahi, dan lain-lain. Hukum bagi orang-orang kafir; tidak terlindungi nyawa, harta, dan kehormatannya, tidak bisa diwarisi dan mewarisi, tidak boleh didoakan, tidak boleh dinikahi, tidak halal sembelihannya, tidak boleh diangkat sebagai pemimpin, dan lain-lain.
Sebagian keyakinan dan pendapat kelompok-kelompok bid’ah di atas mengandung unsur-unsur kekafiran, yaitu menolak dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir. Maka keyakinan dan pendapat mereka yang menolak sebagian dalil Al-Qur’an dan hadits tersebut divonis sebagai sebuah kufur akbar, namun pelakunya sendiri (orang yang meyakini atau mengucapkan pendapat kufur tersebut) tidak langsung divonis murtad, karena boleh jadi ia memiliki penghalang pengkafiran.
Seperti kebodohan dan tidak mengetahui dalil Al-Qur’an dan hadits tersebut, atau mengetahui dalil Al-Qur’an dan hadits tersebut namun tidak mengetahui aspek penunjukan maknanya, atau sebab lainnya. Ia tidak langsung dikafirkan, karena ajaran-ajaran syariat tidak berlaku atas seseorang kecuali setelah ajaran syariat tersebut (hujah atau dalil syar’i) sampai kepadanya dan ia bisa memahaminya. (Lihat Minhaju Ahlil Haqq wal Ittiba’, hlm. 13 karya syaikh Sulaiman bin Sahman dan Al-Kufru al-ladzi Yu’dzaru Shahibuhu bil-Jahl, hlm. 14 karya syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthain)
Ia tidak bisa dikafirkan begitu saja karena perkara-perkara tersebut terkadang samar-samar bagi seorang muslim, meskipun ia telah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i, karena banyaknya syubhat yang menghalangi dirinya dari memahami hakekat perkara-perkara tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesimpulan kajian dalam perkara ini: terkadang sebuah pendapat (keyakinan) adalah sebuah kekafiran, seperti pendapat-pendapat (keyakinan-keyakinan) kelompok Jahmiyah yang menyatakan Allah itu tidak berbicara dan Allah tidak bisa dilihat di akhirat. Namun bagi sebagian masyarakat tersamar kekafiran pendapat-pendapat tersebut. Maka divonis kafir secara mutlaq (secara lepas tanpa mengaitkan dengan individu tertentu, pent) terhadap orang yang mengucapkan (atau meyakini) pendapat (keyakinan) tersebut. Seperti halnya para salaf yang mengatakan: Barangsiapa mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk maka ia telah kafir dan Barangsiapa menyatakan Allah tidak bisa dilihat di akhirat maka ia telah kafir.
Namun individu tertentu (yang mengatakan ucapan kufur atau meyakini keyakinan kufur tersebut) tidak dikafirkan sampai tegak atasnya hujah, seperti penjelasan yang telah lalu. Seperti halnya orang yang mengingkari kewajiban shalat dan zakat, atau menghalalkan khamr dan zina sementara ia melakukan ta’wil. Sesungguhnya kenampak jelasannya perkara-perkara (hukum halal dan haram) ini di tengah kaum muslimin lebih terang dari kenampak jelasannya perkara-perkara (Al-Qur’an adalah kalam Allah dan Allah bisa dilihat di akhirat, pent) itu.
Jika orang yang melakukan ta’wil keliru dalam perkara-perkara (halal dan haram) itu dan ia tidak dikafirkan kecuali setelah dijelaskan kepadanya dan ia diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Seperti dilakukan oleh generasi sahabat terhadap sekelompok orang (Qudamah bin Mazh’un RA, Abu Jandal bin Suhail RA, dan lain-lain, pent) yang menghalalkan khamr. Maka untuk perkara-perkara lain (yang tersamar bagi masyarakat, pent) tentu lebih tepat dan lebih layak (untuk tidak dikafirkan kecuali setelah dijelaskan kepadanya dan ia diberi tenggang waktu untuk bertaubat, pent).
Untuk hal seperti ini didasarkan kepada hadits shahih, hadits orang yang mengatakan; “Jika aku mati, maka bakarlah jenazahku, kemudian tebarkanlah abu jenazahku ke lautan. Demi Allah, jika Allah sanggup untuk membangkitkanku, niscaya Allah akan mengadzabku dengan adzab pedih yang belum pernah ditimpakan-Nya kepada seorang pun dari seluruh alam.” Allah telah mengampuni orang ini, meskipun ia meragukan kekuasaan Allah dan pembangkitan dirinya jika mereka telah membakar jenazahnya.” (Syarh Hadits Jibril ‘Alaihis Salam, hlm. 572-574 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Lihat juga Majmu’ Fatawa, 3/354, 28/500-501, dan 35/165-166 serta Minhajut Ta’sis wat Taqdis fi Kasyfi Syubuhat Daud bin Jirjis, hlm. 101 karya syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh)
Saat menjelaskan makna hadits tersebut, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Orang ini mengira bahwa Allah tidak mampu (mengembalikannya) jika jasadnya telah tercerai-berai seperti itu. Ia mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkannya jika ia telah dalam keadaan seperti itu. Masing-masing dari hal ini, yaitu mengingkari kemampuan Allah dan mengingkari pengembalian (pembangkitan) badan meskipun telah tercerai-berai, adalah sebuah kekafiran. Namun ia juga memiliki iman kepada Allah, iman kepada perintahnya, dan rasa takut kepada Allah. Ia tidak mengetahui hal (kemampuan Allah) tersebut, sesat dalam persangkaan tersebut, dan keliru. Maka Allah mengampuninya atas (persangkaannya) itu.
Hadits ini tegas menunjukkan bahwa laki-laki tersebut sangat ingin agar Allah tidak mengembalikan jasadnya jika ia telah melakukan hal (pembakaran jenazah dan penaburan abu jenazah) itu. Minimalnya, keinginan seperti itu adalah keragu-raguan akan pembangkitan, dan hal itu merupakan sebuah kekafiran, ia sangat jelas menunjukkan ketiadaan imannya. Jika telah tegak hujah kenabian atas orang yang mengingkarinya (kemampuan Allah dan pembangkitan jasad) maka ia dihukumi kafir.” (Majmu’ Fatawa, 11/409)
Saat menjelaskan kelompok-kelompok bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah dalam sebagian perkara ushul (pokok-pokok agama), imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: ”Adapun kelompok-kelompok bid’ah yang sependapat (sesuai) dengan orang-orang Islam, namun menyelisihi orang-orang Islam dalam sebagian perkara ushul, seperti kelompok Rafidhah, Qadariyah, jahmiyah, Murjiah ekstrim, dan lain-lain; mereka itu terdiri dari beberapa bagian. Pertama, orang bodoh yang melakukan taqlid dan ia tidak memiliki bashirah (ilmu). Orang ini tidak vonis kafir, tidak divonis fasik, dan kesaksiannya tidak ditolak jika ia tidak mampu mempelajari petunjuk. Status hukum dirinya adalah seperti status hukum:
الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا (99)
Mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4]: 98-99)
(Ath-Thuruq al-Hukmiyyah fis Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 174 karya imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah)
Imam Ibnu Abdil Barr telah mengutip tercapainya ijma’ (kesepakatan) para ulama terdahulu dan ulama belakangan atas tidak dikafirkannya orang Islam yang tidak mengetahui sebagian nama atau sebagian sifat Allah. Beliau berkata, “Barangsiapa tidak mengetahui salah satu sifat dari sifat-sifat Allah, namun ia mengimani dan mengetahui sifat-sifat Allah lainnya, maka ketidak tahuannya atas sebagian sifat Allah tersebut tidak menjadikan dirinya kafir.
Para ulama mengatakan, “Orang yang kafir adalah orang yang menentang kebeenaran, bukan orang yang tidak mengetahui kebenaran. Ini adalah pendapat para ulama mutaqaddimin (terdahulu) dan pendapat ulama-ulama yang mengikuti jejak mereka dari kalangan ulama mutaakhhirin (belakangan).” (At-Tamhid li-Maa fil Muwatha’ minal Ma’ani wal Asanid, 18/42 karya imam Ibnu Abdil Barr)
Kesepakatan para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin ini dilandaskan kepada banyak dalil syar’i. Di antaranya hadits tentang orang yang banyak berbuat dosa, lalu ia memerintahkan kepada anak-anaknya untuk membakar jenazahnya dan menaburkan abunya di lautan pada saat angin bertiup kencang. Ia melakukan hal itu dengan harapan Allah tidak akan menyatukan jasadnya dan membangkitkannya kelak di hari kiamat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ المَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ: إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا، فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ، فَأَمَرَ اللَّهُ الأَرْضَ فَقَالَ: اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ، فَفَعَلَتْ، فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ، فَغَفَرَ لَهُ "
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda, “Pada zaman dahulu ada seorang laki-laki yang selalu berbuat dosa. Tatkala ia akan menjemput kematian, ia berpesan kepada anak-anaknya: ‘Jika aku telah mati, maka bakarlah jenazahku, lalu tumbuklah abu jenazahku dan taburkan ia (di laut, menurut lafal Muslim) pada saat angin (bertiup kencang). Demi Allah, jika Allah mampu membangkitkan diriku, tentulah Rabbku akan menyiksaku dengan siksaan pedih yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun.”
Ketika orang itu mati, pesannya dilaksanakan oleh anak-anaknya. Maka Allah memerintahkan kepada bumi, “Kumpulkanlah abu jenazahnya yang ada padamu!” Bumi melaksanakan perintah Allah, maka laki-laki itu pun kembali berdiri utuh. Allah bertanya, “Kenapa kamu melakukan tindakan seperti itu?” Laki-laki itu menjawab, “wahai Rabbku, karena rasa takutku kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni laki-laki itu. (HR. Bukhari no. 3481 dan Muslim no. 2756)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang makna hadits ini: “Paling jauh, orang ini adalah orang yang tidak mengetahui seluruh sifat yang menjadi hak Allah, dan lebih detailnya ia tidak mengetahui bahwa Allah itu Maha Berkuasa (Maha Mampu). Banyak kaum mukmin yang tidak mengetahui hal seperti ini, maka ia tidak menjadi kafir (dengan ketidak tahuannya tersebut).” (Majmu’ Fatawa, 11/411. Lihat juga Ar-Risalah ash-Shafadiyah, 1/233, keduanya karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
***
Kedua, barangsiapa yang belum lama masuk Islam dan ia tidak mengetahui rincian perkara-perkara akidah, bukan pokok keyakinan yang merupakan makna global dari dua kalimat syahadat (meyakini Allah semata Ilah yang berhak diibadahi dan Muhammad SAW adalah penutup seluruh nabi dan rasul).
Di antara dalilnya adalah:
عَنْ  أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ ، قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحُنَيْنٍ وَنَحْنُ حَدِيثُو عَهْدٍ بِكُفْرٍ فَمَرَرْنَا عَلَى شَجَرَةٍ يَضَعُ الْمُشْرِكُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا : ذَاتُ أَنْوَاطٍ  فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ  كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ  فَقَالَ : " اللَّهُ أَكْبَرُ قُلْتُمْ كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابِ لِمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ {  اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ  } " ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّكُمْ سَتَرْكَبُونَ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ " *
Dari Abu Waqid al-Laitsi RA berkata: “Kami berangkat bersama Rasulullah SAW menuju perang Hunain dan waktu itu kami belum lama meninggalkan kekafiran ---mereka masuk Islam pada masa penaklukan kota Makkah--- maka kami berjalan melewati sebatang pohon. Kami berkata: ‘Wahai Rasulullah, buatlah untuk kami Dzatu Anwat sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwat’. Pada waktu itu orang-orang kafir memiliki sebatang pohon bidara tempat mereka berkumpul di sekitarnya dan menggantungkan senjata mereka, yang mereka namakan Dzatu Anwat.
Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Allahu Akbar! Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalian telah mengatakan seperti perkataan Bani Israil kepada nabi Musa: “Buatkanlah untuk kami (patung) tuhan sesembahan sebagaimana mereka memiliki (patung-patung) tuhan-tuhan sesembahan.’ Maka nabi Musa menjawab: “Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh.” Rasulullah SAW kembali bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jejak langkah orang-orang sebelum kalian.”  (HR. Tirmidzi no. 2180, Ahmad no.  dan ia berkata: hadits hasan shahih, Ahmad no. 21897 dan 21900, Abdur Razzaq, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-sunnah no.  76, Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 3290-3294, Ibnu Abi Syaibah no. 37375, Abu Ya’la no. 1441 dan lain-lain. Sanad Ahmad dan Abdur Razzaq shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Tidak diperselisihkan lagi bahwa para sahabat yang dilarang oleh Rasulullah SAW tersebut jika mereka tidak menaati beliau dan mereka tetap mengambil Dzatu Anwat setelah mereka dilarang oleh beliau, niscaya mereka telah kafir. Inilah perkara yang diminta (berhenti dan tidak mengambil Dzatu Anwat, pent). Namun kisah ini memberi pengertian bahwa seorang muslim, bahkan seorang ulama, terkadang terjatuh dalam beberapa bentuk syirik sedangkan ia tidak mengetahuinya, maka kisah ini memerintahkan untuk senantiasa berhati-hati dan mencari ilmu…Kisah ini juga menunjukkan bahwa seorang muslim yang mujtahid (berijtihad) jika ia mengucapkan kalimat kekafiran namun ia tidak mengetahui, kemudian ia diingatkkan sehingga ia bertaubat pada waktu itu juga, niscaya ia tidak kafir, seperti halnya keadaan Bani Israil dan para sahabat yang meminta kepada nabi SAW.” (Kasyfu asy-Syubuhat, dalam kompilasi Majmu’ah at-Tauhid, hlm. 285)
Ringkasnya, para sahabat yang meminta kesyirikan dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang belum lama masuk Islam dan mereka belum mengetahui perincian-perincian tauhid, sehingga mereka mendapat udzur. Kaedah dalam hal ini berlaku umum, karena al-‘ibratu bi-‘umum al-lafzhi laa bi-khusus as-sabab, pelajaran diambil berdasar keumuman lafal dalil, bukan berdasar kekhususan latar belakang (sabab an-nuzul) dalil.
