Muhib Al-Majdi Senin, 29 Sya'ban 1434 H / 8 Juli
2013 06:45
(Arrahmah.com) – Banyak
selisih pendapat dalam penentuan awal Ramadhan. Ada yang memakai hisab, ada
yang berpedoman rukyat. Bagaimanakah sikap kita seharusnya?
Jawaban :
Para ulama berselisih pendapat di
dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung
(rukyat) atau dengan cara hisab.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa
cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara
langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat
(Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam:
«لَا تَصُومُوا
حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ
عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ» و في رواية: فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ»
“Jangan kalian berpuasa sampai
kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan
tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080)
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
“Berpuasalah karena kalian melihat
bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan. Jika bulan tersebut tertutup
awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga-puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«إِذَا
رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا»
“Jika kalian melihat hilal
(Ramadhan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal), maka berbukalah.” (HR Muslim no.
1081)
Hadits-hadits di atas menunjukkan
bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan secara
langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan
bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh “faqduru lahu”
dalam hadits di atas setelah menjama’ beberapa riwayat yang ada.
Pendapat kedua mengatakan bahwa cara
menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat
Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan
hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits no 1), hanya saja kelompok ini
menafsirkan lafadh “faqduru lahu” dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan
tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Dari dua pendapat di atas, maka
pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk
menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan
secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti teropong dan
lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan hisab, tetapi
hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.
Selain dalil-dalil yang telah
diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama,yaitu
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا» يَعْنِي
مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ
“Sesungguhnya kita (umat Islam)
adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29
hari atau 30 hari.” (HR Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080)
Artinya hadits di atas adalah
untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu
hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan
oleh banyak orang, yaitu rukyat. Ini bukan berarti umat Islam
dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada
umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat
dalam kehidupan manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini
mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua
orang.
Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu
falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang
menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam
matahari setelah terjadi ijtima’. Sebagian yang lain
menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah
terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal
(bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan model ”
wujudul hilal.”
Bahkan ada kelompok yang
mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan imkanur rukyat
(berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok yang
menggunakan model “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam
menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang
memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin
diungkap di sini.
Inilah mengapa umat Islam di
Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan
Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang
prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun demi
persatuan umat. Wallahu Musta’an.
Untuk mengurangi perpecahan yang
terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi perbedaan cara menentukan awal
bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya umat Islam mengikuti
awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam
negara masing-masing.
Untuk negara Indonesia umpamanya,
hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam
hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat persatuan.
Wallahu A’lam.
Penulis: Dr. Ahmad
Zain an-Najah, MA. (ahmadzain.com)
(muhibalmajdi/arrahmah.com)
- See more at:
http://www.arrahmah.com/ramadhan/penetapan-awal-ramadhan.html#sthash.YaqVz6Qr.dpuf
No comments:
Post a Comment