Di antara dalil lainnya yang menunjukkan sebagian rincian syirik terkadang tidak diketahui oleh orang-orang yang belum lama masuk Islam, bahkan terkadang juga tidak diketahui oleh orang-orang yang hidup di tengah Darul Islam (negeri Islam) yang terdapat banyak ulama dan sarana mempelajari ilmu syar’i adalah:
عَنْ قُتَيْلَةَ بِنْتِ صَيْفِيٍّ الْجُهَنِيَّةِ قَالَتْ: أَتَى حَبْرٌ مِنَ الْأَحْبَارِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، نِعْمَ الْقَوْمُ أَنْتُمْ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تُشْرِكُونَ، قَالَ: " سُبْحَانَ اللهِ، وَمَا ذَاكَ؟ "، قَالَ: تَقُولُونَ إِذَا حَلَفْتُمْ وَالْكَعْبَةِ، قَالَتْ: فَأَمْهَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ: " إِنَّهُ قَدْ قَالَ: فَمَنْ حَلَفَ فَلْيَحْلِفْ بِرَبِّ الْكَعْبَةِ "، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، نِعْمَ الْقَوْمُ أَنْتُمْ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تَجْعَلُونَ لِلَّهِ نِدًّا، قَالَ: " سُبْحَانَ اللهِ، وَمَا ذَاكَ؟ "، قَالَ: تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، قَالَ: فَأَمْهَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ: " إِنَّهُ قَدْ قَالَ، فَمَنْ قَالَ مَا شَاءَ اللهُ فَلْيَفْصِلْ بَيْنَهُمَا ثُمَّ شِئْتَ "
Dari Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah RA berkata: “Seorang pendeta Yahudi datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Muhammad, kalian adalah sebaik-baik kaum, seandainya saja kalian tidak musyrik (tidak ada yang berbuat syirik di antara kalian).” Rasulullah SAW bertanya, “Subhanallah, ada apa?” Pendeta Yahudi itu berkata: “Jika kalian bersumpah, kalian mengatakan Demi Ka’bah.”
Rasulullah SAW terdiam beberapa saat, kemudian beliau bersabda, “Pendeta itu telah mengatakan apa yang kalian dengarkan. Maka barangsiapa bersumpah, hendaklah ia bersumpah Demi Rabb (Tuhan pemilik) Ka’bah.”
Pendeta Yahudi itu kembali berkata, ““Wahai Muhammad, kalian adalah sebaik-baik kaum, seandainya saja kalian tidak mengambil tandingan bagi Allah.” Rasulullah SAW bertanya, “Subhanallah, ada apa?” Pendeta Yahudi itu berkata: “Kalian mengatakan,’Terserah kehendak Allah dan kehendakmu.”
Rasulullah SAW terdiam beberapa saat, kemudian beliau bersabda, “Pendeta itu telah mengatakan apa yang kalian dengarkan. Maka barangsiapa mengatakan Terserah kehendak Allah, hendaklah ia memisahkannya dengan mengatakan kemudian terserah kehendakmu.”
(HR. Ahmad no. 27093, An-Nasai dalam As-Sunan al-Kubra no. 10756 dan ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 986, Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 25/5-6, Al-Hakim no. 7815, Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 8/309, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar no. 238, dan Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra. Dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Ibnu Hajar al-Asqalani)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab saat menjelaskan hadits di atas menulis: “Hadits ini mengajarkan untuk menerima kebenaran dari siapa pun. Hadits ini juga menjelaskan larangan bersumpah dengan Ka’bah, meskipun Ka’bah adalah rumah Allah di mana berhaji dan mendatanginya untuk haji dan umrah kepadanya merupakan sebuah kewajiban. Hal ini menunjukkan bahwa larangan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun bersifat umum, tidak boleh mengambil sesuatu pun sebagai sekutu bagi Allah. Tidak malaikat yang kedudukannya didekatkan kepada Allah, tidak nabi yang diutus, tidak pula Ka’bah yang merupakan rumah Allah di bumi-Nya. (Fathul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, 1/419 karya syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh)
Dalil lainnya antara lain adalah: 
عَنْ طُفَيْلِ بْنِ سَخْبَرَةَ، أَخِي عَائِشَةَ لِأُمِّهَا، أَنَّهُ رَأَى فِيمَا يَرَى النَّائِمُ، كَأَنَّهُ مَرَّ بِرَهْطٍ مِنَ الْيَهُودِ، فَقَالَ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَحْنُ الْيَهُودُ، قَالَ: إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الْقَوْمُ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تَزْعُمُونَ أَنَّ عُزَيْرًا ابْنُ اللهِ، فَقَالَتِ الْيَهُودُ: وَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللهُ، وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ مَرَّ بِرَهْطٍ مِنَ النَّصَارَى، فَقَالَ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَحْنُ النَّصَارَى، فَقَالَ: إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الْقَوْمُ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ، قَالُوا: وَأَنْتُمُ الْقَوْمُ ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللهُ، وَمَا شَاءَ مُحَمَّدٌ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرَ بِهَا مَنْ أَخْبَرَ، ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: " هَلْ أَخْبَرْتَ بِهَا أَحَدًا؟ قَالَ: نَعَمْ، فَلَمَّا صَلَّوْا، خَطَبَهُمْ فَحَمِدَ اللهَ، وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " إِنَّ طُفَيْلًا رَأَى رُؤْيَا فَأَخْبَرَ بِهَا مَنْ أَخْبَرَ مِنْكُمْ، وَإِنَّكُمْ كُنْتُمْ تَقُولُونَ كَلِمَةً كَانَ يَمْنُعُنِي الْحَيَاءُ مِنْكُمْ، أَنْ أَنْهَاكُمْ عَنْهَا "، قَالَ: " لَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللهُ، وَمَا شَاءَ مُحَمَّدٌ "
Dari Thufail bin Sakhbarah RA, saudara seibu Aisyah RA, bahwasanya ia bermimpi seakan-akan berjalan melewati sekelompok orang Yahudi. Ia bertanya, “Siapa kalian?’ Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Yahudi.” Ia berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang baik, seandainya saja kalian tidak mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah.” Mereka berkata, “Dan sungguh kalian adalah kaum yang baik, seandainya saja kalian tidak mengatakan Terserah kehendak Allah dan terserah kehendak Muhammad.”
Ia lalu berjalan melewati sekelompok orang Nasrani. Ia bertanya, “Siapa kalian?’ Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Nasrani.” Ia berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang baik, seandainya saja kalian tidak mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah.” Mereka berkata, “Dan sungguh kalian adalah kaum yang baik, seandainya saja kalian tidak mengatakan, “Terserah kehendak Allah dan terserah kehendak Muhammad.”
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpinya kepada beberapa orang, kemudian ia mendatangi Nabi SAW dan menceritakan mimpinya. Maka Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau telah menceritakan mimpimu kepada orang lain?” Ia menjawab, “Ya.” Setelah mereka menunaikan shalat dan Nabi SAW berdiri menyampaikan khutbah. Setelah memuji Allah, Nabi SAW bersabda dalam khutbahnya, “Sesungguhnya Thufail telah bermimpi dan ia telah menceritakan mimpinya kepada beberapa orang di antara kalian. Sesungguhnya kalian telah mengatakan ucapan yang aku sungkan untuk melarang kalian dari mengucapkannya. Janganlah kalian mengatakan: “Terserah kehendak Allah dan terserah kehendak Muhammad.” (HR. Ahmad no. 20694, Ibnu Majah no. 2118, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 8214, hadits shahih. Hadits semakna diriwayatkan dari Hudzaifah bin Yaman, Rib’i bin Khirasy, Jabir bin Samurah, dan lain-lain). 
Dalam riwayat Hudzaifah bin Yaman tentang kisah tersebut, Rasulullah SAW bersabda: 
أَمَا وَاللَّهِ، إِنْ كُنْتُ لَأَعْرِفُهَا لَكُمْ، قُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ شَاءَ مُحَمَّدٌ
“Demi Allah, aku sudah mengetahuinya untuk kalian. Katakanlah: Terserah kehendak Allah, kemudian terserah kehendak Muhammad.” (HR. Ahmad no. 23339 dan Ibnu Majah no. 2118, hadits shahih)
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk mengatakan: “Terserah kehendak Allah saja.”
Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab menerangkan makna hadits di atas dengan berkata: “Hadits ini menegaskan penjelasan di muka bahwa hal ini merupakan syirik, karena adanya penyambungan kalimat (‘athaf) dengan kata sambung wa (dan). Sabda Nabi SAW, “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah?”menerangkan bahwa barangsiapa menyamakan antara hamba dengan Allah walau dalam syirik asghar, maka ia telah menjadikan hamba tersebut tandingan bagi Allah, mau atau tidak mau.”(Fathul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, 1/420) 
Hadits tentang dzatu anwath, hadits tentang bersumpah dengan nama selain Allah, dan hadits tentang Terserah kehendak Allah dan terserah kehendak Muhammad, adalah berkenaan dengan syirik asghar, bukan syirik akbar, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Hanya saja, semua hadits tersebut menunjukkan bahwa perkara-perkara tauhid dan syirik pun bertingkat-tingkat dari sudut pandang kejelasan dan kesamarannya bagi kaum muslimin, terkhusus lagi kaum awam. Tidak semua perkara tauhid dan syirik itu diketahui hukumnya dan dalil-dalilnya oleh seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam bish-shawab
***
Ketiga, barangsiapa masuk Islam di darul harbi (negara kafir) lalu ia tidak mengetahui sebagian rincian perkara akidah, bukan pokok akidah yang merupakan makna dua kalimat syahadat (meyakini hanya Allah semata yang berhak diibadahi dan Muhammad SAW adalah penutup seluruh nabi dan rasul). Hal itu karena darul harbi bukanlah tempat dikenalnya secara luas hukum-hukum (ajaran-ajaran) Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Orang-orang seperti mereka, sekalipun jumlah mereka banyak pada zaman sekarang, namun (hal itu disebabkan) oleh karena sedikitnya juru dakwah kepada ilmu dan iman, pudarnya bekas-bekas (pengaruh-pengaruh ajaran) kerasulan pada kebanyakan negeri, dan kebanyakan mereka tidak memiliki bekas-bekas ajaran kerasulan dan warisan kenabian yang dengannya mereka bisa mengetahui petunjuk, dan kebanyakan mereka belum sampai kepada mereka ajaran-ajaran tersebut.
Dan pada waktu-waktu fatrah dan tempat-tempat fatrah, seseorang diberi pahala atas sedikit keimanan yang ia miliki. Allah mengampuni bagi orang yang belum tegak hujah atas dirinya apa yang tidak Allah ampuni bagi orang yang telah tegak hujah kepadanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang terkenal, 
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, di mana mereka tidak mengenal shalat, shiyam, haji dan umrah. Kecuali kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua, mereka mengatakan; “Kami mendapati orang ua kami mengatakan Laa Ilaha Illa Allah.” Maka ditanyakan kepada Hudzaifah bin Yaman (sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut): “Apa gunanya Laa Ilaaha Illa Allah bagi mereka?” Hudzaifah menjawab, “Kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari neraka.”
Pokok dari hal itu adalah bahwasanya sebuah pendapat (keyakinan) yang merupakan sebuah kekafiran berdasar Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’, maka dikatakan: “Perkataan (keyakinan) itu adalah sebuah kekafiran”, demikianlah dikatakan secara mutlak (lepas tanpa dikaitkan dengan individu tertentu, pent) sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i. Karena masalah iman merupakan bagian dari hukum-hukum yang diterima secara langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Ia bukan termasuk perkara yang ditetapkan oleh manusia berdasar perkiraan-perkiraan dan hawa nafsu mereka.
Dan tidak setiap orang yang mengucapkan ucapan (meyakini keyakinan) kekufuran tersebut  harus divonis kafir sampai terbukti pada dirinya telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tiadanya penghalang-penghalang kekafiran.
Contohnya adalah seseorang yang mengatakan (meyakini) bahwa khamr atau riba itu halal, karena ia belum lama masuk Islam, atau karena ia hidup di daerah pedalaman (yang jauh dari ulama dan sarana ilmu syar’i). Atau ia mendengar sebuah perkataan (ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi SAW, pent) lalu ia mengingkarinya dan ia tidak meyakininya bagian dari Al-Qur’an dan bukan pula bagian dari hadits-hadits Nabi SAW.
Seperti halnya sebagian salaf yang mengingkari beberapa hal sampai menjadi pasti baginya bahwa beberapa hal tersebut disabdakan oleh Nabi SAW. Atau seperti para sahabat yang meragukan beberapa hal seperti hal melihat Allah dan lain-lain sehingga mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW.
Juga seperti orang yang mengatakan, “Jika aku telah mati, maka bakarlah jenazahku, tumbuklah debunya, dan taburkan di lautan, semoga aku hilang (lolos) dari Allah.” Dan contoh-contoh lainnya. Orang-orang tersebut tidak dikafirkan sampai tegak atas diri mereka hujah risalah, sebagaimana difirmankan oleh Allah,
 {لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ}
(Kami telah mengutus mereka) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan ancaman agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)
 Allah telah memaafkan untuk umat ini dari kekeliruan dan kelupaan.” (Majmu’ Fatawa, 35/165-166)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata;
Namun di antara manusia ada orang yang tidak mengetahui hukum-hukum yang zhahir lagi mutawatir ini dengan ketidak tahuan yang menjadi udzur. Sehingga seorang pun tidak dikafirkan sampai hujah tegak atas dirinya dengan sampainya risalah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah,
{لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ}
(Kami telah mengutus mereka) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan ancaman agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)
{وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا}
“Dan Kami tidak mengadzab (seorang pun) sampai Kami mengutus seorang rasul.” I(QS. Al-Isra’ [17]: 15)
Oleh karena itu, seandainya seseorang masuk Islam (semula kafir asli, pent) dan ia tidak mengetahui bahwa shalat itu wajib, atau ia tidak mengetahui khamr itu haram, niscaya ia tidak kafir meskipun ia tidak meyakini wajibnya shalat dan haramnya khamr. Bahkan ia juga tidak dihukum sampai hujah nabawiyah sampai kepadanya.
Bahkan para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang masuk Islam di darul harbi (negeri kafir) dan ia tidak mengetahui bahwa shalat itu wajib, kemudian ia mengetahui kewajiban shalat. Apakah iia wajib menqadha’ (mengganti) shalat wajib yang tidak ia kerjakan selama masa tidak mengetahui kewajiban shalat? Ada dua pendapat di kalangan madzhab imam Ahmad dan lainnya.
Pendapat pertama, ia tidak wajib menqadha’, dan ini merupakan pendapat (madzhab) imam Abu Hanifah. Pendapat kedua, ia wajib menqadha’, dan ini merupakan pendapat yang terkenal di kalangan ulama madzhab Syafi’i.”(Majmu’ Fatawa, 11/406)
Beliau juga mengatakan:
“Sesungguhnya barangsiapa mengingkari sesuatu bagian dari syariat-syariat yang zhahirah (terkenal dan diketahui secara luas oleh kaum muslimin, pent) jika ia adalah orang yang belum lama masuk Islam atau hidup di negeri kebodohan, maka sesungguhnya ia tidak kafir sehingga hujah nabawiyah sampai kepadanya.” (Majmu’ Fatawa, 6/61)
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata:
“Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia diajak selama tiga hari untuk mengerjakannya. Jika ia melaksanakan shalat (maka itulah yang dikehendaki). Adapun jika ia tidak mau shalat, maka ia dihukum mati, baik ia mengingkari kewajiban shalat maupun ia tidak mengingkarinya...
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari wajibnya shalat, jika orang yang seperti dirinya (selevel dengannya) mengetahui kewajiban (shalat) tersebut. Adapun jika ia termasuk orang yang belum mengetahui wajibnya shalat, seperti orang yang belum lama masuk Islam, atau orang yang hidup di selain negeri Islam (darul Islam), atau ia hidup di pedalaman yang jauh dari negeri-negeri Islam dan para ulama, maka ia tidak divonis kafir. Ia harus diberi penjelasan tentang kewajiban shalat dan dalil-dalil yang mewajibkan shalat harus ditegakkan kepadanya. Jika setelah itu ia masih mengingkari wajibnya shalat, maka ia telah kafir.
Adapun jika orang yang mengingkari kewajiban shalat adalah orang yang hidup di negeri-negeri di antara para ulama (bukan di pelosok pedalaman, pent), maka dengan sendirinya ia menjadi kafir jika ia mengingkari wajibnya shalat. Hukum yang sama berlaku untuk pondasi-pondasi bangunan (rukun) Islam lainnya, yaitu zakat, shiyam, dan haji, karena semua itu termasuk pondasi bangunan Islam, dan dalil-dalil tentang kewajibannya hampir-hampir tidak ada yang samar lagi; karena Al-Qur’an dan as-sunnah penuh dengan dalil-dalil atasnya, dan ijma’ ulama juga telah tercapai atas (rukun Islam) tersebut. Maka tidak ada yang mengingkari kewajibannya selain orang yang memusuhi Islam dan menentang komitmen kepada hukum-hukum Islam, tidak mau menerima kitab Allah, sunnah rasul-Nya, dan ijma’ umatnya.” (Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 9/11 karya imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi)
Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip perkataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut ini:
“Kita mengetahui dengan pasti bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mensyariatkan kepada umatnya untuk berdoa kepada seorang pun yang telah mati, tidak kepada para nabi, tidak kepada orang-orang shalih, dan tidak pula kepada selain mereka. Tidak dengan lafal istighatsah, tidak pula dengan lafal lainnya. Rasulullah SAW juga tidak pernah mensyariatkan kepada umatnya untuk sujud kepada orang yang telah mati, tidak kepada selain orang yang telah mati, dan lain sebagainya. Bahkan kita mengetahui bahwa Rasulullah SAW melarang semua perbuatan tersebut, dan bahwa perbuatan tersebut merupakan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun karena dominasi kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar (ajaran peninggalan) Rasulullah SAW pada kebanyakan generasi belakangan, maka tidak mungkin mengkafirkan mereka karena perbuatan tersebut, sampai dijelaskan kepada mereka ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.” (Misbah azh-Zhulam fir Raddi 'ala Man Kadz-dzaba asy-Syaikh al-Imam wa Nasabahu ila Takfiri Ahlil Iman wal Islam, hlm. 197 karya syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab)
Kemudian syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab mengomentarinya sebagai berikut:
“Maksud syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari koreksi ini adalah bahwa hujah dianggap tegak atas para mukallaf dan dampak hukumnya diberlakukan setelah sampai kepadanya ajaran Rasulullah SAW, yaitu petunjuk, dien yang haq, inti dan maksud dari kerasulan yaitu mengesakan Allah, menghadapkan wajah (diri sepenuhnya) kepada-Nya, dan kembalinya (inabah) hati  kepada-Nya semata. Allah SWT berfirman,
Dan Kami tidak akan mengazab (seorang pun) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’ (17): 15)
Para ulama telah memberi contoh golongan ini dengan orang yang yang hidup di daerah terpencil atau lahir di negeri orang-orang kafir sedangkan hujah risalah belum sampai kepadanya. Oleh karena itu, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Namun karena dominasi kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar (ajaran peninggalan) Rasulullah SAW pada kebanyakan generasi belakangan, maka tidak mungkin mengkafirkan mereka karena perbuatan tersebut, sampai dijelaskan kepada mereka ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.”
Beliau telah mengarang sebuah risalah tersendiri bahwa syariat-syariat tidak wajib sebelum sampai kepada mukallaf. Mayoritas ulama secara umum menerima kaedah ini, dan mereka menyebutkan banyak hukum yang timbul dari kaedah ini, baik di bidang ibadah, mu’amalah, maupun bidang lainnya. Maka barangsiapa telah sampai kepadanya dakwah para rasul yang mengajak untuk mengesakan Allah, kewajiban berislam (memurnikan ketundukan) kepada-Nya, dan telah memahami bahwa para rasul datang dengan ajaran ini, niscaya ia tidak memiliki izin untuk menyelisihi para rasul dan tidak beribadah kepada Allah. Orang seperti inilah yang dipastikan untuk divonis kafir jika ia beribadah kepada selain Allah dan menjadikan tandingan-tandingan dan tuhan-tuhan sesembahan di samping Allah.
Syaikh (Ibnu Taimiyah, pent) dan kaum muslimin lainnya tidak bertawaqquf (menahan diri, pent) dalam masalah ini. Syaikh kami (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pent) telah menetapkan hal ini, sesuai dan mengambil teladan dari para ulama umat Islam. Beliau tidak mengkafirkan kecuali setelah tegak hujah dan dalilnya terang. Sampai-sampai beliau bertawaquf dari mengkafirkan orang bodoh dari kalangan penyembah kuburan jika tidak ada ulama yang memperingatkan (menerangkan kesyirikan perbuatannya) kepadanya.” (Misbah azh-Zhulam, hlm.324-325) 
***
Keempat, barangsiapa tinggal di puncak-puncak gunung atau daerah-daerah pedalaman atau daerah-daerah terpencil yang jauh dari para ulama dan sarana-sarana ilmu, lalu ia tidak mengetahui sebagian rincian perkara akidah, bukan pokok akidah yang merupakan makna dua kalimat syahadat, sementara ia tidak sedikit pun ragu atas kebenaran apa yang ia anut atau ia lakukan. 
Perkataan para ulama biasanya menyejajarkan orang yang belum lama masuk Islam dengan orang yang hidup di daerah puncak gunung, pelosok pedalaman dan daerah terpencil, karena adanya faktor kesamaan di antara keduanya, yaitu faktor kebodohan.
Di antara dalil yang menunjukkan pemberian udzur bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil sampai ditegakkan hujah atas mereka adalah:
[1] Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:
عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ  مُصَدِّقًا  فَلَاجَّهُ رَجُلٌ فِي صَدَقَتِهِ ، فَضَرَبَهُ أَبُو جَهْمٍ ،  فَشَجَّهُ ، فَأَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالُوا :  الْقَوَدَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَلَمْ يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَلَمْ يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَرَضُوا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنِّي خَاطِبٌ الْعَشِيَّةَ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ " فَقَالُوا : نَعَمْ ، فَخَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " إِنَّ هَؤُلَاءِ اللَّيْثِيِّينَ أَتَوْنِي يُرِيدُونَ  الْقَوَدَ ، فَعَرَضْتُ عَلَيْهِمْ كَذَا وَكَذَا فَرَضُوا ، أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا : لَا ، فَهَمَّ الْمُهَاجِرُونَ بِهِمْ ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُفُّوا عَنْهُمْ ، فَكَفُّوا ، ثُمَّ دَعَاهُمْ فَزَادَهُمْ ، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " فَقَالُوا : نَعَمْ ، قَالَ : " إِنِّي خَاطِبٌ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ " قَالُوا : نَعَمْ ، فَخَطَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا : نَعَمْ
Aisyah RA berkata: “Nabi SAW mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah sebagai pegawai pengumpul zakat. Seorang laki-laki mendebatnya dalam pengambilan zakat, maka Abu Jahm memukulnya sehingga kepalanya terluka. Kaum orang tersebut datang kepada nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami meminta hukuman yang setimpal!” Nabi SAW bersabda, “Bagi kalian tebusan sekian dan sekian.” Namun mereka tidak rela dengan tawaran tebusan.
Nabi SAW bersabda, “Bagi kalian tebusan sekian dan sekian (jumlah yang lebih besar dari tawaran pertama, pent).” Namun mereka tidak rela dengan tawaran tebusan.
Nabi SAW bersabda, “Bagi kalian tebusan sekian dan sekian (jumlah yang lebih besar dari tawaran kedua, pent).” Barulah mereka rela dengan tawaran tebusan tersebut.
Nabi SAW bersabda, “Aku akan menyampaikan khutbah pada sore ini kepada masyarakat dan aku akan memberitahukan kerelaan kalian ini kepada mereka.” Mereka menjawab, “Ya, kami rela.”
Maka Rasulullah SAW menyampaikan khutbah, “Sesungguhnya orang-orang dari Bani Laits ini datang kepadaku dan meminta pelaksanaan hukuman yang setimpal. Maka aku menawarkan kepada mereka tebusan sejumlah sekian dan sekian, lalu aku tanyakan kepada mereka: ‘Apakah kalian rela?’ Mereka menjawab: ‘Tidak’.
Mendengar hal itu, kaum muhajirin ingin menghajar orang-orang Bani Laits tersebut, namun beliau SAW memerintahkan mereka untuk menahan diri, maka mereka pun menahan diri. Rasulullah SAW bersabda, “Aku kemudian menaikkan tawaran tebusan kepada mereka sekian dan sekian. Aku tanyakan kepada mereka: ‘Apakah kalian rela?’ Mereka menjawab ‘Ya’. Maka aku katakan: “Aku akan menyampaikan khutbah kepada masyarakat dan memberitahukan kerelaan kalian ini kepada mereka. Apakah kalian rela?” Mereka menjawab, ‘Ya’. Maka Nabi SAW menyampaikan khutbah dan beliau bertanya kepada mereka, “Apakah kalian telah rela?” Mereka menjawab: ‘Ya’.” (HR. Abu Daud no. 4534, An-Nasai no. 4778, Ibnu Majah no. 2638, Ahmad no. 25958, Abdur Razzaq no. 18032, Ibnu Hibban no. 4487, Al-Baihaqi no. 16022, Ibnu Abi ‘Ashim, Ibnu Al-Jarud, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 10/410. Sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Saat menerangkan sebagian makna hadits ini, imam Ibnu Hazm al-Andalusi berkata: “Hadits ini menyebutkan udzur bagi orang yang bodoh, dan bahwa ia tidak keluar dari Islam yang sekiranya hal itu dilakukan oleh seorang ulama yang telah tegak hujah atas dirinya, niscaya ia telah kafir. Karena orang-orang Bani Laits tersebut telah mendustakan Nabi SAW, dan ‘sekedar’ mendustakan beliau SAW merupakan perbuatan kekafiran tanpa ada perselisihan pendapat lagi. Namun karena mereka bodoh dan orang-orang Badui (hidup di daerah terpencil jauh dari lingkungan ilmu, pent), maka mereka diberi udzur karena kebodohan mereka, sehingga mereka tidak kafir.” (Al-Muhalla, 10/410-411 karya imam Ibnu Hazm Al-Andalusi)
Barangkali perkataan imam Ibnu Hazm al-Andalusi ini perlu penjelasan lebih lanjut agar mudah dipahami. Penjelasannya sebagai berikut, di antara konskuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemberi keputusan dalam segala persoalan yang diperselisihkan, tidak merasa berat dengan keputusan beliau, dan menerima keputusan beliau dengan penuh lapang dada. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ حَدَّثَهُ: أَنَّ رَجُلًا مِنَ الأَنْصَارِ خَاصَمَ الزُّبَيْرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِرَاجِ الحَرَّةِ، الَّتِي يَسْقُونَ بِهَا النَّخْلَ، فَقَالَ الأَنْصَارِيُّ: سَرِّحِ المَاءَ يَمُرُّ، فَأَبَى عَلَيْهِ؟ فَاخْتَصَمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ: «أَسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ أَرْسِلِ المَاءَ إِلَى جَارِكَ»، فَغَضِبَ الأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ: أَنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: «اسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ احْبِسِ المَاءَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى الجَدْرِ»، فَقَالَ الزُّبَيْرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي لَأَحْسِبُ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ فِي ذَلِكَ: {فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} [النساء: 65] "
Dari Abdullah bin Zubair bahwasanya seorang sahabat Anshar bersengketa dengan Zubair bin Awwam RA di hadapan Rasulullah tentang irigasi air dari bukit batu luar Madinah yang menjadi pengairan lading korma. Sahabat Anshar itu berkata: “Biarkan air mengalir begitu saja, tapi dia (Zubair) tidak mau.” Keduanya pun bersengketa di hadapan Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda kepada Zubair: “Airilah ladangmu wahai Zubair, lalu alirkan air ke ladang tetanggamu ini!” Sahabat Anshar itu marah dan berkata, “Wahai Rasulullah, Anda memutuskan begitu karena ia adalah anak dari bibi Anda?”
Muka Rasulullah SAW pun berubah merah mendengar ucapan itu, maka beliau bersabda, “Wahai Zubair, airilah ladangmu, lalu tahanlah air sampai sebatas pembatas ladangmu!” Zubair bin Awwam berkata: “Demi Allah, aku tidak meyakini ayat ini turun kecuali berkenaan dengan kasus itu.”
(HR. Bukhari no. 2359, Muslim no. 2357, Abu Daud no. 3637, Tirmidzi no. 1367, dan Ibnu Majah no. 4585)
Dalam menafsirkan ayat di atas, imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan lain-lain menjelaskan bahwa Allah SWT bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Maha Suci bahwa seseorang tidak beriman sehingga ia melakukan tiga syarat: (1) mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada Rasulullah SAW, (2) tidak merasa berat hati dengan keputusan beliau, dan (3) tunduk sepenuhnya kepada beliau dengan menerima keputusan beliau sepenuh penerimaan.
Dalam hadits Aisyah di atas, penduduk muslim suku Al-Laits telah melakukan syarat pertama, yaitu menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemberi keputusan dalam perkara yang mereka perselisihkan. Pegawai zakat yang beliau kirim telah melakukan pemukulan sampai melukai wajah (kepala) korban, namun karena korban juga punya andil kesalahan dengan mendebat pegawai zakat maka beliau SAW memutuskan ganti rugi materi, bukan hukuman qisash (pemukulan sampai melukai wajah/kepala).
Dua kali penduduk muslim suku Al-Laits tersebut menolak keputusan Rasulullah SAW tersebut. Berarti mereka tidak melaksanakan dua syarat dalam QS. An-Nisa’ (4): 65, sehingga mereka belum beriman. Inilah kurang lebih maksud dari perkataan imam Ibnu Hazm Al-Andalusi bahwa mereka mendustakan Nabi SAW. Namun karena unsur kebodohan, maka mereka dimaafkan dan tidak divonis musyrik ataupun kafir. Wallahu A’lam bish-shawab
[2]. Dalil lainnya antara lain hadits Hudzaifah bin Yaman RA:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلَا صَلَاةٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ، وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ، فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُهَا " فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ، وَلَا صِيَامٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: «يَا صِلَةُ، تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ» ثَلَاثًا
Dari Hudzaifah bin Yaman RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Islam akan pudar sebagaimana corak pakaian pudar, sampai-sampai tidak diketahui lagi apa itu shiyam, shalat, nusuk (haji atau penyembelihan) dan sedekah (zakat). KItab Allah benar-benar akan diangkat pada suuatu malam, sehingga tidak tersisa satu ayat pun di muka bumi. Yang tersisa hanyalah kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua. Mereka mengatakan: ‘Kami mendapati  orang-orang tua kami mengucapkan kalimat ini, Laa Ilaaha Illa Allah, maka kami pun ikut-ikutan mengucapkannya.”
Shilah (tabi’in perawi hadits) bertanya, “Apa manfaatnya bagi mereka ucapan Laa Ilaaha Illa Allah, sementara mereka tidak mengenal apa itu shalat, shiyam, haji, dan zakat?” Mendengar ucapan itu, Hudzaifah berpaling. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun setiap kali ditanya, Hudzaifah selalu memalingkan mukanya. Pada pertanyaan yang ketiga, Hudzaifah menghadapkan wajahnya kepada Shilah dan menjawab, “Wahai Shilah, kalimat Laa Ilaaha Illa Allah akan menyelamatkan mereka.” Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga.
(HR. Ibnu Majah no. 4049 dan Al-Hakim no. 8460 dan 8636. Al-Hakim menshahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/127 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, 6/339)
Para ulama menarik  persamaan atau keserupaan antara kasus diangkatnya syariat (kitabullah) dalam hadits di atas dengan kasus orang-orang Islam yang hidup pada daerah-daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan ilmu syar'i. Kedua kasus tersebut memiliki keserupaan yaitu sedikitnya atau bahkan tiadanya ulama yang melaksanakan pengajaran ilmu dan tidak adanya kemampuan  menuntut ilmu syar'i. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Banyak manusia yang hidup pada tempat-tempat dan zaman-zaman yang padanya telah pudar banyak ilmu-ilmu kenabian, sehingga tidak tersisa seorang yang menyampaikan al-Qur’an dan as-sunnah yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya. Maka manusia tidak mengetahui banyak ajaran yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya, dan di sana juga tidak ada seseorang yang menyampaikannya kepadanya. Maka orang seperti ini tidak kafir.
Oleh karenanya para ulama sepakat bahwa orang yang hidup di daerah terpencil yang jauh dari para ulama dan orang yang beriman, sementara ia belum lama masuk Islam, lalu ia mengingkari sebagian hukum yang zhahir mutawatir ini, maka ia tidak divonis kafir sampai dijelaskan kepadanya ajaran Rasulullah SAW. Oleh karena itu disebutkan dalam hadits:
“Suatu zaman akan datang kepada manusia, pada waktu itu mereka tidak mengetahui shalat, zakat, shaum, maupun haji. Hanya kakek yang jompo dan nenek yang jompo yang mengatakan: “Kami mendapati nenek moyang kami mengatakan ‘Laa Ilaaha Illa Allahu’.” Ditanyakan kepada sahabat Hudzaifah bin Yaman (yang meriwayatkan hadits ini, pent): “Apa manfaat Laa Ilaaha Illa Allahu bagi mereka?” Hudzaifah menjawab: “Ia akan menyelamatkan mereka dari neraka.” (Majmu’ Fatawa, 11/407-408)
***
Catatan:
Dari penjelasan tentang empat contoh bentuk kebodohan yang disepakati menjadi udzur di atas, para ulama menyebutkan perbedaan antara bentuk pertama dengan bentuk kedua, ketiga, dan keempat sebagai berikut:
1. Bentuk pertama bersifat umum dari aspek pelakunya, namun bersifat khusus dari aspek permasalahannya. Pelakunya bersifat umum, mencakup ulama maupun orang awam, di negeri Islam maupun negeri kafir. Namun permasalahannya bersifat khusus, yaitu perkara-perkara yang hukumnya atau dalilnya masih samar dan belum diketahui oleh mayoritas muslim, atau hukum dan dalilnya diketahui oleh orang banyak namun terdapat banyak kerancuan dalam memahami makna yang sebenarnya dari dalil-dalil tersebut. Permasalahan ini biasa disebut dengan istilah masalah-masalah khafiyah (tersamar, tersembunyi).
2. Bentuk kedua, ketiga, dan keempat bersifat khusus dari aspek pelakunya, namun bersifat umum dari aspek permasalahannya. Pelakunya bersifat khusus, yaitu orang yang hidup di daerah-daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan sulit mencari ilmu syar’i, atau orang kafir asli yang belum lama masuk Islam, atau orang kafir asli yang masuk Islam di darul kufri (negara yang menerapkan selain hukum Islam), atau orang Islam yang hidup pada zaman pudarnya ilmu-ilmu tentang ajaran Islam yang benar dan sedikitnya ulama (zaman fatrah). Adapun permasalahannya bersifat umum, mencakup perkara-perkara khafiyah maupun zhahirah (perkara yang hukum dan dalilnya diketahui secara luas oleh semua umat Islam, baik kalangan ulama maupun orang awam).
(Masalatul ‘Udzri bil Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 36, karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)

Bersambung, insya Allah…
(muhib almajdi/arrahmah.com)



Serial kajian tentang takfir muayyan #5: Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran (3)
Muhib Al-Majdi
Rabu, 11 Juli 2012 10:41:17
http://static.arrahmah.net/images/_t/r_w_285/stories/2012/07/WR_uzur-jahil-3.jpg
(Arrahmah.com) – Dalam artikel "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1", kita telah membahas kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama tidak bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Dalam artikel "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2", kita telah membahas kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Dalam artikel "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 3" kali ini, kita akan membahas kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah bisa menjadi udzur dalam pengkafiran ataukah tidak bisa menjadi udzur? 
***
Kebodohan yang diperselisihkan ulama sebagai udzur atau bukan udzur dalam pengkafiran
Kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah bisa menjadi udzur ataukah tidak bisa menjadi udzur dalam pengkafiran adalah kebodohan terhadap sebagian rincian dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah disertai ilmu (pemahaman) dan pengamalan secara global terhadap pokok makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah.
Maksudnya adalah seseorang yang telah melakukan unsur-unsur pokok keislaman dan keimanan secara global. Ia telah:
- mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisannya.
- mengetahui makna dua kalimat syahadat secara global (yaitu kewajiban beribadah kepada Allah semata, tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam adalah utusan Allah terakhir, tiada lagi nabi atau rasul sepeninggalnya, dan kewajiban beribadah kepada Allah menurut tuntunan syariatnya).
- mengamalkan konskuensi makna dua kalimat syahadat secara global dengan amalan hati (memiliki rasa takut, rasa harap, dan rasa cinta kepada Allah, memiliki keikhlasan, bertawakal kepada Allah, dan lain-lain), amalan lisan (membaca Al-Qur'an, berdoa, berdzikir, berisitighfar, mengucapkan ucapan yang baik) dan amalan anggota badan (melaksanakan shalat, melaksanakan shaum Ramadhan, membayar zakat, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu dan lain-lain).
Namun ia tidak mengetahui sebagian rincian dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah. Maksudnya, ia tidak mengetahui sebagian perkara yang sebenarnya hanya menjadi hak Allah karena termasuk perkara ibadah, namun ia lakukan karena ketidak tahuannya bahwa perkara tersebut adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah.  (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 36 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
Contoh kasus:
a)      Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa tawasul adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim ini berdoa kepada Allah semata namun dengan perantaraan orang shalih yang telah meninggal. Ia berdoa kepada Allah semata dengan perantaraan kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam (misalnya dengan membaca shalawat Nariyah), atau kemuliaan para sahabat veteran perang Badar (membaca shalawat Badar), atau kemuliaan syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani, atau kemuliaan salah seorang Walisongo. Ia tahu doa adalah ibadah dan ia berdoa kepada Allah semata. Namun ia tidak mengetahui bahwa memakai perantaraan kemuliaan orang shalih yang telah meninggal tersebut adalah perbuatan syirik akbar yang membatalkan tauhid. Berdasar ilmu yang ia pelajari dari para habib atau ustadz, tawasul seperti itu merupakan perkara yang berdasar dalil syar'i dan menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa oleh Allah Ta'ala.
b)      Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa hak menetapkan hukum adalah salah satu sifat Allah, salah satu hak khusus Allah, dan merupakan salah satu ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim tersebut memberikan suaranya dalam sebuah pemilu legislatif atau pemilu eksekutip (pilihan presiden, pilihan gubernur atau pilihan bupati/walikota). Ia tidak mengetahui bahwa memberikan suara dalam pemilu legislatif atau pemilu eksekutif adalah syirik akbar yang membatalkan tauhid, karena perbuatan tersebut berarti mengangkat orang yang akan menetapkan hukum jahiliyah yang tidak berdasar kepada Al-Qur'an dan as-sunnah. Setahu dirinya, masalah pemilu dan memberikan suara (nyoblos) adalah perkara dunia belaka, bukan perkara ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Bahkan menurut ilmu yang ia peroleh dari para ulama/ustadz/mubaligh, ia wajib memilih calon yang Islami dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. Ia tidak mengetahui bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan dan politik tersendiri yang berbeda dari sistem syirik demokrasi. Para ulama/ustadz/mubaligh tempat ia belajar agama tidak mengajarkan fiqih siyasah (siyasah syar'iyah) atau fiqih khilafah atau fiqih imamah.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                
c)       Seorang muslim siswa SMP/SMA naksir kepada seorang muslimah siswi SMP/SMA lainnya. Untuk bisa mendapatkan cinta siswi tersebut, si siswa melakukan praktek sihir yang menurut kyai/habib/ustadz tempatnya mengaji. Dengan bekal ilmu 'sihir' yang diajarkan oleh kyai/habib/ustadz tersebut, si siswa membacakan ayat-ayat Al-Qur'an tertentu yang dicampur dengan bacaan-bacaan Arab yang ia tidak ketahui asal dan maknanya. Si siswa membacakannya kepada si siswi agar si siswi jatuh cinta kepadanya. Si siswa itu tidak mengetahui bahwa sihir penarik cinta ('athaf) seperti itu adalah syirik akbar yang membatalkan tauhid. Apalagi doa 'sihir penarik cinta' itu dipelajarinya dari kyai/habib/ustadz yang bersumber dari kitab doa-doa yang mujarrab.
Para ulama berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap pelaku contoh kasus-kasus di atas. Perbedaan vonis mereka timbul karena mereka perbedaan pendapat mereka dalam menilai kasus-kasus tersebut; apakah ia termasuk perkara yang zhahirah (perkara yang sangat jelas dan diketahui hukumnya oleh seluruh kaum muslimin baik orang awam maupun ulama) sehingga tidak berlaku udzur kebodohan padanya ataukah ia termasuk perkara khafiyah (perkara yang hukumnya masih samar dan belum diketahui oleh sebagian ulama dan banyak masyarakat awam) sehingga berlaku udzur kebodohan padanya?
Sebelum menyebutkan para ulama yang berselisih pendapat dan dalil-dalil syar'i yang dipegangi oleh masing-masing ulama yang berselisih, di sini kami akan menyebutkan beberapa perkara yang telah disepakati oleh para ulama. Sebagian perkara ini telah diuraikan panjang lebar pada pembahasan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1" dan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2". Sebagian perkara yang telah disepakati oleh para ulama tersebut adalah:
Pertama, Kebodohan sendiri pada dasarnya adalah sebuah udzur syar'i. Kebodohan menjadi udzur dalam perkara akidah dan perkara-perkara lainnya meski bukan berlaku secara mutlak tanpa syarat-syarat dan batasan-batasan yang jelas, seperti telah diuraikan pada pembahasan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1" dan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2".
Di antara yang menegaskan pernyataan ini adalah fakta bahwa para ulama Islam telah bersepakat menjadikan kebodohan sebagai udzur pada rincian-rincian perkara yang membatalkan tauhid uluhiyah, dalam beberapa perkara seperti:
-          Orang yang belum lama masuk Islam, atau
-          Orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah Islam, dan sarana-sarana ilmu syar'i
Hal ini bukanlah pengecualian dalam realita, melainkan adalah sebuah penerapan dari kaedah syariat Islam yang menyatakan tidak adanya hukuman atas orang yang belum mengetahui pengharaman sebuah perkara sampai ilmu (tentang pengharamannya) menjadi perkara yang mudah ia dapatkan.
Orang-orang yang mengalami realita hidup seperti contoh tersebut (orang yang belum lama masuk Islam atau orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah Islam, dan sarana-sarana ilmu syar'i) termasuk kategori orang yang ilmu syar'i bukan menjadi perkara yang mudah mereka dapatkan dan mereka tidak termasuk kategori orang-orang yang mengetahui hukum-hukum syariat. (Lihat At-Tasyri' Al-Jina'i Al-Islami, 1/431 karya syaikh Abdul Qadir Audah)
Namun juga wajib diperhatikan bahwa orang yang belum lama masuk Islam atau orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah Islam, dan sarana-sarana ilmu syar'i bukanlah mendapat udzur dengan sendirinya. Melainkan mereka mendapat udzur karena ilmu syar'i tidak mudah mereka dapatkan.
Maka kapan saja ilmu syar'i mudah mereka dan mereka memiliki kemampuan untuk mempelajarinya, lalu mereka teledor atau tidak sungguh-sungguh dalam mempelajarinya , maka mereka tidak mendapatkan udzur atas kebodohannya.
Kedua, jika orang yang bodoh memiliki kemampuan mencari ilmu syar'i dan ia memiliki sarana-sarana untuk mempelajari dan memahami ilmu syar'i, lalu ia berpaling dari mencari dan mempelajari ilmu syar'i, maka ia tidak mendapatkan udzur, bukan karena ia memiliki kebodohan, melainkan karena ia teledor dan tidak bersungguh-sungguh menunaikan kewajiban menuntut ilmu syar'i.
Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang telah sampai kepadanya hujjah dari Al-Qur'an atau as-sunnah dengan cara yang bisa ia pahami sekiranya ia ingin mempelajari dan memahaminya, kemudian ia tidak mau menaruh perhatian kepadanya, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya. Orang seperti ini tidak memiliki udzur atas kebodohan atau ketidak pahamannya, karena ia adalah orang yang teledor dan berpaling. (Lihat Thariqul Hijratain, hlm. 609-610 karya imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Majmu' Fatawa, 12/180 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Ketiga, jika orang yang bodoh telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu, namun di hadapannya tidak ada sarana-sarananya dan ia juga tidak memiliki kemampuan untuk mengadakan sarana-sarananya, maka ia mendapatkan udzur atas kebodohannya. (Majmu' Fatawa, 12/180)
Keempat, pengetahuan dan pemahaman tentang makna dua kalimat syahadat secara global (al-'ilmu al-ijmali; memahami bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi, tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, Muhammad bin Abdullah shallallahu 'alaihi wa salam adalah penutup seluruh nabi dan rasul, Islam adalah satu-satunya agama yang benar) merupakan ilmu yang wajib diketahui oleh setiap orang agar keislamannya sah.
Kebodohan terhadap makna secara global dua kalimat syahadat ini tidak menjadi udzur, baik karena:
-       Ilmu tentang hal itu merupakan perkara dharuriyah (perkara yang pasti dan sudah sangat jelas, diketahui oleh semua orang baik ulama Islam maupun orang awam umat Islam) sehingga tidak bisa dibayangkan ada orang yang tidak mengetahuinya
-       Atau perkara tersebut zhahirah (sangat jelas), bisa dipahami dengan sedikit berfikir sekalipun tanpa harus mengkaji ilmu syar'i secara mendalam, sehingga tidak bisa dibayangkan ada orang yang tidak mengetahuinya kecuali karena faktor keteledoran dan kemalasan mencari ilmu
-       Atau karena mengetahuinya merupakan syarat sah keislaman, dimana orang yang tidak mengetahuinya adalah orang kafir asli.
Kelima, barangsiapa yang hidup dalam lingkungan Islami yang bersih (dari kesyirikan, bid'ah dan kemungkaran) lalu ia tidak mengetahui hukum-hukum Islam yang termasuk perkara ma'lum min ad-dien bi-dharurah (perkara yang jelas-jelas termasuk bagian dari dien Islam, perkara-perkara yang diketahui oleh semua muslim baik ulama maupun orang awam) maka kebodohannya tidak menjadi udzur, karena dakwah Islam telah sampai kepadanya dan hujjah telah tegak atas dirinya. (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7/113 karya syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)
Keenam, orang yang telah memiliki pemahaman secara global (al-ilmu al-ijmali) dan pengamalan secara global (al-'amal al-ijmali) terhadap makna dua kalimat syahadat maka ketidak tahuannya terhadap rincian makna dua kalimat syahadat tidaklah membatalkan pengetahuan global dan pengamalan globalnya tersebut. Seperti telah diuraikan dala pembahasan "Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2". (Fatawa wa Rasail Syaikh Abdur Razzaq Al-Afifi, 1/172)
***
Jika keenam perkara yang telah disepakati oleh para ulama di atas telah jelas dan bisa dipahami, maka perlu diketahui bahwa rincian-rincian perkara yang membatalkan tauhidul ibadah menjadi lahan perbedaan pendapat para ulama tentang berlaku atau tidak berlakunya udzur kebodohan pada perkara-perkara rincian tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di depan, hal itu bukan karena mereka berselisih pendapat tentang kebodohan sebagai sebuah udzur syar'i. Melainkan karena mereka berselisih bahwa jika seorang muslim memiliki kesungguhan untuk menuntut ilmu syar'i, apakah masih mungkin ia tidak mengetahui rincian-rincian perkara tersebut?
Sebagian ulama berpendapat ketidak tahuan terhadap rincian-rincian perkara tersebut masih mungkin terjadi pada diri seorang muslim yang memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu syar'i, sehingga mereka memasukkan rincian-rincian perkara tersebut ke dalam kategori perkara-perkara khafiyah yang berlaku padanya udzur kebodohan.
Sebagian ulama lainnya berpendapat ketidak tahuan terhadap rincian-rincian perkara tersebut tidak mungkin bisa dibayangkan terjadi pada diri seorang muslim yang memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu syar'i, sehingga mereka memasukkan rincian-rincian perkara tersebut ke dalam kategori perkara-perkara zhahirah yang tidak berlaku padanya udzur kebodohan.
Dalam hal yang mereka perselisihkan ini, terdapat satu syarat yang mereka sepakati bersama yaitu masalah at-tamakkun minal 'ilmi (memiliki kemampuan meraih ilmu). Maksud dari at-tamakkun minal 'ilmi adalah ilmu syar'i mudah didapatkan dan ia bisa mendapatkan ilmu syar'i tersebut setelah memiliki usaha sungguh-sungguh untuk mencarinya. Di atas syarat inilah para ulama menilai apakah seorang muslim termasuk teledor dari menuntut ilmu syar'i ataukah tidak teledor dari menuntut ilmu syar'i?
Untuk itu para ulama mengaitkan pendapat mereka dalam masalah ini dengan syarat ini. Mereka berusaha menentukan batasan dan aturan yang jelas dari syarat ini dengan cara menyebutkan contoh-contoh dan keadaan-keadaan di mana seorang muslim memiliki kemampuan untuk mempelajari dan mendapatkan ilmu syar'i, juga contoh-contoh dan keadaan-keadaan di mana seorang muslim tidak memiliki kemampuan untuk mempelajari dan mendapatkan ilmu syar'i.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Di antara jawaban mereka adalah sesungguhnya hujah Allah dengan rasul-rasul-Nya telah tegak dengan adanya kemampuan mendapatkan ilmu. Maka bukan menjadi syarat tegaknya hujah Allah adalah orang-orang yang didakwahi mengetahui hujah tersebut. Oleh Karena itu berpalingnya orang-orang kafir dari mendengarkan dan mentadaburi Al-Qur'an tidak menjadi penghalang tegaknya hujah Allah atas diri mereka. Demikian juga berpalingnya orang-orang kafir dari mendengarkan riwayat yang diceritakan dari para nabi dan (berpalingnya orang-orang kafir dari) membaca hadits-hadits yang di riwayatkan dari para nabi, tidak menghalangi tegaknya hujah, karena adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu." (Ar-Raddu 'alal Manthiqiyyin, hlm. 99 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: "Sesungguhnya hujah Allah telah tegak atas diri seorang hamba dengan diutusnya rasul dan diturunkannya kitab suci, sampainya hal itu kepadanya, dan adanya kemampuan dirinya untuk mengetahuinya; baik ia mengetahui maupun ia tidak mengetahui. Maka setiap hamba yang memiliki kemampuan untuk mengetahui apa-apa yang Allah perintahkan dan apa-apa yang Allah larang, lalu ia meremehkan (tidak serius mencarinya) dan tidak mengetahuinya, berarti hujah Allah telah tegak atas dirinya."(Madarijus Salikin, 1/217 karya imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).
Dari penjelasan para ulama bisa dipahami bahwa: 
1. Dhabith (standar penilaian) kemampuan untuk mendapatkan ilmu adalah setiap orang yang memiliki kemampuan untuk meraih ilmu dengan cara bertanya kepada ulama atau dengan cara menelaah buku-buku ilmu syar'i, maka ia dianggap telah memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu. (Lihat Majmu' Fatawa, 12/478-479 dan 20/59, At-Tasyri' Al-Jinai Al-Islami, 1/430 dan Syarh Muhammad Khalil Harras 'Ala Al-Qasidah An-Nuniyah li-Ibni Qayyim Al-Jauziyah, 2/263-264)
2. Sebagian ulama mempersyaratkan orang yang bertanya kepada ulama atau orang yang menelaah buku-buku ilmu syar'i tersebut dapat memahami ilmu (hujjah) atas hal yang ia tanyakan atau ia telaah.
3. Dari adanya persyaratan dapat memahami ilmu (memahami hujjah) ini, para ulama berbeda pendapat tentang klasifikasi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu.
a. Kelompok ulama yang mempersyaratkan dapat memahami ilmu (memahami hujah) mengklasifikasikan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu menjadi dua golongan:
- Orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu.
- Orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan cara bertanya kepada ulama, namun ia tidak bisa memahami ilmu yang disampaikan oleh ulama tersebut.
b. Kelompok ulama yang tidak mempersyaratkan dapat memahami ilmu (memahami hujah) mengklasifikasikan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu menjadi satu golongan saja, yaitu orang yang tidak mampu untuk meraih ilmu. Seperti orang yang hidup di puncak pegunungan atau hidup di daerah pedalaman yang jauh dari ulama, atau orang yang belum lama masuk Islam.
Kelompok ulama ini mengkategorikan orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan cara bertanya kepada ulama, namun ia tidak bisa memahami ilmu yang disampaikan oleh ulama tersebut, ke dalam kategori orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu. Alasannya, sekedar sampainya ilmu kepadanya telah menyebabkan tegaknya hujah atas dirinya. (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah, hlm. 41-42)
4. Para ulama mencontohkan orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu adalah orang yang hidup di tengah kaum muslimin dan banyak ulama dan juru dakwah di tengah mereka, atau di hadapannya ada banyak buku ilmu syar'i karya para ulama dan ia bisa menelaahnya. (At-Tasyri' Al-Jinai Al-Islami, 1/430 dan Fatawa Syaikh Bin Bazz, 2/528-529).
5. Pada contoh kasus no. 4 di atas, kelompok ulama yang berpendapat tidak bisa dibayangkan adanya unsur kebodohan dalam perkara-perkara rincian makna dua kalimat syahadat dan tidak dipersyaratkan adanya kemampuan memahami ilmu (memahami hujah) pada persyaratan adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu; mereka berpendapat bahwa orang yang tidak tahu tersebut tidak mendapatkan udzur atas ketidak tahuannya, karena ketidak tahuan tersebut pasti terjadi dengan adanya unsur keteledoran dan tiadanya kesungguhan untuk bertanya kepada ulama. Sekiranya ia mau bertanya kepada ulama dan ulama tersebut menyampaikan jawaban kepadanya, niscaya ilmu telah sampai kepadanya dan hujjah telah tegak atas dirinya. Jika ulama tersebut telah membacakan ayat-ayat yang melarang syirik (dengan terjemahan bahasa sehari-hari yang ia pakai), maka hujjah telah  tegak atas dirinya, baik ia bisa memahami kandungan makna ayat-ayat tersebut maupun ia tidak bisa memahami kandungan maknanya.
6. Pada contoh kasus no. 4 di atas, kelompok ulama yang berpendapat bisa terjadi kebodohan dalam perkara-perkara rincian makna dua kalimat syahadat dan dipersyaratkan adanya kemampuan memahami ilmu (memahami hujah) pada persyaratan adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu; mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mengetahui tersebut bisa mendapat udzur jika ia telah bersungguh-sungguh mencari ilmu atau bertanya kepada ulama, dan ia menghadapi banyak syubhat yang membuatnya tidak mampu mendapatkan ilmu.
Status seseorang yang hidup di tengah kaum muslimin tidak semata menjadikan persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar'i telah terealisasi pada dirinya. Status seseorang yang hidup di tengah kaum muslimin dianggap merealisasikan persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar'i apabila; (1) perkara yang tidak diketahuinya tersebut adalah perkara yang ilmunya sudah menyebar luas secara merata di tengah kaum muslimin, sehingga keseluruhan atau mayoritas kaum muslimin telah mengetahuinya baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam. (Lihat Ar-Risalah, hlm. 357, karya imam Asy-Syafi'i)
Atau (2) ulama dan juru dakwah yang mengajarkan perkara tersebut di tengah masyarakat berjumlah banyak dan memadai.
Adapun jika mayoritas kaum muslimin di lingkungan kehidupannya hidup dalam kebodohan terhadap ilmu syar'i, ajaran-ajaran kenabian sudah sangat pudar di tengah mereka, dan tidak terdapat ulama atau juru dakwah dalam jumlah yang memadai yang mengajarkan perkara tersebut, maka persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar'i dianggap belum terpenuhi. Sehingga udzur kebodohan berlaku untuk dirinya. (Lihat Majmu' Fatawa, 11/407 dan 35/165-166)
7. Di antara keadaan-keadaan yang persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar'i dianggap belum terpenuhi adalah:
- Orang yang belum lama masuk Islam dan belum memiliki kemampuan untuk mengetahui rincian detail ajaran Islam
- Orang yang hidup di puncak gunung atau daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan sarana ilmu syar'i
- Orang yang masuk Islam di negara kafir (darul kufri), sebab negara kafir merupakan tempat di mana rincian hukum-hukum Islam tidak diketahui secara luas oleh mayoritas penduduknya. Pembahasan no. 7 ini telah diuraikan dalam kajian Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran bagian 2. (Lihat Majmu' Fatawa, 3/231, 11/407 dan Fatawa Syaikh Bin Bazz, 2/529)
8. Para ulama juga menyebutkan salah satu bentuk pengecualian dari seseorang yang hidup di daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan sarana ilmu syar'i atau daerah kafir yang jauh dari negeri Islam.
Pengecualian tersebut adalah jika seseorang hidup di negeri kafir yang jauh dari negeri Islam, lalu ia melakukan salah satu bentuk kesyirikan, kemudian timbul keragu-raguan pada dirinya tentang kebenaran apa (agama, keyakinan) yang selama ini ia lakukan tersebut, maka ia wajib berhijrah (meninggalkan negerinya dan mendatangi negeri Islam) untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut dari dirinya. Jika ia tidak meninggalkan negerinya dan mendatangi negeri Islam, maka ia berdosa karena melakukan keteledoran dan tidak sungguh-sungguh mencari ilmu syar'i. Ia berdosa karena keteledoran tersebut, sebab pada dirinya ada faktor yang menuntut dirinya untuk mencari ilmu syar'i, yaitu keragu-raguan atas kebenaran apa yang selama ini ia lakukan. Dalam kasus ini, kebodohan tidak menjadi udzur bagi dirinya karena ia termasuk golongan yang difirmankan oleh Allah Ta'ala:      
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa' [4]: 97) (Al-Udzru bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 43)
***
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah menjadi udzur dalam pengkafiran atau tidak menjadi udzur, adalah satu bentuk perkara saja yaitu perkara seorang muslim yang hidup di sebuah negeri kaum muslimin yang negeri tersebut didominasi oleh kesyirikan, bid'ah dan kebatilan, sedangkan kebodohan terhadap ajaran-ajaran Islam yang benar menyebar luas di kalangan mayoritas umat Islam di negeri tersebut. Muslim ini memiliki pengetahuan global (al-ilmu al-ijmali) dan pengamalan global (al-'amal al-ijmali) terhadap makna dua kalimat syahadat, namun ia melakukan sebuah perbuatan syirik karena faktor ketidak tahuan terhadap sebagian rincian pembatal-pembatal tauhid:
1. Sementara di tengah kaum muslimin lingkungan kehidupannya tidak terdapat seorang ulama atau juru dakwah yang memperingatkan akan kesyirikan perbuatan yang ia lakukan tersebut.
2. Atau di tengah mereka ada ulama atau juru dakwah yang memperingatkan kesyirikan tersebut, namun muslim ini belum mendengarkan peringatan tersebut atau peringatan tersebut terbatas pada segelintir umat Islam sehingga tidak sampai kepada dirinya dan mayoritas kaum muslimin lainnya.
3. Atau tengah mereka ada ulama atau juru dakwah yang memperingatkan kesyirikan tersebut, dan muslim ini telah mendengarkan peringatan tersebut, namun ia juga mendapatkan pengajaran dari mayoritas ulama atau juru dakwah yang membolehkan perbuatan yang ia lakukan tersebut bahkan mengajarkan bahwa perbuatan yang ia lakukan tersebut adalah ibadah yang diperintahkan syariat. Muslim ini telah mendengar peringatan ulama atau juru dakwah, namun syubhat-syubhat yang ia terima dari mayoritas ulama dan juru dakwah lainnya begitu kuat sehingga ia tidak bisa membedakan pendapat mana yang benar dan pendapat mana yang salah.
Adapun orang yang belum lama masuk Islam dan belum mengetahui rincian ajaran Islam, atau orang yang hidup di daerah pedalaman yang jauh dari negeri Islam dan tidak mengalami keraguan apapun akan kebenaran apa yang ia lakukan, atau orang yang masuk Islam di negeri kafir, maka semua ulama sepakat menyatakan kebodohan menjadi udzur baginya. Ia dianggap memiliki udzur karena syarat taklif (pembebanan dengan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan syariat Islam) belum terpenuhi pada dirinya, yaitu ia tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu atau ia tidak memiliki faktor yang menuntut dirinya untuk mencari ilmu.
(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7/113 dan Syarhu Kasyfi Syubuhat, hlm. 38 karya syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin)
Jika penjelasan masalah ini telah bisa dipahami, maka perlu diketahui bahwa perkara kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah sah atau tidak sah menjadi udzur dalam pengkafiran adalah kasus seorang muslim yang hidup di tengah kaum muslimin, di mana lingkungan kaum muslimin tersebut didominasi oleh syirik, bid'ah, khurafat dan kebodohan. Lalu muslim ini melakukan sebuah kesyirikan karena ketidak tahuan atas rincian perkara-perkara yang membatalkan tauhid. Sementara muslim ini memiliki pengetahuan global dan pengamalan global terhadap pokok makna dua kalimat syahadat.
Para ulama berbeda pendapat apakah udzur kebodohan berlaku atas muslim seperti ini? Perbedaan pendapat ini telah disebutkan oleh syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz seperti dikutip oleh murid beliau, syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr dalam bukunya Syarh Syuruth Ash-Shalah wa Arkaniha wa Wajibatiha, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhu Kasyfi Asy-Syubuhat, syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar dalam Al-Udzru bil Jahli di Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, dan lain-lain.
1. Kelompok ulama yang tidak menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus tersebut. Argumentasi mereka adalah dalil-dalil tentang keharaman syirik sangat jelas dalam Al-Qur'an dan as-sunnah, sehingga orang yang tidak mengetahuinya hanya memiliki dua kemungkinan:
- Ia adalah orang yang teledor dan tidak memiliki kesungguhan untuk mencari ilmu syar'i.
- Ia adalah orang yang berpura-pura tidak tahu, dan melakukan kesyirikan tersebut secara sengaja dari lubuk hatinya dengan niat untuk kafir.
Pendapat ini dipegangi oleh sejumlah ulama generasi terdahulu (mutaqaddimin) seperti imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dan sejumlah ulama belakangan (mutaakhirin), seperti imam Al-Qarrafi Al-Maliki dan mayoritas ulama dakwah Nejed. Sebagian ulama belakangan seperti syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab dan syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthain bahkan mengklaim tercapainya ijma' atas tidak berlakunya udzur kebodohan dalam kasus ini.
2. Kelompok ulama yang menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus tersebut.
Argumentasi mereka adalah dalil-dalil keharaman syirik terkadang menjadi samar dan tidak diketahui oleh sebagian mukallaf sekalipun mereka sudah bersungguh-sungguh mencari ilmu syar'i. Hal itu disebabkan oleh dominasi kebodohan dan banyak atau kuatnya syubhat-syubhat yang menghalangi sebagian mukallaf dari memahami dalil-dalil syar'i tersebut menurut pemahaman yang benar.
Pendapat ini dipegangi oleh sebagian ulama terdahulu seperti imam Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri, dan sejumlah ulama belakangan seperti syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ash-Shan'ani, Asy-Syaukani, Al-Alusi dan Muhammad Basyir As-Sahsawani. Di kalangan ulama kontemporer, pendapat ini antara lain diikuti oleh imam Al-Mu'allimi Al-Yamani, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain.
Adapun ijma' yang diklaim oleh sebagian ulama kelompok pertama di atas adalah tidak seluruhnya benar. Klaim ijma' tersebut benar apabila dibawa kepada kasus tidak mengetahui Allah, kasus seperti itu telah menjadi kesepakatan ulama (seperti telah dibahas para pembahasan Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran bagian 1).
Atau klaim ijma' itu benar apabila dibawa pada kasus zaman tertentu, yaitu abad-abad awal Islam di mana perkara-perkara tersebut sangat jelas diketahui oleh semua umat Islam baik ulama maupun awam, dan tidak ada kerancuan-kerancuan (syubhat-syubhat) yang merasuki kemurnian dan kejelasan ajaran-ajaran Islam.
Adapun pada kasus yang kita bicarakan menjadi ajang perbedaan pendapat di atas yaitu muslim yang mengetahui dan mengamalkan makna dua kalimat syahadat secara global namun tidak mengetahui sebagian rincian perkara yang membatalkan tauhid, karena tidak ada ulama yang memberi pengajaran, atau tidak ada sarana mencari ilmu syar'i, atau ada ulama yang memberi pengajaran kepadanya namun ia menghadapi banyak syubhat dari ulama lain sehingga ia tidak bisa membedakan antara pendapat yang benar dan pendapat yang salah: maka terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak zaman imam Ath-Thabari (abad 4 H), Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dan Ibnu Hazm Al-Andaluzi (abad 5 H) merupakan bukti belum tercapainya ijma' pada kasus yang tengah kita bicarakan ini. Seandainya telah benar-benar terjadi ijma' yang diklaim tersebut, tentulah tidak boleh ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam sejak dahulu (abad 4 H) sampai sekarang (abad 15 H). (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta'shiliyah, hlm. 45-47).
Inilah uraian secara global para ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Adapun dalil-dalil masing-masing kelompok dan pernyataan-pernyataan mereka, insya Allah akan dibahas dalam artikel-artikel berikutnya. Wallahu a'lam bish-shawab.
Bersambung, insya Allah…



Serial Kajian Takfir Mu'ayyan # 9: Dalil-dalil Syar'i Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran (bagian 4)
Muhib Al-Majdi
Kamis, 15 November 2012 05:35:21
http://static.arrahmah.net/images/_t/r_w_285/stories/2012/11/serial-takfir-muayyan-9.jpg
(Arrahmah.com) – Dalam artikel "Dalil-dali Syar'i Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran bagian 3", kita telah menguraikan dalil pertama dari hadits shahih yang menjadi landasan pendapat kelompok ulama yang memberlakukan udzur kebodohan dalam perkara-perkara (kufur akbar, syirik akbar dan tauhid) yang diperselisihkan. Pada artikel "Dalil-dali Syar'i Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran bagian 4" ini, kita akan menguraikan lebih lanjut dalil-dalil syar'i dari hadits shahih yang menjadi landasan pendapat mereka. 
***
 [2] Dalil-dalil dari As-sunnah
Hadits kedua:
قَالَتْ عَائِشَةُ: لَمَّا كَانَتْ لَيْلَتِي الَّتِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا عِنْدِي، انْقَلَبَ فَوَضَعَ رِدَاءَهُ، وَخَلَعَ نَعْلَيْهِ، فَوَضَعَهُمَا عِنْدَ رِجْلَيْهِ، وَبَسَطَ طَرَفَ إِزَارِهِ عَلَى فِرَاشِهِ، فَاضْطَجَعَ فَلَمْ يَلْبَثْ إِلَّا رَيْثَمَا ظَنَّ أَنِّي قَدْ رَقَدْتُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ رُوَيْدًا، وَانْتَعَلَ رُوَيْدًا، وَفَتَحَ الْبَابَ فَخَرَجَ، ثُمَّ أَجَافَهُ رُوَيْدًا فَجَعَلْتُ دِرْعِي فِي رَأْسِي، وَاخْتَمَرْتُ وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِي، ثُمَّ انْطَلَقْتُ عَلَى أَثَرِهِ، حَتَّى جَاءَ الْبَقِيعَ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ انْحَرَفَ، فَأَسْرَعَ فَأَسْرَعْتُ، فَهَرْوَلَ فَهَرْوَلْتُ، فَأَحْضَرَ فَأَحْضَرْتُ، فَسَبَقْتُهُ، فَدَخَلْتُ فَلَيْسَ إِلَّا أَنْ اضْطَجَعْتُ فَدَخَلَ، فَقَالَ: مَا لَكِ يَا عَائِشُ؟ حَشْيَاءَ رَابِيَةٍ، قَالَتْ قُلْتُ: لَا شَيْءَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لَتُخْبِرِنِّي أَوْ لَيُخْبِرَنِّي اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ، قَالَتْ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي فَأَخْبَرَتْهُ، قَالَ: فَأَنْتِ السَّوَادُ الَّذِي رَأَيْتُ أَمَامِي، قُلْتُ: نَعَمْ. فَلَهَزَنِي فِي ظَهْرِي لَهْزَةً، أَوْجَعَتْنِي،وَقَالَ: أَظَنَنْتِ أَنْ يَحِيفَ عَلَيْكِ اللهُ وَرَسُولُهُ، قَالَتْ: مَهْمَا يَكْتُمِ النَّاسُ يَعْلَمْهُ اللهُ، قَالَ: نَعَمْ، فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حِينَ رَأَيْتِ، فَنَادَانِي فَأَخْفَاهُ مِنْكِ، فَأَجَبْتُهُ فَأَخْفَيْتُهُ مِنْكِ، وَلَمْ يَكُنْ لِيَدْخُلَ عَلَيْكِ، وَقَدْ وَضَعْتِ ثِيَابَكِ، وَظَنَنْتُ أَنَّكِ قَدْ رَقَدْتِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَكِ، وَخَشِيتُ أَنْ تَسْتَوْحِشِي، فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ جَلَّ وَعَزَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ، فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ، قَالَتْ فَكَيْفَ أَقُولُ: يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: قُولِي " السَّلَامُ عَلَى، أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا، وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ "
Dari 'Aisyah berkata: "Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa salam berada di rumah pada malam giliranku, maka beliau membalikan badannya, kemudian meletakan selendangnya dan melepas kedua sandalnya dan meletakannya di samping kakinya, beliau membentangkan ujung-ujung kain sarungnya di atas tempat tidurnya kemudian berbaring. Belum lama beliau berbaring dan beliau menyangka aku sudah tertidur, maka beliau mengambil selendangnya pelan-pelan, kemudian memakai sendalnya pelan-pelan, kemudian membuka pintu dan keluar kemudian menutupnya kembali pelan-pelan.
Maka aku memakai pakaian panjangku dari atas kepalaku, aku kenakan kain penutup kepalaku dan aku menyelimuti badanku dengan sarungku, kemudian aku mengikuti jejak beliau, sampai beliau tiba di kuburan Baqi'. Kemudian beliau melakukan shalat dan memanjangkan shalatnya. Beliau lalu mengangkat kedua tangannya (berdoa) sebanyak tiga kali, lalu beliau kemudian beliau pergi dan bergegas, maka akupun bergegas. Beliau berlari kecil, maka aku pun berlari kecil. Kemudian beliau berlari kencang, maka aku pun berlari kencang dan aku bisa mendahului beliau. Kemudian aku masuk ke dalam rumah.
Belum lama aku berbaring, beliau telah masuk ke dalam rumah dan bertanya, "Ada apa denganmu tadi wahai 'Aisyah, engkau seperti orang yang berprasangka tidak baik?" Saya menjawab, "Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah." Beliau berkata, "Kamu beritahu kepadaku atau Allah Yang Maha Halus dan Maha Mengetahui Yang akan memberitahuku." Maka saya pun menjawab, "Baiklah, saya akan beritahukan kepada Anda, ayah dan ibuku sebagai tebusannya."
Lalu Rasulullah bertanya, "Apakah kamu yang berpakaian hitam di depanku tadi?" Aku menjawab, "Ya." Maka beliau menepuk dadaku satu tepukan yang membuatku merasa sakit, dan beliau berkata, "Apakah engkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan berlaku tidak adil kepadamu?" Maka saya bertanya, "Meskipun manusia menyembunyikan (sesuatu dalam hatinya), apakah Allah tetap mengetahuinya?"
Beliau menjawab: "Ya, karena sesungguhnya Jibril alaihi salam datang kepadaku ketika engkau melihat, kemudian Jibril memanggilku dan meminta supaya aku tidak memberitahukan kepadamu, dan aku penuhi permintaannya maka aku tidak memberitahukannya kepadamu, karena Jibril alaihis salam tidak akan masuk ke dalam rumah karena engkau telah melepas pakaianmu. Aku mengira kalau engkau telah tertidur dan aku tidak senang membangunkanmu, karena khawatir membuatmu tidak nyaman. Kemudian Jibril berkata kepadaku: "Sesungguhnya Rabbmu menyuruhmu untuk mendatangi penduduk (orang-orang Islam yang telah dimakamkan di pemakaman) Baqi' guna memintakan ampun bagi mereka."
Aku bertanya, "Apa yang harus aku baca untuk mendoakan mereka, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Katakan:
(السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ)
"Semoga keselamatan senantiasa dilimpahkan kepada kalian, penduduk kuburan ini dari kalangan kaum mukminin dan muslimin, semoga Allah merahmati orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari golongan kami, dan sesungguhnya kami benar-benar akan menyusul kalian." (HR. Muslim no. 974, An-Nasai no. 3963 dan Ahmad no. 25855)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Inilah 'Aisyah ummul mukminin bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa salam apakah Allah mengetahui apa yang disembunyikan manusia? Maka jawab Nabi: "Ya." Ini menunjukan bahwa (sebelumnya) 'Aisyah belum mengetahui hal tersebut, dan saat Aisyah belum mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang disembunyikan manusia maka status Aisyah bukanlah orang kafir. Meskipun mengakui hal tersebut (bahwa Allah Maha Mengetahui segala hal yang disembunyikan oleh manusia) setelah penegakan hujjah adalah termasuk ashlul iman (pokok keimanan) dan mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu sama halnya seperti mengingkari qudrah Allah terhadap segala sesuatu. Demikianlah, meskipun Aisyah termasuk orang yang pantas mendapat celaan dari dosa, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa salam memukul dadanya dan berkata: "Apakah engkau khawatir jika Allah dan rasul-Nya tidak berlaku adil?"
Pokok (keimanan) ini telah dibahas panjang lebar bukan di tempat ini saja. Maka telah jelas bahwa ucapan (semacam perkataan Aisyah) ini adalah kekafiran, akan tetapi mengkafirkan orang yang mengucapkannya tidak boleh serta merta dilakukan sampai datang kepadanya ilmu sehingga dengannya tegak hujjah dimana orang yang meninggalkan hujah tersebut bisa menjadi orang kafir."(Majmu'ul Fatawa 11/412-413)
Hadits ketiga:
عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ  مُصَدِّقًا  فَلَاجَّهُ رَجُلٌ فِي صَدَقَتِهِ ، فَضَرَبَهُ أَبُو جَهْمٍ ،  فَشَجَّهُ ، فَأَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالُوا :  الْقَوَدَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَلَمْ يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَلَمْ يَرْضَوْا ، فَقَالَ : " لَكُمْ كَذَا وَكَذَا " فَرَضُوا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنِّي خَاطِبٌ الْعَشِيَّةَ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ " فَقَالُوا : نَعَمْ ، فَخَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " إِنَّ هَؤُلَاءِ اللَّيْثِيِّينَ أَتَوْنِي يُرِيدُونَ  الْقَوَدَ ، فَعَرَضْتُ عَلَيْهِمْ كَذَا وَكَذَا فَرَضُوا ، أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا : لَا ، فَهَمَّ الْمُهَاجِرُونَ بِهِمْ ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُفُّوا عَنْهُمْ ، فَكَفُّوا ، ثُمَّ دَعَاهُمْ فَزَادَهُمْ ، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " فَقَالُوا : نَعَمْ ، قَالَ : " إِنِّي خَاطِبٌ عَلَى النَّاسِ وَمُخْبِرُهُمْ بِرِضَاكُمْ " قَالُوا : نَعَمْ ، فَخَطَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : " أَرَضِيتُمْ ؟ " قَالُوا : نَعَمْ
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah sebagai pegawai pengumpul zakat. Seorang laki-laki mendebatnya dalam pengambilan zakat, maka Abu Jahm memukulnya sehingga kepalanya terluka. Kaum orang tersebut datang kepada nabi SAW dan berkata: "Wahai Rasulullah, kami meminta hukuman yang setimpal!" Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Bagi kalian tebusan sekian dan sekian." Namun mereka tidak rela dengan tawaran tebusan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Bagi kalian tebusan sekian dan sekian (jumlah yang lebih besar dari tawaran pertama, pent)." Namun mereka tidak rela dengan tawaran tebusan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Bagi kalian tebusan sekian dan sekian (jumlah yang lebih besar dari tawaran kedua, pent)." Barulah mereka rela dengan tawaran tebusan tersebut.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Aku akan menyampaikan khutbah pada sore ini kepada masyarakat dan aku akan memberitahukan kerelaan kalian ini kepada mereka." Mereka menjawab, "Ya, kami rela."
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam menyampaikan khutbah, "Sesungguhnya orang-orang dari Bani Laits ini datang kepadaku dan meminta pelaksanaan hukuman yang setimpal. Maka aku menawarkan kepada mereka tebusan sejumlah sekian dan sekian, lalu aku tanyakan kepada mereka: 'Apakah kalian rela?' Mereka menjawab: 'Tidak'.
Mendengar hal itu, kaum muhajirin ingin menghajar orang-orang Bani Laits tersebut, namun beliau Shallallahu 'alaihi wa salam memerintahkan mereka untuk menahan diri, maka mereka pun menahan diri. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Aku kemudian menaikkan tawaran tebusan kepada mereka sekian dan sekian. Aku tanyakan kepada mereka: 'Apakah kalian rela?' Mereka menjawab 'Ya'. Maka aku katakan: "Aku akan menyampaikan khutbah kepada masyarakat dan memberitahukan kerelaan kalian ini kepada mereka. Apakah kalian rela?" Mereka menjawab, 'Ya'. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam menyampaikan khutbah dan beliau bertanya kepada mereka, "Apakah kalian telah rela?" Mereka menjawab: 'Ya'." (HR. Abu Daud no. 4534, An-Nasai no. 4778, Ibnu Majah no. 2638, Ahmad no. 25958, Abdur Razzaq no. 18032, Ibnu Hibban no. 4487, Al-Baihaqi no. 16022, Ibnu Abi 'Ashim, Ibnu Al-Jarud, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 10/410. Sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini berkaitan dengan salah satu pokok agama Islam (ashlu dien Islam) yaitu syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Dua kalimat syahadat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Syahadat asyhadu an laa ilaaha illa Allah adalah tauhid ibadah dan syahadat asyhadu anna Muhammad rasulullah adalah tauhid risalah wal mutaba'ah. Keislaman seorang hamba tidak akan sah dengan tauhid ibadah semata, atau tauhid risalah wal mutaba'ah semata. Keislaman seorang hamba baru akan sah apabila kedua tauhid tersebut dipadukan dan dilaksanakan.
Imam Ibnu Hazm al-Andalusi berkata: "Hadits ini menyebutkan udzur bagi orang yang bodoh, dan bahwa ia tidak keluar dari Islam yang sekiranya hal itu dilakukan oleh seorang ulama yang telah tegak hujah atas dirinya, niscaya ia telah kafir. Karena orang-orang Bani Laits tersebut telah mendustakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam, dan 'sekedar' mendustakan beliau Shallallahu 'alaihi wa salam merupakan perbuatan kekafiran tanpa ada perselisihan pendapat lagi. Namun karena mereka bodoh dan orang-orang Badui (hidup di daerah terpencil jauh dari lingkungan ilmu, pent), maka mereka diberi udzur karena kebodohan mereka, sehingga mereka tidak kafir." (Al-Muhalla, 10/410-411 karya imam Ibnu Hazm Al-Andalusi)
Barangkali perkataan imam Ibnu Hazm al-Andalusi ini perlu penjelasan lebih lanjut agar mudah dipahami. Penjelasannya sebagai berikut, di antara konskuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah adalah menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam sebagai pemberi keputusan dalam segala persoalan yang diperselisihkan, tidak merasa berat dengan keputusan beliau, dan menerima keputusan beliau dengan penuh lapang dada. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta'ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa' [4]: 65)
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ حَدَّثَهُ: أَنَّ رَجُلًا مِنَ الأَنْصَارِ خَاصَمَ الزُّبَيْرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِرَاجِ الحَرَّةِ، الَّتِي يَسْقُونَ بِهَا النَّخْلَ، فَقَالَ الأَنْصَارِيُّ: سَرِّحِ المَاءَ يَمُرُّ، فَأَبَى عَلَيْهِ؟ فَاخْتَصَمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ: «أَسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ أَرْسِلِ المَاءَ إِلَى جَارِكَ»، فَغَضِبَ الأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ: أَنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: «اسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ احْبِسِ المَاءَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى الجَدْرِ»، فَقَالَ الزُّبَيْرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي لَأَحْسِبُ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ فِي ذَلِكَ: {فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} [النساء: 65] "
Dari Abdullah bin Zubair bahwasanya seorang sahabat Anshar bersengketa dengan Zubair bin Awwam RA di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam tentang irigasi air dari bukit batu luar Madinah yang menjadi pengairan ladang korma. Sahabat Anshar itu berkata: "Biarkan air mengalir begitu saja, tapi dia (Zubair) tidak mau."
Keduanya pun bersengketa di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda kepada Zubair: "Airilah ladangmu wahai Zubair, lalu alirkan air ke ladang tetanggamu ini!" Sahabat Anshar itu marah dan berkata, "Wahai Rasulullah, Anda memutuskan begitu karena ia adalah anak dari bibi Anda?"
Muka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pun berubah merah mendengar ucapan itu, maka beliau bersabda, "Wahai Zubair, airilah ladangmu, lalu tahanlah air sampai sebatas pembatas ladangmu!" Zubair bin Awwam berkata: "Demi Allah, aku tidak meyakini ayat ini turun kecuali berkenaan dengan kasus itu." (HR. Bukhari no. 2359, Muslim no. 2357, Abu Daud no. 3637, Tirmidzi no. 1367, An-Nasai no. 5407 dan Ibnu Majah no. 4585)
Dalam menafsirkan ayat di atas, imam Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibnu Taimiyah Al-Harrani, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Asy-Syaukani dan lain-lain menjelaskan bahwa Allah SWT bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Maha Suci bahwa seseorang tidak beriman sehingga ia melakukan tiga syarat: (1) mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam, (2) tidak merasa berat hati dengan keputusan beliau, dan (3) tunduk sepenuhnya kepada beliau dengan menerima keputusan beliau sepenuh penerimaan.
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi berkata:
"Allah menyebut tindakan menjadikan nabi SAW sebagai hakim (pemberi keputusan) adalah keimanan dan Allah memberitahukan bahwa tidak ada iman tanpa adanya perbuatan tersebut (menjadikan nabi SAW sebagai pemberi keputusan, pent) dengan disertai tidak adanya kesempitan dalam hati dengan keputusan beliau. Dengan demikian sahlah secara yakin bahwasanya iman itu adalah amal perbuatan, keyakinan hati, dan perkataan; karena menjadikan Rasul sebagai hakim adalah amal perbuatan, dan hal itu tak mungkin kecuali disertai dengan ucapan dan tanpa adanya perasaan sempit di hati yang merupakan sebuah keyakinan." (Ibnu Hazm al-Andalusi, Ad-Durah fi Maa Yajibu I'tiqaduhu hal. 338)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Setiap orang yang keluar dari sunah Rasulullah dan syariatnya, maka Allah telah bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Suci bahwa orang tersebut tidak beriman sampai ia ridha dengan keputusan Rasulullah dalam setiap hal yang menjadi persoalan di antara mereka baik urusan dunia maupun akhirat, dan sampai tidak tersisa lagi dalam hati mereka rasa sempit  atas keputusan hukum beliau. Dalil-dalil Al-Qur'an yang menunjukkan hal itu sangat banyak. Hal itu juga diajarkan oleh sunnah Rasulullah SAW dan sunnah khulafaur rasyidin." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, 28/431) 
Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah berkata:
"Allah SWT bersumpah dengan Dzat-Nya Yang Maha Suci, dengan sebuah sumpah yang dikuatkan oleh penafian (peniadaan) sebelum sumpah (Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman …pent) atas tiadanya iman bagi makhluk sampai mereka menjadikan Rasul sebagai hakim (pemberi keputusan) dalam segala persoalan yang diperselisihkan di antara mereka, baik masalah pokok maupun cabang, baik masalah hukum-hukum syar'i maupun hukum-hukum ma'ad (di akhirat).
Allah SWT tidak menetapkan adanya iman para hamba-Nya meskipun mereka telah menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim, sehingga hati mereka merasa sempit, maksudnya hati mereka tidak merasa sesak (berat). Hati mereka harus merasa lapang selapang-lapangnya terhadap keputusan Rasulullah SAW dan menerimanya dengan sepenuh hati.
Meski semua hal itu telah mereka kerjakan, namun Allah masih belum menetapkan adanya keimanan pada diri mereka sampai mereka menerima keputusan beliau dengan ridho dan taslim (penyerahan diri) tanpa adanya sikap menentang dan berpaling." (Ibnu Qayim al-Jauziyah, At-Tibyan fi Aqsami Al-Qur'an, hlm. 430)
Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi berkata mengenai ayat ini:
"Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya Yang Maha Mulia dan Maha Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin." (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, 2/210-211)
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata:
"Dalam ancaman yang keras ini ada hal yang membuat kulit merinding dan hati bergetar ketakutan, karena syarat pertama, sesungguhnya Allah bersumpah dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan huruf peniadaan (Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman …). Allah meniadakan iman dari mereka ---sedangkan iman adalah harta modal pokok para hamba Allah yang shalih--- sehingga mereka mengerjakan 'ghayah' yaitu menjadikan rasul sebagai hakim pemberi keputusan (sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…pent).
(Syarat kedua) Allah tidak mencukupkan dengan tindakan itu saja, karena Allah lalu berfirman, (…kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu). Selain menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, Allah masih menggabungkan syarat lain, yaitu tidak adanya kesempitan dada, artinya keberatan dalam hati. Jadi menjadikan nabi sebagai pemberi keputusan dan tunduk saja tidak cukup sampai hal itu muncul dari lubuk hatinya dengan sikap hati yang ridha, tenang, sejuk, dan senang.
(Syarat ketiga) Allah belum mencukupkan dengan (kedua syarat) ini saja, namun Allah menambahkan lagi syarat yang lain, yaitu firman-Nya, "dan mereka menerima dengan sepenuhnya." Maksudnya adalah mereka tunduk kepadanya dan menaatinya secara lahir dan batin.
Allah belum mencukupkan dengan (ketiga syarat) itu saja, namun Allah masih menambahkan dengan menyebut masdar sebagai penguat 'tasliman'. Maka tidak ada iman bagi seorang hamba sampai ia mau menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, lalu ia tidak merasakan kesempitan dalam hati atas keputusan nabi, dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syariatnya sepenuh penyerahan diri, tanpa dicampuri oleh penolakan dan penyelisihan terhadapnya." (Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 1/610-611)
Dalam hadits Aisyah di atas, penduduk muslim suku Al-Laits telah melakukan syarat pertama, yaitu menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam sebagai pemberi keputusan dalam perkara yang mereka perselisihkan. Pegawai zakat yang beliau kirim telah melakukan pemukulan sampai melukai wajah (kepala) korban, namun karena korban juga punya andil kesalahan dengan mendebat pegawai zakat maka beliau Shallallahu 'alaihi wa salam memutuskan ganti rugi materi, bukan hukuman qisash (pemukulan sampai melukai wajah/kepala).
Dua kali penduduk muslim suku Al-Laits tersebut menolak keputusan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam tersebut. Berarti mereka tidak melaksanakan dua syarat dalam QS. An-Nisa' (4): 65, sehingga mereka belum beriman. Inilah kurang lebih maksud dari perkataan imam Ibnu Hazm Al-Andalusi bahwa mereka mendustakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam. Namun karena unsur kebodohan, maka mereka dimaafkan dan tidak divonis musyrik ataupun kafir. Wallahu A'lam bish-shawab
Hadits keempat:
Dalil lainnya antara lain hadits Hudzaifah bin Yaman RA:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلَا صَلَاةٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ، وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ، فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُهَا " فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ، وَلَا صِيَامٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: «يَا صِلَةُ، تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ» ثَلَاثًا
Dari Hudzaifah bin Yaman RA berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Islam akan pudar sebagaimana corak pakaian pudar, sampai-sampai tidak diketahui lagi apa itu shiyam, shalat, nusuk (haji atau penyembelihan) dan sedekah (zakat). KItab Allah benar-benar akan diangkat pada suuatu malam, sehingga tidak tersisa satu ayat pun di muka bumi. Yang tersisa hanyalah kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua. Mereka mengatakan: 'Kami mendapati  orang-orang tua kami mengucapkan kalimat ini, Laa Ilaaha Illa Allah, maka kami pun ikut-ikutan mengucapkannya."
Shilah (tabi'in perawi hadits) bertanya, "Apa manfaatnya bagi mereka ucapan Laa Ilaaha Illa Allah, sementara mereka tidak mengenal apa itu shalat, shiyam, haji, dan zakat?" Mendengar ucapan itu, Hudzaifah berpaling. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun setiap kali ditanya, Hudzaifah selalu memalingkan mukanya. Pada pertanyaan yang ketiga, Hudzaifah menghadapkan wajahnya kepada Shilah dan menjawab, "Wahai Shilah, kalimat Laa Ilaaha Illa Allah akan menyelamatkan mereka." Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga. (HR. Ibnu Majah no. 4049 dan Al-Hakim no. 8460 dan 8636. Al-Hakim menshahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/127 dan Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir, 6/339)
Hadits di atas berkenaan dengan suasana akhir zaman menjelang datangnya kiamat, pada waktu tersebut Al-Qur'an diangkat kembali ke langit dan masyarakat tidak mengetahui lagi hukum-hukum yang zhahir dan mutawatir seperti shalat, zakat dan shaum. Mereka hanya mengetahui dua kalimat syahadat yang mereka warisi secara turun-temurun dari orang tua mereka.
Meski demikian, para ulama Islam menjadikan hadits tersebut sebagai udzur dengan kebodohan. Sisi kesamaan hadits tersebut dengan orang bodoh yang kebodohannya diakui oleh syariat (al-jahl al-mu'tabar) adalah pada sebagian tempat atau zaman, kebodohan begitu mendominasi dan cahaya ajaran kenabian melemah, sehingga banyak hukum-hukum Islam yang zhahir dan mutawatir tidak mereka ketahui, namun mereka masih memiliki keislaman secara global.
Shalat, zakat dan shaum, merupakan sebagain hukum yang zhahir dan mutawatir, mengingkarinya merupakan perbuatan kufur akbar yang menyebabkan pelakunya kafir dan murtad. Namun hukum kafir tersebut tidak dijatuhkan begitu saja apabila di sebuah tempat atau zaman, individu masyarakatnya didominasi oleh kebodohan yang diakui oleh syariat (kebodohan yang disertai usaha mencari ilmu, bukan kebodohan karena berpaling, menentang atau menyombongkan diri dari ilmu).
Maka dalam kondisi tersebut kebodohan menjadi udzur yang menghalangi jatuhnya vonis kafir atau murtad dari individu tersebut. Dan telah dijelaskan bahwa pendapat yang benar, antara syirik akbar dan kufur akbar sebenarnya tidak ada perbedaan, sebagaimana dijelaskan oleh imam Asy-Syafi'i, Ibnu Hazm Azh-Zhahiri dan para ulama lainnya. Dengan demikian hadits tersebut juga berlaku untuk perkara syirik akbar yang ilmunya tidak diketahui oleh seorang muslim yang sudah berusaha mencari ilmu dan petunjuk.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Banyak manusia yang hidup pada tempat-tempat dan zaman-zaman yang padanya telah pudar banyak ilmu-ilmu kenabian, sehingga tidak tersisa seorang yang menyampaikan al-Qur'an dan as-sunnah yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya. Maka manusia tidak mengetahui banyak ajaran yang Allah mengutus Rasul-Nya dengannya, dan di sana juga tidak ada seseorang yang menyampaikannya kepadanya. Maka orang seperti ini tidak kafir.
Oleh karenanya para ulama sepakat bahwa orang yang hidup di daerah terpencil yang jauh dari para ulama dan orang yang beriman, sementara ia belum lama masuk Islam, lalu ia mengingkari sebagian hukum yang zhahir mutawatir ini, maka ia tidak divonis kafir sampai dijelaskan kepadanya ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam. Oleh karena itu disebutkan dalam hadits:
"Suatu zaman akan datang kepada manusia, pada waktu itu mereka tidak mengetahui shalat, zakat, shaum, maupun haji. Hanya kakek yang jompo dan nenek yang jompo yang mengatakan: "Kami mendapati nenek moyang kami mengatakan 'Laa Ilaaha Illa Allahu'." Ditanyakan kepada sahabat Hudzaifah bin Yaman (yang meriwayatkan hadits ini, pent): "Apa manfaat Laa Ilaaha Illa Allahu bagi mereka?" Hudzaifah menjawab: "Ia akan menyelamatkan mereka dari neraka." (Majmu' Fatawa, 11/407-408)
Bersambung, insya Allah…

(muhib almajdi/arrahmah.com)


No comments:

Post a Comment